MENGENAL INDAHNYA ISLAM...

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Wednesday, 11 November 2009

~ S A B A R ~


Tidaklah telinga anda mendengar kata musibah melainkan di bahagian lainnya anda mendengar kata sabar. Seandainya bukan karena kesabaran, nescaya permasalahan bertumpuk dan putus asa tak kunjung sirna. Tetapi Allah, kerana rahmat dari-Nya kepada hamba-hamba-Nya, telah menundukkan bagi mereka perkara untuk mengatasi musibah dengan kesabaran.

Sabar adalah salah satu tingkatan agama dan salah satu kedudukan saalikin [Orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah.] Sabar adalah salah satu perbendaharaan syurga, dan Allah سبحا نه و تعالى telah menyediakan pahala yang besar bagi orang-orang yang bersabar.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS: Az-Zumar: 10)

Al-Auza’i رحمه الله mengatakan, “Tidak ditimbang dan tidak ditakar untuk mereka.Tetapi dicidukkan untuk mereka.”

Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda yang bermaksud, “Sungguh mengkagumkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya urusannya seluruhnya kebaikan. Hal itu tidak berlaku bagi siapa pun kecuali bagi orang mukmin. Jika ia mendapatkan ksenangan, ia bersyukur, dan itu lebih baik baginya. Jika ia mendapatkan kesusahan, ia bersabar, dan itu lebih baik baginya. [HR Muslim]

Sabar adalah menghadapi ujian dengan etika yang baik.

Jangan dikira bahwa musibah itu hanya berkenaan dengn perkara-perkara besar, seperti kematian dan perceraian, misalnya. Bahkan, semua yang menyedihkan anda adalah musibah. Pernah tali sandal Umar bin al-Khathab terputus, maka ia ber-istirja’ [mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun] dan mengatakan, ‘Semua yang tidak mengenakkanmu adalah musibah.’

Jika seorang muslim tidak bersabar dan mencari pahala dari musibahnya, maka hari-hari akan berlalu dengan musibah itu, sementara ia tidak mendapatkan pahala.
Dan yang lebih besar kedudukannya daripada sabar ialah ridha terhadap qadha dan qadar [ketetapan dan ketentuan] Allah. Oleh kerana itu, ridhalah dengan qadha Allah dan qadar-Nya.

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لنا

“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami.” (QS: At-Taubah: 51)

Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan, “Perbedaan antara ridha dengan sabar, bahwa sabar ialah menahan diri dari amarah, meskipun kepedihan itu ada dan ia berharap kepedihan tersebut lenyap serta menahan anggota badan dari melakukan tindakan yang didorong oleh kesedihan tersebut.

Sementara ridha ialah lapang dada dengan qadha (ketentuan Allah) dan tidak berharap hilangnya kepedihan itu meskipun merasakan kepedihan. Akan tetapi keridhaan meringankannya dengan apa yang menggembirakan hati berupa keyakinan dan ma’rifah. Jika keridhaan ini kuat, maka ia menghilangkan rasa pedih itu secara keseluruhan.” [Jaami’ul Uluum wal Hikam]

Ibnu al-Jauzi رحمه الله mengatakan: Seandainya dunia ini bukan negeri ujian, nescaya di sana tidak ada penyakit dan kesusahan, dan nescaya kehidupan di dunia tidak menyempitkan para nabi dan orang-orang pilihan.

Adam menghadapi ujian hingga pergi dari dunia ini.

Nuh menangis selama tiga ratus tahun.

Ibrahim menghadapi api dan diuji untuk menyembelih anaknya.

Ya’kub menangis hingga hilang penglihatannya.

Musa menghadapi Fir’aun dan menghadapi ujian dari kaumnya.

‘Isa tidak memiliki tempat berteduh kecuali daratan dalam kehidupan yang sempit.
Muhammad menghadapi kefakiran dan pembunuhan pamannya, Hamzah, padahal ia adalah kerabatnya yang paling dicintainya, dan kaumnya meniggalkankannya.

Benarlah apa yang dikatakan penya’ir:

(Mereka) diciptakan dalam penderitaan, Namun mereka dibersihkan dari segala kotoran.

Sabar di sini tidak sebatas pada ketabahan menghadapi musibah dan menahan pedihnya. Tetapi juga bersabar untuk mengatasinya dan memulihkan kembali urusan tersebut. Adakalanya kesabaran dalam mengatasinya ialah dengan mendidik dan mempergauli mereka dengan baik. Dan adakalanya suami kembali istiqamah, dan seterusnya.

[Dipetik dari buku ’40 Kiat Jitu Merubah ‘Masalah’ Menjadi Anugerah – berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah’ oleh Abdul Malik al-Qasim, Pustaka Ibnu Umar, Agutus 2009]

Friday, 2 October 2009

~ Hal-Hal Seputar Z U H U D ~



Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah pendeknya angan-angan, bukan dengan makanan yang keras atau memakai pakaian mantel yang kasar.”

Ia juga berkata, “Apabila seseorang zuhud terhadap dunia, maka Allah akan menumbuhkan kebijaksanaan di dalam hatinya, melancarkan lidahnya dan memperlihatkan kepadanya aib dunia, penyakitnya, juga obatnya.”

Abdullah bin Mubarak bercerita bahwa Salam bin Abi Muthi’ berkata, “Orang yang zuhud terbagi menjadi tiga macam. Pertama, mengikhlaskan amal perbuatan dan ucapan kepada Allah tanpa ada kepentingan duniawi sedikit pun. Kedua, meninggalkan sesuatu yang tidak patut dan mengerjakan sesuatu yang patut. Ketiga, zuhud terhadap sesuatu yang halal, dan hal ini sifatnya sunnah dan paling rendah tingkatannya.”

Syaqiq bin Ibrahim berkata, “Ada tiga perilaku yang menjadi mahkota orang zuhud. Pertama, mengendali hawa nafsu dan tidak terseret oleh hawa nafsu. Kedua, berkonsentrasi dengan sepenuh hati kepada zuhud. Ketiga, setiap kali menyendiri selalu teringat bagaimana ia masuk ke dalam kuburnya dan bagaimana ia keluar. Ia juga teringat akan rasa lapar, dahaga, telanjang, panjangnya Hari kiamat, hisab, sirath (jembatan) dan terbongkarnya aib di depan umum. Jika ia mengingat itu semua, maka ia tidak sempat lagi mengingat dunia yang penuh tipuan (fatamorgana).”

Wahab bin Munabbih pernah mengatakan, “Orang yang paling zuhud terhadap dunia- walaupun ia sangat menginginkannya- adalah orang yang tidak mau menerimanya kecuali dengan cara yang halal dan thayyib (baik). Dan orang yang paling rakus terhadap dunia- walaupun ia berpaling darinya- adalah orang yang tidak peduli bagaimana cara mendapatkannya, halal ataukah haram. Orang yang paling dermawan di dunia adalah orang yang memberikan hak-hak Allah, walaupun manusia melihatnya sebagai orang yang bakhil dalam hal lain. Dan orang yang paling bakhil di dunia adalah orang yang bakhil dalam memberikan hak-hak Allah, walaupun manusia melihatnya sebagai orang yang dermawan dalam hal lain.” [Hilyatul ‘Auliya’]

Wednesday, 30 September 2009

~ Keagungan DOA ~



Auf berkata, “Thalq bin Habib mengatakan di dalam doanya, “Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmunya orang-orang yang alim tentangMu, keyakinan orang-orang yang bertawakkal kepadaMu, kepasrahan orang-orang yang beriman kepadaMu, taubatnya orang-orang yang tunduk kepadaMu, ketundukan orang-orang yang bertaubat kepadaMu, syukurnya orang-orang yang bersabar karenaMu, kesabaran orang-orang yang bersyukur kepadaMu, dan keselamatan orang-orang yang hidup dan diberi rezki di sisiMu.”

Abdul Wahid berkata,”Terkabulnya doa bersamaan dengan keihklasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan.”

As-Syibli pernah ditanya tentang firman Allah yang berbunyi, “Berdoalah kepadaKu, nescaya Aku akan mengabulkan doamu.” (QS. Ghafir: 60) . Ia menjawab , “Berdoalah kepadaKu tanpa kelalaian, maka Aku akan mengabulkan doamu tanpa penundaan.”

Tuesday, 29 September 2009

~ Mutiara Salafi ~


Al-Fudhail berkata, Allah سبحا نه و تعالى berfirman, “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2). Maksudnya, yang paling ikhlas dan paling benar. Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidaklah diterima. Pun jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, maka tidak akan diterima sampai dilakukan secara ikhlas. Ikhlas artinya dilakukan karena Allah. Sedangkan benar artinya sesuai dengan Sunnah (tuntunan yang diberkan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم)

Ia juga berkata, “Meninggakan amal karena manusia adalah riya’ (pamer). Dan beramal karena manusia adalah syirik (menyekutukan Allah).”

