Hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah pengendali dan sekaligus sebagai pemberi komando terdepan yang setiap anggota tubuh berada di bawah kekuasaannya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, baik dalam ketaatan atau penyimpangan. Organ-organ tubuh lainnya selalu mengikuti dan patuh dalam setiap keputusan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya); “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi bila daging itu rusak maka rusak pula tubuh manusia. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)
Pengelompokan Hati Manusia
Hati manusia terbagi menjadi tiga klasifikasi; Qalbun Shahih (hati yang suci), Qalbun Mayyit (hati yang mati), dan Qalbun Maridl (hati yang sakit).
Pertama, Qalbun Shahih
Yaitu hati yang sehat dan bersih (hati yang sehat) dari setiap nafsu yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya. Sehingga ia selamat dari pengabdian kepada selain Allah, dan mencari penyelesaian hukum pada selain Rasul-Nya. Karenanya, hati ini murni pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik pengabdian secara iradat (kehendak), mahabbah (cinta), tawakkal (berserah diri), takut atas siksa-Nya dan mengharapkan karunia-Nya. Bahkan seluruh aktifitasnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Jika mencintai maka cintanya itu karena Allah, dan jika membenci maka kebenciannya itupun karena Allah, jika memberi atau bersedekah, hal itu karena-Nya dan jika tidak memberi, juga karena Allah. Dan tidak hanya itu saja, tapi diiringi dengan kepatuhan hati dan ber-tahkim kepada syari'at-Nya. ia mempunyai landasan yang kuat dan prinsip tersendiri dalam menjadikan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai suri tauladan dalam segala hal. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman; “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Hujurat [49] : 1)
Ciri-ciri Qalbun Shahih
1.Apabila hati pergi meninggalkan dunia menuju dan berdomisili di alam akhirat, sehingga seakan ia termasuk penduduknya. Ia datang ke dunia fana ini bagaikan seorang asing yang kebetulan singgah sebentar sebelum meneruskan perjalanan menuju alam akhirat. Sebagaimana telah diwasiatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma (yang artinya); “Jadikanlah dirimu di dunia ini seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang menyeberangi suatu jalan.” (HR. Bukhari)
2.Jika ia tertinggal wirid, atau sesuatu bentuk peribatan lainnya, maka ia merasakan sakit yang tiada terperi, melebihi sakitnya orang yang tamak dan kikir saat kehilangan barang kesayangannya.
3.Ia senantiasa rindu untuk dapat mengabdikan diri di jalan Allah, melebihi keinginan orang yang lapar kepada makanan dan minuman. Yahya bin Mu'adz berkata; “Barangsiapa yang merasa berkhidmat kepada Allah, maka segala sesuatupun akan senang berkhidmat kepadanya, dan barangsiapa tentram dan puas dengan Allah maka orang lain tentram pula ketika melihat dirinya.”
4.Apabila tujuan hidupnya hanya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
5.Bila sedang melakukan shalat, maka sirnalah semua kegundahannya dan kesusahan karena urusan dunia. Sebab di dalam shalat telah ia temukan kenikmatan dan kesejukan jiwa yang suci.
6.Sangat menghargai waktu dan tidak menyia-nyiakanya, melebihi rasa kekhawatiran orang bakhil dalam menjaga hartanya.
7.Tidak pernah terputus dan futur (malas) untuk mengingat Allah dan berdzikir kepada-Nya.
8.Lebih mengutamakan pada pencapaian kualitas dari suatu amal perbuatan daripada kuantitas. Ia lebih condong pada keikhlasan dalam beramal, mengikuti petunjuk syari'at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disamping ia selalu merenungi segala bentuk karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan mengakui tentang kelalaian dan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua, Qalbun Mayyit
Qalbun Mayyit (hati yang mati) adalah kebalikan dari hati yang sehat, hati yang mati tidak pernah mengenal Tuhannya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. dan ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginan hawa nafsunya, walaupun hal ini menjadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala marah dan murka akan perbuatannya. Ia tidak peduli lagi apakah Allah ridha atau murka terhadap apa yang dikerjakannya, sebab ia memang telah mengabdi kepada selain Allah. Jika mencintai didasarkan atas hawa nafsu, begitu pula dengan membenci, memberi. Hawa nafsu lebih didewa-dewakan daripada rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Hati jenis ini adalah hati yang jika diseru kepada jalan Allah, maka seruan itu tidaklah berfaidah sedikitpun, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menutup hati mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya); “Dan diantara mereka ada orang yang mendengar (bacaanmu), padahal kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka sehingga mereka tidak memahaminya) dan kami letakkan sumbatan di telinganya dan jikalaupun mereka melihat segala tanda kebenaran mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata; 'al-Qur'an itu tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu.'” (QS. al-An'am [6] : 25)
Ayat ini menunjukkan, bahwa ada manusia yang tidak mempergunakan hatinya untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidak mempergunakan telinganya untuk mendengar perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga tidak mau melihat kebenaran yang telah disampaikan. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya); “(Mereka berkata;) Hati kami tertutup dari ajakan yang kamu serukan kepada kami, dalam telinga kami ada sumbatan, dan diantara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja pula.” (QS. Fushilat [41] : 5)
Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membiarkan mereka dalam kegelapan dan mereka sedikitpun tidak akan mendapatkan cahaya iman. “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka. Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat, mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidaklah kembali kepada jalan yang benar.” (QS. al-Baqarah [2] : 17-18)
Ketiga, Qalbun Maridl
Qalbun Maridl (hati yang sakit) adalah hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun didalamnya tersimpan benih-benih penyakit berupa kejahilan. Hati yang sedang dicekam sakit akan mudah menjadi parah apabila tidak diobati dengan hikmah dan mau'idzah. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya); “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan setan, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya.” (QS. al-Hajj [22] : 53)
Karena sesungguhnya apa yang disisipkan oleh setan ke dalam hati manusia itu, akan membuat sesuatu menjadi syubhat (sesuatu yang meragukan), seperti penyakit ragu dan sesat. Begitu hati menjadi lemah karena penyakit yang diidap, maka setanpun mudah merasuk kedalam hati lalu menghidupkan fitnah dalam hati tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka. Kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (QS. al-Ahzab [33] : 60)
Namun demikian, hati orang-orang yang seperti itu belumlah mati sebagaimana hati orang-orang kafir dan orang-orang munafik, akan tetapi bukan pula hati sehat, seperti sehatnya hati orang-orang yang beriman. Sebab di dalam hati mereka terdapat penyakit syubhat dan syahwat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya): “Sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.” (QS. al-Ahzab [33] : 32)
Ciri-ciri Qalbun Maridl
Boleh jadi hati manusia sedang sakit, bahkan tanpa disadari. Lebih tragis bahwa hatinya sebenarnya mati, namun si empunya tidak menyadari.
Tanda-tanda spesifik hati yang sedang sakit atau mati adalah jika ia tidak merasa sakit dan pedih oleh goresan-goresan pisau kemaksiatan, Hal itu disebabkan karena hatinya telah rancu dan teracuni, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara nilai kebenaran dan aqidahnya yang bathil. Hal ini seperti ditafsirkan oleh Mujahid dan Qatadah tentang firman Allah yang berbunyi “fi qulubihim-maradhun” (QS. al-Baqarah [2] : 10), artinya; “Dalam hati mereka terdapat penyakit.” “Ayat ini menunjukkan adanya keraguan yang tumbuh dalam hati manusia tentang kebenaran.” Bahkan ia melihat kebenaran bagai sesuatu yang sangat bertentangan dengan kehendaknya. Kebenaran itu dilihat dari sisi lain yang terasa merugikan dirinya. sehingga dalam kondisi seperti ini ia lebih menyukai kebathilan dan kemudharatan.
Faktor-faktor Penyebab Sakitnya Hati
Penyebab timbulnya penyakit di hati adalah dikarenakan banyaknya fitnah yang selalu dibidikkan pada hati. Fitnah-fitnah tersebut dapat berupa: fitnah syahwat, dimana reaksinya amat keras sampai dapat merancukan niat dan iradat (kehendak) seseorang. Dan yang lain adalah fitnah syubhat (keragu-raguan) yang menyebabkan kacaunya persepsi dan i'tiqad (keyakinan).
Racun Hati
Setiap kemaksiatan adalah racun dan yang merupakan penyakit dan perusak kesucian hati. Dan racun-racun hati yang paling banyak ditemukan dan reaksinya cukup keras bagi kelangsungan hidup hati ada empat macam yaitu:
1.Berlebihan dalam Berbicara
Banyak berbicara adalah salah satu faktor yang menyebabkan hati menjadi keras, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Janganlah memperbanyak kata (bicara) selain dzikrullah, karena banyak bicara selain dzikrullah menjadikan hati keras. Dan orang yang terjauh dari Allah adalah yang berhati keras.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma). Kemudian juga dengan banyak berbicara terkadang membuat seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya, sehingga melahirkan kerugian dan penyesalan. Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pernah berkata; “Barang siapa yang banyak bicaranya, maka banyak kesalahannya, sehingga nerakalah sebaik-baik tempat bagi mereka.” Hal ini ditegas juga dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya); “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Muttafaq 'alaihi, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
2.Berlebihan dalam Memandang Sesuatu
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kepada setiap Mukmin dan Mukminah untuk menundukkan pandangannya, yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati mereka. Dan juga mereka akan merasakan manisnya iman, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Barangsiapa yang menahan pandangannya karena Allah, maka dia akan diberikan oleh Allah rasa manisnya iman yang ia rasakan dalam hatinya, sampai dimana ia manghadap kepada-Nya.” (HR. Ahmad). Sekarang bagaimana jika perintah itu dilanggar, maka jelas akan menyebabkan fitnah bagi hati pelakunya. Yaitu, rusaknya kesucian hati itu sendiri oleh angan-angan dan keindahan semu yang dibisikkan setan, lupa terhadap hal yang menjadi kemaslahatan. Lalu ia berbuat melampaui batas sehingga hilanglah akal sehatnya dan menyebabkan ia menjadi pengabdi hawa nafsu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya); “Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi : 28)
3.Berlebihan dalam Makan
Sedikit makan dapat melunakkan hati, menajamkan otak, merendahkan nafsu birahi dan melemahkan nafsu amarah. Sedangkan bila banyak makan, bahkan sampai kekenyangan akan berakibat sebaliknya.