Dan ia pun berkata, “Barangsiapa menghindari lima hal, maka ia terhindar dari keburukan dunia Akhirat; Ujub (bangga diri, merasa lebih baik dari orang lain), riya’ (pamer), sombong, memandang rendah orang lain, dan syahwat.” >[Hilyatul ‘Auliya’]

Saturday, 26 September 2009

~ Temukan Kemanisan dari Setiap Kepahitan ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah سبحا نه و تعالى telah memberikan kepada orang muslim banyak hari-hari bahagia, kesempatan-kesempatan gembira, dan waktu-waktu senang sebagai penghormatan atas keimanan, istiqamah, dan ketaatan.

Namun apakah sikap mereka di hadapan ujian-ujian di dalam hidupnya, dari berbagai musibah yang menimpa jiwa, harta, keluarga dan lain sebagainya?

Haruskah ia menyerah atau mencoba memanfaatkannya?

Sesungguhnya kemampuan untuk memanfaatkan peristiwa-peristiwa yang ia alami, dari berbagai kondisi sulit, yang mana kehidupan tidak pernah sepi dari peristiwa-peristiwa, kemudian usaha untuk merubahnya menjadi sesuatu yang menghasilkan, maka sungguh ia adalah puncak bimbingan dan kesuksesan dari Allah untuk hambaNya. Allah سبحا نه و تعالى berfirman yang bermaksud:

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 35)

Ada yang mengatakan, “Dalam kehidupan ini, bukanlah sesuatu yang paling penting bagimu untuk membuahkan hasil dari usahamu, karena setiap unta pun mampu melakukan hal itu!!

Akan tetapi sesuatu yang benar-benar penting dalam kehidupoan ini ialah bagaimana anda merubah kerugian-bencana-menjadi usaha menghasilkan!!

Hal ini yang memerlukan kecerdikan dan kecerdasan, dan di situlah terdapat perbedaan antara orang cerdas dan orang biasa!!

Jika merenungkan perikehidupan beberapa utusan Allah dan orang-orang terpilih dari manusia ini, kita akan tahu bahwasanya mereka diuji imannya, fisiknya dan keluarganya, lalu mereka merubah ujian-ujian tersebut menjadi tonggak kemuliaan bagi mereka, nama-nama mereka tertulis di atas tonggak tersebut di sisi Allah sebagai penghormatan dan penghargaan, juga di sisi manusia sebagai kecintaan dan penghormatan hingga hari Kiamat.

Sebagai contoh, Nabi Yusof عليه سلام , ketika diuji dengan kecemburuan saudara-saudaranya, yang diwujudkan dengan melemparkannya ke dalam sumur, lalu dengan godaan isteri menteri lalu ia dianiaya dan dizhalimi di dalam penjara bertahun-tahun lamanya, kemudian Allah mengangkatnya setelah semua itu berlalu, menjadi penguasa kaumnya pada masa itu, lalu keluarga dan saudara-saudaranya bersujud untuknya, sebagai penghormatan di atas keberhasilannya mencapai tahta kekuasaan yang agung dan kedudukan yang tinggi, Allah سبحا نه و تعالى berfirman yang bermaksud:

“Mereka berkata: "Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?." Yusuf menjawab: "Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami." Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik" (QS. Yusuf: 90)

Imam Ahmad رحمه الله ditimpa ujian dari khalifah Al-Makmun yang memaksakan pendapat untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Sebahagian ulama lain menerima pendapat khalifah lalu mereka berusaha untuk mentakwil ungkapan salah tersebut. Namun Imam Ahmad tetap berdiri tegar sendirian di tengah medan, sehingga beliau dihukum dan disiksa yang hampir saja membuatnya binasa jika tidak kerana kasih sayang Allah سبحا نه و تعالى kepadanya. Hingga akhirnya diangkatlah semua ujian tersebut, kembalilah kebenaran ke tempatnya. Kedudukan Imam Ahmad terangkat dan namanya pun selalu diingat manusia hingga kini sebagai orang yang layak mendapatkan gelar imam ahlu sunnah!

Selain mereka masih ada nama-nama lain yang tercatat, baik para pendahulu maupun tokoh-tokoh masa kini.

Kemampuan untuk melakukan perubahan positif ini, mengambil hasil dari musibah yang menimpa, kemampuan untuk merubah ujian menjadi hadiah, dan menghasilkan kebahagiaan dari kesulitan tidaklah datang begitu saja tanpa usaha dan pengorbanan, kerana ia menuntut adanya beberapa karekteristik tertentu dan kemampuan khusus, dia antaranya:

* Iman yang kuat kepada Allah, yakin adanya pertolongan, bantuan, dan karuniaNya.

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaaq: 2-3)

* Kesabaran yang mantap, harapan yang besar dan tidak dikotori oleh keluh kesah, kekesalan, dan keputus asaan.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)

* Kemauan kuat yang akan menjadikannya seseorang mampu menanggung segala ujian…apapun bentuk dan jenisnya!

Bahkan menjadikan orang tersebut bisa memandang ujian dan halangan dengan cara pandang positif, ia menganggapnya sebagai kehormatan dari Allah سبحا نه و تعالى dan sebagai bukti akan kecintaan Allah kepadanya! Ujian tersebut dianggap sebagai media akan datangnya kebaikan dengan izin Allah, jalan menuju masa depan cemerlang yang telah menunggunya, semua berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم,
من يرد الله به خيرا يصب منه


"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah akan mengujinya.” (HR Al-Bukhari)

Imarsun berkata, “Dari mana engkau mendapatkan pemikiran yang mengatakan bahwa kehidupan yang enak, tenang, nyaman, yang sepi dari ujian dan cobaan akan melahirkan orang-orang bahagia dan orang-orang besar!”

Sesungguhnya masalahnya tidak seperti itu sama sekali, sesungguhnya orang-orang yang terbiasa meratapi dirinya ia akan selalu berusaha meratapi walaupun mereka tidur di atas sutera dan permaidani.

Sejarah membuktikan bahwa kebesaran dan kebahagiaan telah menyerahkan tali kekangnya kepada orang-orang yang datang dari berbagai lingkungan, di antara lingkungan kebaikan, lingkungan keburukan dan lingkungan yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan.

Dalam lingkungan-lingkungan seperti ini telah tumbuh orang-orang yang mampu memikul tanggung jawab di atas pundak mereka, dan mereka tidak membuangnya di belakang mereka.

Dan kami berharap engkau adalah salah satu dari orang-orang besar dan bahagia tersebut.

Jika anda dengan jeli melihat berbagai musibah yang terjadi, lalu anda merenunginya dari sisi yang berbeda, pasti anda akan mendapatinya kadang merupakan nikamt besar yang telah Allah سبحا نه و تعالى anugerahkan kepadamu, untuk mengangkat kedudukanmu di dunia,martabatmu di akhirat sedangkan engkau tidak menyadarinya!

Jika keadaannya ternyata engkau telah tertimpa musibah yang telah Allah سبحا نه و تعالى takdirkan, dengan ujian dan musibah yang tidak mungkin engkau melarikan diri darinya, maka kenapa engaku tidak berusaha untuk memanfaatkan waktu dan tenaga, mengembangkan bakat dan kepribadian untuk mendapatkan keuntungan dari ujian dan menghasilakn sesuatu dari tantangan.
[Petikan dari buku ‘Melejitkan Potensi Diri’ oleh Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Aidan, ms 73-76]

Thursday, 24 September 2009

~ Masih ‘Koma’, Belum ‘Titik’ ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Kerinduan kerap keras mengganggu dalam hati ketika yang dirindukan masih jauh dari kenyataan. Setelah bertemu, semuanya menjadi begitu biasa. Segala rencana yang disusun, mentah seketika. Kita pun goyah untuk melangkah. Selanjutnya, putus asa menjadi begitu akrab menghiasi hari-hari berikutnya. Adakah kita sempat merenungkan hal ini?

Begitulah yang terjadi dengan bulan Ramadhan. Program yang jauh-jauh hari telah disusun, kadang tidak menjadi kenyataan setelah memasuki bulan mulia ini. Semuanya akibat kelemahan diri (al-‘ajz) dan iman. Ya, kelemahan yang telah meluluhlantakkan integritas diri lalu mencampakkannya ke sudut-sudut penyesalan yang tidak lagi berguna. Ditingkahi lagi oleh kemalasan yang membuat waktu berlalu percuma. Padahal, waktu adalah diri kita. Setiap detik yang berlalu, ibarat perginya setiap serpih dari tubuh kita. Dengan bijak, Rasulullah صلى الله عليه و سلم mengajarkan kepada umatnya sebuah doa, “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kelemahan diri dan kemalasan.”

Tuntunan Islam adalah selalu memperhatikan waktu yang ada saat ini, bukan kemarin atau esok. Seorang alim pernah menasihati, “Yang lalu telah luput dan yang akan terjadi tidak kita ketahui. Yang tersisa hanyalah waktu di mana saat ini Anda berada.” Sikap inilah yang menjadi ruh generasi awal Islam yang dijuluki sebagai generasi terbaik. Tak hairan jika evaluasi diri terus mereka lakukan setiap saat, tanpa sekat jam atau hari. Tidak ada kata menunda (taswif) dalam kamus mereka. Yang ada hanyalah berbuat, berbuat dan terus berbuat, lalu biarkan Allah, RasulNya dan orang-orang beriman yang menilai hasilnya.
وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُ ۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُون (QS At-Taubah:105)

Pada titik ini, kita lalu bertanya di mana letak jeda dan rehat. Bagi seorang mukmin, jeda atau rehat sebentar hanyalah sekadar sejenak perpindahan antara kebaikan menuju kebaikan lain (QS. Alam Nasyrah: 7) Bukan mengisi kelowongan dengan ketotolan yang sering tak berpangkal. Apa jadinya jika kebaikan yang telah dilakukan susah payah terhapus oleh keburukan yang datang menyusul.

Umat Islam generasi pertama juga meyakini bahwa kemaksiatanlah yang membuat keimanan mereka merosot. Betapa banyak orang yang memahami, kemaksiatan hanya sebatas dosa-dosa besar, lalu melupakan bahwa menghina orang, menyalahi janji, melelapkan diri hingga lalai dari solat subuh, merupakan halangan untuk menaikkan skala keimanan kita. Mengkambing hitamkan waktu, kesibukan, atau kejenuhan yang mendera bukanlah tindakan bijak. Sebab, setelah jiwa puas dengan dalih sesat ini, mulailah syaitan melunakkan hati kita untuk merasa puas dan menerima amal soleh kita yang sedikit.

Masih ada waktu untuk merubah diri, insya Allah. hanya perlu sedikit ketegasan,kesungguhan, ketabahan dan keyakinan untuk berbuat, di samping kesinambungan optimisme untuk mengusung perubahan diri dan menerjemahkannya dalam bentuk kongkrit. Akhirnya, apa yang kita upayakan di bulan Ramadhan ini, hanyalah ibarat sebuah ‘koma’, bukan ‘titik’. Sekadar jeda antara dan bukan akhir prestasi. Ketika kita memahami sebuah prestasi amal sebagai ‘titik’, sesungguhnya saat itu kita sedang melepas ‘ruh keberkesanan’ dari hidup kita. Untuk itu, ingatlah ‘koma’ dan lupakanlah ‘titik’. Setidaknya saat ini. Wallahu al-Muwaffiq.

Ramadhan telah berakhir, namun amalan di bulan Ramadhan belum berakhir dan tidak akan pernah berakhir……… لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ mudah-mudahan kamu bertaqwa, itulah kemuncak kemenangan orang yang berpuasa.

Masih ada lagi puasa-puasa sunnah yang menanti, Masih ada lagi solat-solat sunnah, Masih ada qiyamulail, tahajjud, witir, Masih ada infaq dan sedekah, Masih ada zikir dan tilawah al-Qur’an, sehingga seorang itu bertemu dengan kematian,
“ وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr: 99).

Ramadhan adalah bulan madrasah menjana amal dan istiqamah. Sebagai persiapan ruhiyyah menghadapi sebelas bulan yang mendatang. Semuga Allah meneguhkan hati kita di atas agamaNya dan mengurniakan kita istiqamah melaksanakan perintahNya, ameen.Wallahu al-Musta’an. [MN Ridwan]
[Sibili- Renungan Ramadhan, dengan sedikit perubahan dan penambahan]5 Syawal 1430

Wednesday, 9 September 2009

~ Lima Tingkatan Manusia Di dalam Shalat ~



Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa lima tingkatan manusia di dalam shalat:

1. Tingkatan orang yang zhalim kepada dirinya dan teledor. yaitu, orang yang kurang sempurna dalam wudhunya, waktu shalatnya, batas-batasnya dan rukun-rukunnya.

2. Orang yang bisa menjaga waktu-waktunya, batas-batasnya, rukun-rukunnya yang sifatnya lahiriyah, dan juga wudhunya, tetapi tidak berupaya keras untuk menghilangkan bisikan jahat dari dalam dirinya. Maka dia pun terbang bersama bisikan jahat dan pikirannya.

3. Orang yang bisa menjaga batas-batasnya dan rukun-rukunnya. Ia berupaya keras untuk mengusir bisikan jahat dan pikiran lain dari dalam dirinya, sehingga dia terus-menerus sibuk berjuang melawan musuhnya agar jangan sampai berhasil mencuri shalatnya. Maka, dia sedang berada di dalam shalat, sekaligus jihad.

4. Orang yang melaksanakan shalat dengan menyempurnakan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan batas-batasnya. Hatinya larut dalam upaya memelihara batas-batas dan hak-haknya, agar dia tidak menyia-nyiakan sedikitpun darinya. Bahkan seluruh perhatiannya tercurah untuk melaksanakannya sebagaimana mestinya, dengan cara yang sesempurna dan selengkap mungkin. Jadi, hatinya dirasuki oleh urusan shalat dan penyembahan kepada Tuhan di dalamnya.

5. Orang yang melaksanakan shalat dengan sempurna. Dia mengambil hatinya dan meletakkannya di hadapan Tuhan. Dia memandang dan memperhatikanNya dengan hatinya yang dipenuhi rasa cinta dan hormat kepadaNya. Dia melihatNya dan menyaksikanNya secara langsung. Bisikan dan pikiran jahat tersebut telah melemah. Hijab antara dia dengan Tuhannya telah diangkat. Jarak antara shalat semacam ini dengan shalat yang lainnya lebih tinggi dan lebih besar daripada jarak antara langit dan bumi. Di dalam shalatnya, dia sibuk dengan Tuhannya. Dia merasa tenteram lewat shalat.

Kelompok pertama akan disiksa. Kelompok kedua akan diperhitungkan amalnya. Kelompok ketiga akan dihapus dosanya. Kelompok keempat akan diberi balasan pahala. Dan kelompok kelima akan mendapat tempat yang dekat dengan Tuhannya, kerana dia menjadi bagian dari orang yang ketenteraman hatinya ada di dalam shalat. Barangsiapa yang tenteram hatinya dengan shalat di dunia, maka hatinya akan tenteram dengan kedekatannya kepada Tuhan di akhirat dan akan tenteram pula hatinya di dunia. Barangsiapa yang hatinya merasa tenteram dengan Allah سبحا نه و تعالى ,maka semua orang akan merasa tenteram dengannya. Dan barangsiapa yang hatinya tidak bisa merasa tenteram dengan Allah سبحا نه و تعالى , maka jiwanya akan terpotong-potong kerana penyesalan terhadap dunia.
(Al-Wabil Ath-Thayyib, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, hal 25-29)

Saturday, 15 August 2009

~ Hisab Yang Paling Mudah ~



Hasan al-Bahri mengatakan, “Orang yang paling mudah hisabnya pada hari Kiamat adalah orang yang selalu menghisab dirinya sendiri ketika di dunia. Mereka selalu menganalisa pikiran dan perbuatan mereka. Jika apa yang mereka pikirkan itu menguntungkan, maka mereka pun melaksanakannya. Dan jika merugikan, maka mereka pun menahan diri.”

Dia juga mengatakan, “Urusan pada Hari Kiamat akan menjadi berat bagi orang-orang yang ketika di dunia selalu meremehkan terhadap segala hal dan mengambilnya tanpa pertimbangan yang matang. Akhirnya, mereka mendapati bahwa Allah
سبحا نه و تعالى membuat perhitungan terhadapnya dalam skala sekecil-kecilnya. “


Lalu dia membaca ayat.

مَالِ هَـٰذَا ٱلۡڪِتَـٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً۬ وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحۡصَٮٰهَا‌ۚ

“Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil maupun yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?” (QS Al-Kahfi : 49)

(Muhasabatun Nafsi, Ibnu abid Dunya, hal.94)

Tuesday, 7 July 2009

~ Mutiara Salafi ~



Pekerjaan Hati Mendatangkan Kenikmatan

Dzun-Nun berkata, “Sesungguhnya apabila seorang beriman kepada Allah dan memantapkan imannya, maka ia akan merasa takut kepada Allah. Jika ia merasa takut (khauf) kepada Allah, maka lahirlah harapan (raja’) dari ketaatan. Jika ia mencapai tingkatan harapan, maka lahirlah rasa cinta (mahabbah) dari harapan tersebut. Jika seluruh makna cinta menancap kuat di dalam hatinya, maka ia akan mencapai tingkatan rindu (syauq). Jika ia merasa rindu kepada Allah, maka kerinduan itu akan membuatnya merasa akrab dengan Allah. Jika ia merasa akrab dengan Allah, maka ia akan merasa tenteram dengan Allah. Dan jika merasa tenteram dengan Allah, maka ia akan menjalani malam harinya, siang harinya, kesendiriannya dan keramainnya dalam kenikmatan.”
--------------------------------------------

Sirri As-Saqthi berkata, “Ada lima hal yang tidak bisa digabungkan dengan yang lain: takut kepada Allah semata, berharap kepada Allah semata, cinta kepada Allah semata, malu kepada Allah semata, dan akrab dengan Allah semata.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Hendaklah kamu lebih memperhatikan diterimanya amal daripada amal itu sendiri, karena amal tidak bisa diterima kecuali disertai dengan takwa, dan betapa sedikitnya amal yang diterima.”

Abu Idris Al-Khaulani berkata, “Hati yang bersih di dalam baju yang kotor lebih baik daripada hati yang kotor di dalam baju yang bersih.”

Monday, 1 June 2009

~ Manfa'at Taubat ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Taubat dan Hukum-hukumnya:

Taubat adalah meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan pada Allah.

Taubat adalah perkara yang dicintai oleh Allah سبحا نه و تعالى
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 222 yang bermaksud:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Taubat diwajibkan atas setiap mukmin. Firman Allah dalam surah At-Tahrim ayat 8 yang maksudnya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.”

Taubat adalah salah satu jalan menuju keberuntungan. Firman Allah dalam surah An-Nuur ayat 31 yang bermaksud: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Adalah suatu keberuntungan bila seseorang dapat memperolehi apa yang ia cari dan terhindar dari apa yang ia takutkan.

Dengan taubat nasuha Allah سبحا نه و تعالى mengampuni setiap dosa walau bagaimanapun besar dan banyaknya: Firman Allah dalam surah Az-Zumar ayat 53 yang ertinya:

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Saudaraku yang pernah berbuat dosa, janganlah engkau putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka hingga matahari terbit dari arah barat. Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda yang bermaksud:

“Sesungguhnya Allah membentangkan tanganNya di malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di siang hari dan Dia membentangkan tanganNya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di malam hari hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya.” (HR Muslim)

Berapa banyak orang yang bertaubat dari dosa yang menumpuk yang telah diampuni oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 68-70, yang maksudnya:

“Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Taubat nasuha adalah taubat yang memenuhi lima syarat:

* Pertama: Ikhlas kepada Allah Ta’ala, yakni tmbulnya rasa ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah Ta’ala, pahalaNya dan keselamatan dari azabNya.

*Kedua: Menyesali semua perbuatan maksiat, yakni sedih atas perbuatannya dan berharap seandainya dia tidak melakukannya.

*Ketiga: Meninggalkan semua maksiat saat itu juga. Jika berhubungan dengan hak Allah maka ia akan meninggalkannya segera jika hal itu merupakan perkara haram, dan dia akan segera melaksanakannya jika ia meninggalkan perkara wajib.

Sementara apabila hal itu berhubungan dengan hak makhluk, hendaklah dia bersegera untuk membersihkan diri darinya, baik dengan mengembalikan hal itu atau meminta kelonggaran dan keikhlasannya agar yang bersangkutan menghalalkannya baginya.

*Keempat: Bertekad untuk tidak kembali melakukan maksiat tersebut di kemudian hari.

*Kelima: Melakukan taubat sebelum habis masa terkabulnya, baik ketika ajal menjemput atau ketika matahari terbit dari arah barat.Allah berfirman dalam surah An-Nisaa’ ayat 18 yang ertinya: “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’”

Dan Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda yang bermaksud: “ Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat maka Allah akan menerima taubatnya.” (HR Muslim)

Yaa Allah berikanlah kami taufiq menuju taubat nasuha dan terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Melihat lagi Maha Mengetahui.
(Fatawa Islamiyah juz II)
[Ditulis oleh Muhammad bin Solih al-Utsaimin. Pada 17/4/1406 H]

Tuesday, 12 May 2009

~ Setinggi Cita Wanita Perindu Syurga ~

بسم الله الرحمن الرحيم

- Bercita-cita tinggi merupakan Karekter Islam – Bhg 2

Cita-cita tinggi akan mengantar sseseorang pada kebaikan tanpa dikurangi –dengan izin Allah Ta’ala. Berhias dengan cita-cita tinggi akan menghalangi seseorang dari angan-angan dan perbuatan hina,dan mencegah dari jurang kehinaan,kerendahan dan kemalasan.

Inilah pentingnya bercita-cita tinggi agar cita-cita tinggi itu benar-benar menjadi reputasi sesorang wanita shalihah. Jadi meskipun dalam waktu luang, ia tetap berada dalam petunjuk Nabi صلى الله عليه و سلم dan tidak berada dalam jurang kehinaan.

Faktor-Faktor Penting Bagaimana Meninggikan Cita-Cita dan Mengantisipasi Agar Sebuah Cita-Cita Tidak Menjadi Lemah

1. Ilmu dan Pengetahuan: Seorang muslimah setiap kali bertambah ilmunya, maka akan bertambah pula pemahamannya terhadap kehendak Allah سبحا نه و تعالى dan menjadi tinggi cita-citanya. Ilmu akan meningkatkan cita-cita seseorang, menyelamatkan penuntutnya dari lembah kehinaan, serta menjernihkan niat.

Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umar berkata, “Setiap kali ilmu syar’i yang dimiliki seorang muslim lemah (sedikit), maka akan banyak peluang baginya untuk mudah tertimpa hal-hal yang membuatnya lemah. Hal tersebut disebabkan oleh kebodohannya terhadap dalil-dalil syar’i yang dapat memotivasi seseorang untik beribadah, memiliki ilmu dan menggalinya."

2. Menginginkan Akhirat dan Ingat Mati: Agar wanita muslimah mempunyai cita-cita tinggi menuju Allah سبحا نه و تعالى, hendaklah ia menyatukan segala cita-citanya hanya tertuju kepada akhirat dan yang menjadi tujuan hidupnya adalah pokok cita-cita itu, demikian pula ia menjadikan hal tersebut sebagai pandangan hidupnya, bahkan menjadi hidupnya yang sebenarnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS: Al-Israa’: 19)

Hendaklah seorang muslimah meningkatkan cita-citanya terhadap Allah dan seyogianya ia memperbanyak mengingat kematian, kerana itu dapat memotivasi dirinya untuk banyak beramal shalih, menjauhi negeri yang penuh tipuan (dunia), menginstrospeksi diri, memperbaiki taubat dan membangun tekad untuk tetap isitqamah.

3. Memohon Kepada Allah Agar Diberi Cita-cita yang Tinggi: Sungguh amat jelas bagi orang-orang yang berakal bahwa doa mempunyai posisi penting dalam Islam. Doa merupakan ibadah yang paling agung, kerana dengan berdoa membuktikan bahwa seorang hamba itu benar-benar lemah dna butuh kepada Allah. Dengan berdoa, ia mengembalikan segala urusannya kepada Dzat penciptanya, ia merendahkan diri di hadapan Allah, dan meminta keperluannya dengan harap dan cemas. Oleh kerana itu doa memiliki pengaruh yang amat besar terhadap ruhani ssesorang dan fitrahnya.Itulah puncak ketinggian sebuah ibadah serta tujuannya.

4. Berpindah Dari Lingkungan yang Mengendurkan Semangat: Tidak dinafikan bahwa lingkungan yang ada disekeliling manusia mempunya pengaruh terhadap jasmani. Jika lingkungan itu mengendurkan semangat, menyebabkan kemalasan, kelemahan dan membuatnya melakukan tindakan yang sia-sia, maka seseorang harus menjauhi lingkungan tersebut.

Yang sangat diperlukan oleh seseorang agar dapat memperbaiki lingkungan dan meninggikan cita-citanya adalah segera bertaubat. Dengan jalan itulah hatinya boleh bersatu kembali, kualitaasnya membiak dan cita-citanya berpadu sehingga ia dapat menghadapai pola hidup baru dengan kejujuran dan tekad yang mulia.

5. Sabar dan Menyabarkan Diri: Jalan untuk menuntut ilmu, beribadah dan menyeru manusia kepada Allah adalah jalan yang amat sulit lagi sukar. Dikellilingi banyak ujian dan kesulitan.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar?” (QS: Ali Imran: 142)

“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka.” (QS: A-Qashash: 54)

Kerana sifat sabar memiliki pengaruh yang besar akan keteguhan seseorang dalam menapaki sebuah jalan, menjaga diri agar tidak tergelincir, menyimpang, tergesa-gesa dan lemah.
Sekiranya kesabaran tidak mengantarkan sesorang kecuali pada tingkat kecintaan, maka itu sudah cukup sebagai sebuah kemuliaan, serta perolehan yang amat agung.

6. Berteman dengan orang-orang yang bercita-cita tinggi dan menelaah kisah-kisah mereka: Sesungguhnya faktor paling dominan yang dapat meninggikan sebuah cita-cita adalah; apabila seorang muslimah beteman dengan muslimah lainnya yang memiliki kesungguhan dalam beribadah, menuntut ilmu dan beramal. Senantiasa memperhatikan nasihat-nasihatya lalu mengikutinya. Meniru serta mengikuti jejak para wanita mulia juga dapat menguatkan tekad seorang muslimah.

Menghayati dan menelaah kisah para wanita shalihah dapat mengasah cita-cita orang-orang yang malas,juga dapat menggerakkan tekad mereka kepada kesungguhan. Sesungguhnya, apabila sesoerang melihat temannya mengunggulinya dalam soal ibadah, kezuhudan, kebudayaan dan perilakunya, biasanya hal itu akan memberi pengaruh terhadap dirinya, inilah tabiat jiwa manusia.

7. Menetapkan target dalam meraih cita-cita tinggi: Tidak ada tujuan yang paling mulia dan agung melainkan meraih ridha Allah سبحا نه و تعالى dan jannahNya.

Usaha untuk mewujudkan cita-cita yang tinggi akan menghadiahkan kepada seseorang tiga perkara –dengan izin Allah -:

1. Derajat yang tinggi di akhirat
2. Teguh di jalan yang benar
3. Sebutan dan sanjungan yang baik sesudah kematian, berupa doa dari orang-orang shalih serta permintaan ampunan dari orang-orang yang meminta ampun.

Ketahuilah! Sekiranya tujuan anda tercapai sementara itu adalah tujuan yang agung dan tinggi, sungguh anda telah meraih keberuntungan yang besar dan agung.
Wallahul Muwaffiq

[Dipetik dari buku “Setinggi Cita Perindu Surga” buah karya Isham bin Muhammad Asy-Syarif, Terbitan Pustaka At-Tibyan, Disember 2007]

Thursday, 30 April 2009

~ Setinggi Cita Wanita Perindu Syurga ~


بسم الله الرحمن الرحيم

- Bercita-cita tinggi merupakan Karekter Islam - Bhg.1

Wanita shalihah yang bercita-cita tinggi, dialah wanita yang berjalan di atas petunjuk Nabi صلى الله عليه و سلم dan dia menjadikan wanita mukminah yang terpandang sebagai panutan dan teladan untuk boleh bercita-cita tinggi seperti mereka. Oleh kerana itu, ia tidak terbawa arus dunia, sehingga ia tidak bersikap malas dan lemah.

Lantas mengapa cita-cita tinggi wanita shalihah tiba-tiba menurun justru ketika dunia sudah terbuka bagi mereka?

Begitu pula keinginan mereka untuk meraih cita-cita tinggi pudar, setelah mereka menikah dan mengurus anak?

Dimanakah cita-cita tinggi yang dulu pernah mereka cita-citakan, dan tidak ada yang boleh menggantikan kedudukannya kecuali Allah?

Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits berisikan anjuran untuk meraih sebuah cita-cita dan berlomba-lomba dalam kebaikan, antara lain:

“Berlomba-lombalah untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian.” (QS: Al-Hadid: 21)

“Bersegeralah untuk mencari ampunan dari Rabb kalian dan mendapat jannah yang luasnya seperti luasnya langit-langit dan bumi dan ia hanya disediakn bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS: Ali Imran: 133)

“Maka bersegeralah kembali (untuk mentaati) Allah.” (QS:Adz-Dzariyat: 50)

“Bersungguh-sungguhlah kamu untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan manfaat untuk dirimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan pernah merasa lemah.” (HR. Muslim)

“Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah jannah Firdaus, sesungguhnya ia jannah yang paling mulia.”
(HR. At-Thabrani, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no.592)

Faktor-Faktor Yang Melemahkan Cita-Cita

1. Merasa Lemah: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Imam Ahmad, dan dinyatakn shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no.958).

Cinta dunia merupakan faktor seseorang menjadi lemah semangat dan penyebab seseorang terpikat oleh hawa nafsu, sehingga ia terjerumus dalam kemewahan hidup, bersaing demi dunia yang menipu, hingga ia merasakan bahwa ibadah merupakan pekerjaan yang memberatkan dan membosankan. Sementara “Benci kematian” merupakan buah kecintaan terhadap dunia dan ingin mendapatkan kesenangannya, padahal bersamaan itu pula ia menghancurkan kehidupan negeri akhiratnya.

2. Masa Senggang : Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Waktu-waktu senggang pasti dilalui oleh orang-orang yang menjalani hidup ini. Barangsiapa menggunakan waktu senggang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengamalkan kebaikan,serta tidak mengeluarkannya dari (meninggalkan) kewajiban, dan tidak menjerumuskannnya dalam perkara yang haram, mudah-mudahan ia boleh kembali mengamalkan kebaikan yang pernah ia tempuh dan jalani sebelumnya. Sebab ibadah yang paling dicintai oleh Allah adalah ibadah yang terus-menerus dilakukan oleh seorang hamba (walaupun hanya sedikit) . (Madarijus Salikin, III/126)

3. Menyia-nyiakan Waktu yang Berharga: Seorang muslimah yang tidak memahami akan penting dan berharga sebuah waktu, nescaya prinsip dan tekadnya akan menjadi lemah. Oleh kerana itu, seorang muslimah harus berhati-hati dan waspada jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaknya ia senantiasa memanfaatkan wakatu malam dan siangnya.

4. Rasa Malas: Inilah sifat yagn sering kali menjangkiti kebanyakan orang, ia akan membuat mereka enggan meraih cita-cita dan prestasi tinggi, tidak mahu keluar menuntut ilmu, tidak mahu melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar dalam rangka mengadakan perbaikan dan berdakwah. Sifat ini juga akan membuat seseorang menjadi lemah dan rela dengan hal-hal yang rendah.

Indikasi seorang muslimah memiliki sifat malas dapat dilihat dari sifat-sifat buruk yang ada pada dirinya, berupa lemah semangat serta keterusannya dalam kemalasan dan kesenangan, dan dalam hal ini seorang teman sangat berpengaruh. Oleh kerana itu, hendaknya seorang muslim benar-benar memilih teman yang bercita-cita tinggi, menjauhi sifat malas, dan orang-orang yang malas.

5. Menunda-nunda Pekerjaaan Dengan Perkataan “Nanti Saja” dan Hanya Berangan-angan: Setiap kali muslimah ingin melakukan perbuatan baik, maka setan akan menghalangi dan menyuruhnya untuk menunda perbuatan tersebut dengan kata-kata, “Akan saya lakukan nanti kalau…..” yang akhirnya tertunda sampai maut datang menjemputnya.

6. Berteman Dengan Wanita yang Tidak Berambisi dan Terlena: Tidak diragukan lagi bahwa wanita muslimah dengan cepat dan pasti mudah terpengaruh oleh teman-temannya.. Oleh kerana itu, seseorang harus cermat dalam memilih teman dan menjauhi setiap wanita yang lemah semangat dan suka melakukan perbuatan yang sia-sia.

Seorang muslimah hendaknya juga memperhatikan, boleh jadi ia berteman dengan seorang muslimah yang baik dan shalih,namun semangat dan tekad mereka rendah serta tidak kuat, sehingga tanpa ia sadari bahwa mereka adalah penyebab merosotnya dan lenyapnya sebuah cita-cita. Padahal manusia itu mudah terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya, oleh kerana itu kita harus bijak memilih teman dan sahabat meskipun teman tesrebut termasuk saudari muslimah yang beragama, sebab sebahagian mereka ada juga yang ambisinya rendah dan suka menyia-nyiakan waktu.

7. Fitnah Pernikahan dan Anak-Anak: Sesungguhnya, pernikahan kadang kala menjadi motivasi untuk beribadah, mencari ilmu dan berdakwah menuju jalan Allah. dan secara umum memotivasi seseorang agar meraih prestasi yang tinggi, namun kadang kala ia juga menjadi cobaan dan fitnah.

Yang perlu diperhatikan di sini bahwa keadaan sebahagian orang itu berubah-ubah setelah mereka menikah, baik berubah dalam soal ibadah, mncari ilmu ataupun dalam soal dakwah. Manusia biasanya menjadi lemah dan kendur, namun ada yang berusaha untuk menghindari darinya dan ada juga yang membiarkannya. Dalam masalah ini harus diperinci, bila perubahannya disebabkan kerana menjalankan kewajiban syariat berupa menunaikan hak-hak seorang anak atau keluarganya, tanpa melanggar atau lalai dari mengerjakan ibadah, belajar, dan berdakwah maka ini suatu hal yang wajar, kerana keadaannya tidak akan mungkin jadi sebagaimana waktu mudanya, merdeka dan bebas, kerana sekarang ia harus menunaikan tanggung jawabnya.

Perhatikan firman Allah ini: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); disisi Allah lah pahala yang besar.” (QS:At-Taghabun: 15)

Demikianlah dibentang faktor-faktor yang melemahkan cita-cita dan mengendurkan semangat seseorang wanita muslimah. Namun, tentu ada solusinya untuk seseorang muslimah memiliki cita-cita tinggi kerana bercita-cita tinggi merupakan karektor Islam dan dengannya akan mengantar seseorang pada kebaikan tanrpa dikurangi, dengan izin Allah Ta’ala.

Tanamkanlah cita-cita tinggi dalam diri anda dan jangan terlepas darinya. Insya Allah, ikutilah bahagian keduanya……” Faktor-Faktor Penting Bagaimana Meninggikan Cita-Cita Dan…..

Wednesday, 15 April 2009

~ Cita-Cita Tinggi ~

Ibnul Qayyim رحمه الله berkata:

Cita-cita tinggi adalah cita-cita yang tidak ditujukan kecuali hanya kepada Allah, dan tidak bisa ditujukan kepada selainNya. Ia tidak rela bila digantikan oleh selain Allah, ia juga tidak menggantikan rasa andilnya terhadap Allah kepada hal-hal rendah dan fana, ia hanya akan mendekat, senang,gembira, bahagia, dan suka kepadaNya. Cita-cita tinggi ibarat burung yang terbang di atas sekumpulan burung-burung, ia tidak rela sayapnya terlukai, sehingga ia tidak terkena bahaya sebagaimana yang menimpa burung-burung lainnya.

Sesungguhnya ‘sebuah cita-cita’ bila semakin tinggi, maka bahaya akan sulit untuk menimpanya. Tetapi bila cita-cita itu rendah, maka berbagai macam bahaya mudah datang dari setiap arah. Dan sesungguhnya bahaya merupakan penghalang dan penghadang. Sekali-kali ia tidak akan mengantarkan seseorang kepada puncak yang tertinggi, ia hanya akan menyeret ke tempat yang bawah dan hina. Cita-cita tinggi seseorang dapat dilihat dari adanya keberuntungan bagi dia, sementara cita-cita rendah seseorang dapat dilihat dari tidak adanya kemenangan yang didapat. “ [Madarijus Salikin karya Ibnul Qayyim, III/171-172]

Wednesday, 8 April 2009

~ Jadilah Penyeru Kebaikan ~

Bagaimanakah perasaan seseorang yang engkau beri bantuan kewangan, atau engkau beri hadiah yang berharga, atau engkau beri kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan?...atau engkau lakukan kebaikan dunia apapun terhadap mereka.

Tentu ia tidak akan melupakan kebaikanmu seumur hidup, ia akan selalu mengingatmu pada setiap waktu dan kesempatan!

Lalu, bagaimanakah respon mereka ketika engkau berikan kepada mereka “hadiah” yang sangat besar nilainya, kebaikan yang sangat berharga, dimana manfaatnya akan selalu ia rasakan tidak hanya di dunia ini saja, namun sampai di akhirat kelak dan ketika bertemu dengan Tuhannya, bahkan menjadi sarana yang menghantarnya masuk surga, atau tangga yang menghubungkannya mencapai surga Firdaus yang paling tinggi dengan izin Allah?!!

Ketahuilah,”hadiah agung” tersebut adalah seruan kepada seseorang untuk mengikuti risalah Allah di muka bumi. Menyadarkannya akan tujuan manusia diciptakan di bumi, mengajarkannya cara memenuhi kewajiban, mengenalkan kepadanya akhlak yang mulia, mengarahkannya untuk melakukan amal shalih, menjauhkannya dari maksiat, dan menyelamatkannnya dari kekafiran, jika ia non muslim.

Kemudian apa yang akan engkau rasakan, ketika melakukan tugas mulia ini, lalu engkau melihat hasilnya yang dengan sebab dirimu ia mendapatkan hidayah atau mendapatkan pendidikan?

Bukankah engkau akan merasakan kebahagiaan yang tiada tara, kegembiraan yang tak terkira, keceriaan yang memukau dan kenyamanan yang tak tergambarkan?

Semua ini akan memotivasi setiap muslim dan muslimah untuk menjalani kewajiban yang agung ini, untuk membagikan “hadiah” yang termahal tersebut kepada orang-orang yang berada disekitarnya secara cuma-cuma tanpa mengharap balasan maupun imbalan apapun…baik untuk orang-orang non muslim dengan menghantarkannya kepada hidayah Islam. Sedangkan untuk orang-orang muslim dengan memberikan bimbingan dan nasehat!

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang menyerah diri?” (QS.Fushilat: 33)

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bahwa Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui dirimu, sungguh hal itu lebih baik dari pada engkau memiliki unta merah.” (HR Bukhari & Muslim)

Beliau juga bersabda, “Barangsiapa menyeru kepada kebaikan – hidayah, maka baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, yang hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala mereka sama sekali,” (HR Muslim)

Jika engkau telah rela menjadi salah satu personil yang memanggul pemantik cahaya dan hidayah ini, maka tidaklah penting bagi anda untuk menjadi seseorang yang mampu menyampaikan materi atau makalah, tidak juga harus menjadi orang yang mampu mengarang buku, tidak juga untuk menjadi orang yang mampu berceramah, akan tetapi engkau bisa dan mampu melaksanakan tugas ini dengan berbagai sarana dengan usaha sekecil apapun, dan anda mampu melakukannya setiap saat.

Jika demikian halnya, maka marilah kita berlomba-lomba untuk menunaikan tugas para nabi, para rasul, dan orang-orang terpilih, agar kita berbahagia di dunia dan di akhirat, juga untuk membahagiakan orang-orang yang melalui perantaraan kita mereka dapat masuk Islam dan mendapatkan hidayah. [Petikan dari buku ‘Melejit Potensi Diri’ oleh Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Aidan, ms 174-177]

Thursday, 2 April 2009

~ Anjuran Melaksanakan Qiyamul Lail ~

Umar bin Dzar berkata, “Ketika para ahli ibadah melihat malam telah menyergap mereka dan memandang para ahli kemalasan dan kelalaian telah menuju tempat tidur mereka, lalu menikmati pembaringan dan tidurnya, maka mereka (para ahli ibadah) justru bangkit menghadap kepada Allah dengan suka cita dan riang gembira dengan ibadah yang baik di penghujung malam dan tahajjud yang panjang. Mereka menyambut malam dengan badan mereka dan menyongsong kegelapannya dengan wajah mereka. Kemudian malam pun berlalu meninggalkan mereka, namun kelezatan yang diperolehinya dari membaca Al-Quran tidak ikut berlalu dan badan mereka pun tidak jemu melaksanakana ibadah yang panjang.

Ketika pagi hari tiba dua golongan itu ditinggalkan oleh malam dengan keuntungan dan kerugian. Golongan yang satu menyambut pagi dengan perasaan jemu akibat tidur dan istirahat. Sedangkan golongan yang lain menyambut pagi dengan kerinduan akan datangnya malam untuk beribadah. Dua golongan itu amat sangat jauh berbeda. Jadi, berbuatlah untuk dirimu sendiri di tengah malam yang gelap gulita ini. Sebab, orang yang merugi adalah orang yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebaikan malam dan siang, dan orang yang melarat adalah orang yang terhalang dari kebaikan malam dan siang.

Sesungguhnya siang dan malam itu dijadikan oleh Allah sebagai media bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada Rabbnya, dan sebagai malapetaka bagi orang-orang yang tidak beriman untuk melalaikan penyesalan mereka. Maka, hidupkanlah Allah di dalam dirimu dengan mengingatNya, kerana hati hanya bisa hidup dengan mengingat Allah.

Betapa banyak orang yang tidur pada malam ini dan mereka akan merindukannya untuk bangun beribadah ketika berada di dalam kegelapan liang kuburnya. Dan betapa banyak orang yang tidur pada malam-malam ini akan menyesali tidurnya yang panjang ketika kelak ia melihat kemurahan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang tekun beribadah. Jadi, manfaatkanlah perjalanan waktu malam dan siang dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah menyayangi anda.” [1000 Hikmah Ulama Salaf]

Friday, 27 February 2009

~ Surat Terbuka untuk Juru Dakwah Wanita ~

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Saya tidak tahu bagaimana harus memulai surat saya dan bagaimana saya menulisnya. Karena kesalahan itu begitu menyayat hati setiap kali saya mengingatinya. Betapa pedihnya saat-saat saya dilanda kecemasan dan ketakutan akan detail kejahatan yang membuat saya menangis darah dan sangat menderita. Apakah saya layak memberikan nasihat kepada saudari-saudari saya, para juru dakwah wanita? Karena itu adalah peringatan dan pengingat akan besarnya tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka, maka kritik saya adalah: Di mana gerangan para juru dakwah wanita yang memiliki keahlian untuk memberikan bimbingan keimanan dan meyampaikan hadits-hadits Nabawi yang shahih? Sesungguhnya kami benar-benar membutuhkan cinta dan budi baik mereka dengan kata-kata yang baik dan ungkapan yang tulus.

Wahai pelajar putri…
Wahai juru dakwah wanita…


Anda adalah cahaya bagi kami di dalam gelapnya penjara. Maka janganlah anda halangi kami dari tulisan, ucapan dan kisah yang anda sampaikan. Anda adalah orang dengan hati berselimutkan keimanan, sehingga qalbu merasa kasihan melihat masa depan kami. Karena betapapun kami telah melakukan kesalahan dan kaki kami pernah terpeleset, kami tetaplah pemilik kerudung, kesucian dan kehormatan. Kami benar-benar membutuhkan bantuan anda untuk membela kaum anda yang terjerumus ke dalam kesalahan dan terkurung di bailk jeriji besi.

Jadi betapapun kami pernah melakukan kekhilafan, tetapi kami tetaplah cucu-cucu Aisyah, Asma’ dan Sumayyah. Kami akan terpengaruh, menaiki puncak dan mengoreksi kesalahan dengan nasihat anda. Anda harus mengembalikan cita-cita kami, mengobati luka kami, menghapus air mata kami, dan membahagiakan hati kami. Dan, boleh jadi pengarahan anda akan menghempaskan halusinasi yang bohong dan angan-angan yang menipu kami hingga terjerumus ke dalam lorong-lorong penjara dan kegelapannya yang pekat.

Saudari juru dakwah…

Hati saya benar-benar rasa bahagia dan dada kami terasa sejuk ketika saya bisa kembali kepada Al-Qur’anul Karim. Karena sebelumnya saya tidak memiliki ketenangan dan kesantunan, dan tidak mampu meluruskan kesalahan dengan langkah yang mantap. Sebab, tanpa A-Qur’an, cita-cita saya begitu lemah. Saya menjadi lupa diri, tidak bisa merasakan manisnya iman dan keikhlasan kepada Allah سبحا نه و تعالى. Benar apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah wanita kepada saya ketika dia mengatakan,

“ Hafalkanlah Al-Qur’an Al-Karim,karena ia adalah ilmu. Sedangkan ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah adalah pengaman bagi wanita-wanita yang berjalan.”

Hendaklah cita--cita dan obsesi terbesar anda adalah rambu-rambu dan tanda-tanda berikut:
Manhaj : Syari’at Allah سبحا نه و تعالى dan ajaran Rasulullah صلى الله عليه و سلم
Akhlak : Akhlak Islami yang luhur.
Etika : Malu, iffah (menjaga kehormatan diri), suci dan hijab.
Idola : Para Ummul Mukminin dan para wanita shalihah.
Cinta : Allah سبحا نه و تعالى, Rasulullah صلى الله عليه و سلم dan wanita-wanita beriman.
Kesendirian : Berdzikir kepada Allah سبحا نه و تعالى, membaca al-Qur’an, shalat dan ibadah-ibadah sunnah.
Teman : Setiap muslimah yang beriman, konsisten terhadap agamanya, dan suka memberikan nasihat yang baik.
Musuh : Narkoba dan semua majalah, channel dan segala tempat yang menyebarkan nilai-nilai murahan.
Penutup : Syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah
Balasan: Masuk ke dalam Surga bersama para Nabi dan shiddiqin.
Saudari anda: Narapidana wanita

[ Petikan dari buku ‘Air Mata Penjara Wanita’ oleh Shalih bin Abdul Aziz Al-Muhaimid, ms. 90-92]

Friday, 20 February 2009

~ Lembut Dalam Berdakwah ~

Yazid bin Ashom berkata bahwa dahulu ada seorang pria bengis berasal dari Syam. Ia dilaporkan kepada Umar bin Khathab karena kebengisannya itu. Umar merasa kehilangan dia dan menanyakan tentang dirinya. Ada yang bilang bahwa ia terus-menerus minum-minuman. Kemudian Umar memanggil sekretarisnya dan berkata, “Tulislah! Dari Umar bin Khathab kepada Fulan. Salamun Alaika. Aku memanjatkan puji syukur kehadirat Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, yang Maha Mengampuni dosa, yang Maha Menerima taubat, yang Maha Dasyat siksaNya lagi Maha kaya. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, dan kepadaNya tempat kembali.” Lalu Umar memanjatkan doa dan diamini oleh orang-orang disekitarnya. Mereka pun berdoa agar ia segera menghadap kepada Allah dengan hatinya dan bertaubat kepadaNya.

Surat itu sampai ke tangan pria tersebut. Setelah membacanya ia berkaa, “Dia Maha Mengampuni dosa. Allah telah berjanji kepdaku untuk mengampuni aku. Dia Maha Menerima taubat lagi Maha Dasyat siksaNya. Dia telah memperingatkan aku akan akibat dari orang yang memiliki kekayaan. (Kekayaan itu adalah kebaikan yang banyak.) Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, dan kepadaNya tempat kembali.”

Ia terus mengulang-ulang kata-kata itu kepada dirinya, lalu menangis tersedu-sedu. Ia pun menghentikan kebiasaan buruknya dengan baik. dan ketika hal itu sampai kepada Umar, maka Umar berkata, “Begitulah hendaknya kalian berbuat. Jika kalian melihat salah seorang saudara kalian melakukan kesalahan, maka luruskanlah, bantulah dan panjatkanlah doa agar Allah berkenan menerima tuabatnya. Jangan sekali-kali kalian menjadi teman setan yang tengah mengganggunya. “ [1000 Hikmah Ulama Salaf]

Wednesday, 18 February 2009

~ Mutiara Salafi ~

Berilmu dan Menuntut Ilmu


Abu Darda’ berkata, “Belajarlah sebelum ilmu diangkat. Ilmu diangkat dengan meninggalnya ulama. Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu memiliki kedudukan yang sama dalam hal pahala. Sesungguhnya manusia itu hanya ada dua: orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu. Dan tidak ada kebaikan pada diri manusia yang selain itu.”


Wahab bin Munabbih berkata, “Ada tiga hal yang berasal dari ilmu: kehati-hatian yang menghalangi seseorang dari perbuatan maksiat; budi pekerti yang digunakan untuk bersikap baik kepada orang lain; dan kesantunan yang digunakan untuk membalas kejahilan orang jahil.”


Sufyan Ats-tsauri berkata, “Kami tidak pernah berhenti mengkaji ilmu selama ada orang yang mengajari kami.”


Sufyan bin Uyainah berkata, “ Orang yang berakal bukanlah orang yang mengetahui baik dan buruk, melainkan orang yang apabila melihat kebaikan, ia mengikutinya dan jika melihat keburukan, ia akan menjauhinya.”


Malik bin Dinar berkata, “Jika seseorang mencari ilmu untuk diamalkan, maka ilmunya itu akan melunakkan hatinya. Jika ia mencari ilmu bukan untuk diamalkan, maka ilmunya itu akan menambah kesombongannya.”

Thursday, 29 January 2009

~ Bantahan Terhadap Mereka Yang Membagi Bid’ah Kepada Bid’ah Hasanah (Yang Baik) Dan Bid’ah Sayyi-ah (Yang Buruk).~ Bahagian 2/2

Sesungguhnya yang dia maksudkan dengan bid’ah hanyalah bid’ah dalam arti bahasanya, yaitu hal baru yang belum dikenal sebelum diadakan. Dan tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih secara berjamaah di belakang satu imam itu tidak pernah dilakukan dan diamalkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan separuh dari masa kekhlifahan ‘Umar. Maka, dilihat dari ungkapan ini, dia adalah sesuatu yang baru, tetapi dengan melihat bahwa hal itu sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم, maka dia adalah Sunnah , dan bukan bid’ah. Dan tidaklah ‘Umar mensifatinya dengan kata-kata “baik”, melainkan karena ia adalah Sunnah.

Atas pengertian inilah kiranya para ulama ahli tahqiq menafsirkan ucapan ‘Umar tersebut. ‘Abdul Wahhab as-Subki berkata dalam kitab Isyraaqul Mashaahiih dan kitab Shalaatut Taraawiih (1/168) dari kitab al-Fataawa: Ibnu Abdil Barr berkata: “Umar tidaklah mensunnahkan sesuatu pada shalat tarawih tersebut melainkan apa yang telah disunnah oleh Rasulullah , disenangi dan diridhainya. Dan Rasulullah صلى الله عليه و سلم sendiri tidak berhenti melakukannya secara rutin melainkan karena khawatir apabila hal itu akan diwajibkan atas ummat beliau.,sedangkan beliau sangat belas kasih dan menyayangi kaum Mukminin. Tatkala ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah صلى الله عليه و سلم dan mengetahui bahwa hal-hal yang diwajibkan tidak akan ditambah dan tidak akan dikurangi setelah beliau wafat, maka dia memberlakukannya terhadap masyarakat, menghidupkannya dan memerintahkannya. Hal itu terjadi pada tahun 14H.

Itulah sesuatu yang Allah simpan dan anugerahkan kepadanya, yang tidak Dia ilhamkan kepada Abu Bakar, sekalipun dia itu lebih utama dan lebih cepat dalam menuju semua kebaikan. Bagi masing-masing dari keduanya memiliki beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.” As-Subki melanjutkan: “Seandainya hal itu tidak diperintahkan, niscaya itu adalah bid’ah yang tercela sebagaimana yang berlaku pada shalat raghaa-ib pada malam Nisfu Sya’ban dan Jum’at pertama pada bulan Rajab, sehingga wajib mengingkari.Sedangkan, membatalkan pengingkaran terhadap shalat tarawih dengan berjama’ah adalah sesuatu yang telah diketahui secara pasti dalam agama.”

Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam kitab Fatwa-nya, yang berbunyi: “Mengusir orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dari Jazirah Arab dan memerangi mereka yang enggan untuk membayar zakat,dilakukan atas perintah Nabi, sehingga ia bukanlah bid’ah, sekalipun hal tersebut belum pernah dilakukan pada masa beliau. Dan ucapan ‘Umar mengenai shalat tarawih “sebaik-baik bid’ah adalah hal ini,” dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa, yaitu sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh, sebagaimana Allah berfirman: .... ما كنت بد عا من الرسل .... “…Aku bukanlah yang pertama di antara Rasul-Rasul …. (QS. Al-Ahqaaf: 9)

Ia bukanlah bid’ah syar’iyyah, karena bid’ah syar’iyyah itu sesat sebagaimana dikatakan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم. Siapa saja dari kalangan ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan bid’ah yang tidak baik, maka sesungguhnya dia membagi bid’ah secara bahasa. Dan siapa saja yang mengatakan bahwa setiap perbuatan bid’ah adalah sesat, maka maksudnya adalah bid’ah syar’iyyah.

Tidaklah engkau melihat para Sahabat رضي الله عنهم dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik telah mengingkari adanya adzan untuk selain shalat lima waktu, seperti halnya pada kedua shalat hari raya, sekalipun tidak ada larangan di dalamnya? Dan mereka juga tidak menyukai menyentuh dua rukun Syam (ketika berhaji) dan shalat setelah melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebagai bentuk qiyas atas thawaf? Dan demikian pula dengan sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم padahal ada hal-hal yang menuntut untuk melakukannya ketika beliau masih hidup, maka meninggalkan adalah Sunnah sedangkan melakukannya adalah perbuatan bid’ah yang tercela.

Terdapat pengecualian dari pernyataan kami di atas: “Padahal ada beberapa hal yang menuntut untuk dilakukan ketika beliau masih hidup,” adalah mengusir orang-orang Yahudi, menghimpun mushaf, dan apa saja yang beliau tinggalkan karena adanya hal-hal yang menghalangi pelaksanaannya, seperti pada masalah melakukan shalat tarawih berjama’ah. Sehingga sesuatu yang menuntut untuk melakukannya dianggap sempurna keberadaannya apabila tidak terdapat hal-hal yang menghalangi pelaksanaannya.”

Guru kami رحمه الله berkata mengenai penjelasan ungkapan terakhir, yaitu bahwa kata al-muqtadha at-taamm (sesuatu yang menuntut untuk melakukannya dianggap sempurna) mengandung makna tidak adanya penghalang, seperti halnya pada masalah shalat tarawih secara berjama’ah. Tuntutan untuk melakukan hal itu dulunya telah ada, tetapi terdapat hal lain yang menghalangi pelaksanaannya, yaitu kekhawatiran apabila hal itu diwajibkan. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukannya dianggap tidaklah sempurna.

[Dikutip dari buku ‘Pesan-Pesan Terakhir Rasulullah صلى الله عليه و سلم ‘ Penulis Syaikh Husain bin’Audah al-Awayisyah , Terbitan Pustaka Imam Syafi’I, cetakan pertama 2007]

Sunday, 25 January 2009

~ Bantahan Terhadap Mereka Yang Membagi Bid’ah Kepada Bid’ah Hasanah (Yang Baik) Dan Bid’ah Sayyi-ah (Yang Buruk).~ Bahagian 1/2

Mereka berkata: “Bid’ah ada yang baik dan ada pula yang buruk.”
Kadang-kadang ada yang berkata : “Sungguh Umar رضي الله عنه telah berkata sebelumnya: نعمت البد عة هذه “Sebaik-baik bid’ah adalah amalan ini.” Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdil Qari, dia brkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama ‘Umar bin al-Khaththab menuju masjid. Orang-orang tampak berpencar, seorang laki-laki mengerjakan shalat sendirian dan laki-laki lainnya mengerjakan shalat, lalu ada sekelompok orang menjadi makmumnya (yaitu sejumlah laki-laki yang kurang dari dua puluh orang dan di dalamnya tidak terdapat seorang perempuan pun, Mukhtaarush Shihaah). Lalu ‘Umar berkata: ‘Aku berpikir seandainya aku kumpulkan mereka kepada seorang imam niscaya itu akan lebih baik.’ ‘Umar pun bertekad untuk mengumpulkan mereka dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Pada malam lainnya, aku keluar bersamanya, sedangkan orang-orang melakukan shalat dengan imam mereka. ‘Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini, dan shalat yang mereka tinggalkan karena tidur itu (maksudnya menggantinya dengan shalat di akhir malam) lebih utama daripada shalat yang mereka dirikan (shalat di awal malam), dan orang-orang melakukan shalat di awal malam. (HR Al-Bukhari, no. 2010)

Penulis (Syaikh Husain bin’Audah al-Awayisyah) berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud oleh ‘Umar dengan kata bid’ah di sini adalah bid’ah dari sisi makna kebahasaannya, yaitu perkara baru yang belum pernah dikenal sebelumnya.”

Ibnu Rajab berkata dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam- dengan sedikit perubahan redaksi -: “Sedangkan yang terdapat pada ucapan ulama salaf berupa anggapan baik terhadap sebagian bid’ah, maka hal itu hanyalah dalam kaitannya secara bahasa, bukan secara syari’at. Di antara hal tersebut adalah ucapan ‘Umar رضي الله عنه tatkala dia mengumpulkan orang-orang dalam shalat Sunnah Ramadhan pada satu imam di dalam masjid. Kemudian dia keluar dan melihat mereka mengerjakan shalat seperti itu, lalu di berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”

Maksudnya adalah bahwa perbuatan semacam ini belum pernah dilakukan dengan cara tersebut sebelumnya, tetapi perbuatan ini memiliki beberapa dasar dalam syari’at yang menjadi acuannya. Di antaranya bahwa Nabi صلى الله عليه و سلم menganjurkan untuk mengerjakan shalat Sunnah Ramadhan dan orang-orang pada masa beliau melakukannya di masjid dalam beberapa kelompok terpisah maupun sendiri-sendiri, dan beliau صلى الله عليه و سلم sendiri melakukan shalat dengan para Sahabat beliau di bulan Ramadhan tidak hanya satu malam saja. Kemudian, beliau tidak melakukannya dengan alasan bahwa beliau khawatir jika hal tersebut akan diwajibkan atas mereka, sehingga mereka tidak mampu untuk melaksanakannya. Namun kekhawatiran tersebut hilang setelah beliau wafat.

Di antaranya pula adalah bahwa beliau صلى الله عليه و سلم memerintahkan untuk mengikuti Sunnah khulafa-ur Rasyidin, hla ini merupakan salah satu bagian dari Sunnah Khulafa-ur Rasyidin, kerana orang-orang telah berkumpul untuk melakukannya pada masa ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.” Guru kami, al-Albani رحمه الله berkata dalam kitab Shalaatut Taraawiih (hlm.43): “Dan ucapan ‘Umar ‘Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini’ itu tidak dimaksudkan bid’ah dalam arti syar’inya, yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama tanpa memiliki contoh sebelumnya, sebagaimana yang engkau ketahui bahwa ‘Umar رضي الله عنه tidak pernah mengada-adakan sesuatu yang baru (dalam agama), justru dia telah menghidupkan lebih banyak lagi Sunnah Nabi yang mulia.

(bersambung ke 2/2)

Tuesday, 20 January 2009

~ Mutiara Salafi ~


Sufyan As-Tsaury berkata:

" Bid'ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada kemaksiatan, sebab kemaksiatan itu (pelakunya) akan (mudah) bertaubat daripadanya sedangkan pelaku bid'ah itu sulit untuk bertaubat dari (bid'ahnya) ".


Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu berkata:

" Ikutilah dan janganlah kalian membuat bid'ah. Sungguh, kalian telah dicukupkan olehnya, dan wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sesuatu yang masih asli. "

Saturday, 17 January 2009

~ Seorang Wanita Mendapatkan Kesuciannya Beberapa Saat Sebelum Terbenamnya Matahari, Wajibkah Ia Melaksanakan Shalat Zuhur dan Asar? ~


بسم الله الرحمن الرحيم


Pertanyaan: Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ ditanya: Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya dari haidh atau nifas beberapa saat sebelum terbenamnya matahari,apakah wajib baginya untuk melaksanakan shalat Zuhur dan Asar? Dan jika ia mendapatkan kesuciannya sebelum terbitnya fajar, apakah wajib baginya untuk melaksanakan shalat Maghrib dan Isya atau tidak?

Jawaban: Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya dari haidh atau nifasnya sebelum habisnya waktu shalat yang harus ia kerjakan itu, maka diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat itu serta shalat yang bisa dijama’ bersama shalat itu. Dengan demikian jika seorang wanita mendapat kesuciannya sebelumnya terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Asar dan shalat Zuhur. Dan barangsiapa yang mendapatkan kesuciannya sebelum terbitnya fajar kedua maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya dan shalat Maghrib. Dan barangsiapa yang mendapat kesuciannya sebelum terbitnya matahari maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Subuh.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 2/172 –Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jil 1, hal. 135]