Dari Miqdam bin Ma'di Karib dia berkata; bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Anak adam tidak memenuhi wadah yang lebih buruk, daripada ia memenuhi perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap saja untuk menguatkan tulang rusuknya. Jika memang tidak memungkinkan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Alangkah banyak kemaksiatan yang tersulut akibat makan yang berlebihan dan menghalangi ketaatan manusia kepada Sang Khalik. Karenanya siapa yang mampu menjaga perutnya dari sifat serakah, maka ia benar-benar membuktikan bahwa dirinya mampu menjaga diri dari keburukan yang lebih fatal lagi.
Ibrahim bin Adham berkata; “Barangsiapa mampu mengendalikan perutnya, maka ia mampu pula mengendalikan agamanya, dan barangsiapa yang mampu menguasai rasa lapar (tidak makan berlebihan) maka ia dapat menguasai akhlak-akhlak yang baik, sebab maksiat kepada Allah itu jauh dari orang-orang yang lapar (yang mampu mengendalikan syahwat perutnya).”
4.Berlebihan dalam Bergaul
Betapa tragis suatu pergaulan yang dapat merampas kenikmatan yang telah ada, karenanya timbul benih-benih permusuhan dan kebencian yang terpendam sehingga menyesakkan rongga-rongga dada. Namun rasa itu sulit dihindari terutama oleh hati yang sudah terluka. Demikian juga berlebih-lebihan dalam pergaulan dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Seyogyanya bagi seorang hamba dapat mengambil hikmah dari setiap pergaulan. usahakanlah untuk bersikap bijak dan dapat menempatkan diri dalam menghadapi berbagai karakter teman sepergaulan. Dimana karakter-karakter tersebut ada empat golongan:
◦Terhadap orang yang jika kita membutuhkan bergaul dengannya, laksana kebutuhan kita terhadap makanan, kita tidak dapat lepas darinya dalam sehari semalam. Mereka itu adalah para Ulama yang memiliki cakrawala pengetahuan yang luas tentang ilmu Agama, mengetahui tipu daya setan dan segala macam bentuk penyakit hati.
◦Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya seperti kebutuhan kita akan obat. Kita mengharapkannya dikala kita sedang sakit saja, tetapi bila badan kembali sehat maka mereka tidak kita butuhkan lagi. Mereka ini adalah dari orang yang kehadirannya kita nantikan berkaitan dengan masalah kemaslahatan hidup dan kehidupan, seperti untuk saling bekerjasama atau sebagai mitra kerja dalam berniaga, bertani, bermusyawarah dan masalah-masalah lain dalam hal muamalah.
◦Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya, tidak ubahnya seperti penyakit. Golongan ini terbagi menjadi beberapa jenis dan tingkatan, bergantung pada intensitasnya terhadap jiwa kita. Diantara mereka adalah yang bersifat individualis dan egoistis. Jika bergaul dengannya hendaklah kita waspada dan berlaku bijak dalam menghadapinya. Hal ini bukan berarti kita harus menghindar dan tidak mau bergaul dengannya, tetapi jagalah jangan sampai diri kita terbawa oleh pengaruh kepribadiannya, karena akan merugikan kita dalam hal agama dan dunia. Oleh karena itu sebaiknya orang-orang yang masuk dalam tipe ini hendaklah dijauhi jika ingin selamat agama dan dunia kita.
◦Terhadap orang yang bila kita bergaul dengannya akan membawa kefatalan, sebab ia laksana ular berbisa. Andaikan kita sampai terkena patuknya, kemudian kita berhasil menemukan penawarnya maka selamatlah kita, tetapi jika tidak, inilah bencana bagi kita. Golongan ini banyak berkeliaran di sekitar kita. Mereka adalah ahli bid'ah yang sesat dan menyesatkan, menyimpang dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka pandai membolak-balikkan fakta, Sunnah mereka jadikan bid'ah dan bid'ah mereka jadikan Sunnah. Bagi orang yang berakal tidak layak untuk bergaul ataupun duduk-duduk bersama mereka. Jika itu tetap dilakukan maka akan sakitlah hati bahkan bisa menyebabkan hatinya menjadi mati.
bersambung ke 2/2
Monday, 7 June 2010
~ Macam-Macam Hati dan Kriterianya 1/2/~
Posted by NbI @ NuRiHSaN at 11:43 am
Labels: ~ Muhasabah ~
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment