MENGENAL INDAHNYA ISLAM...

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Wednesday, 21 July 2010

~ Inilah Dakwah Kami ~


oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul dan nabi yang terakhir untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari kekafiran kepada iman, dari kesyirikan kepada tauhid, dari neraka kepada surga. Beliau telah menyampaikan risalah yang mulia ini secara sempurna kepada umatnya, yakni para Sahabatnya radhiyallahu ‘anhum pada waktu itu. Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum mengorbankan jiwa dan harta mereka untuk mendukung dan mengamalkan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian, mereka pun layak untuk menggapai kemuliaan Islam dan menjadi generasi yang terbaik dari umat ini. Allah berfirman:

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (Ali Imran: 110)

Sesungguhnya Dakwah Salafiyyah merupakan seruan yang mengajak seluruh manusia kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan pemahaman para Salaf yang baik dalam segala aspek, baik dari segi aqidah, manhaj, ibadah, mu’amalah, akhlak, adab, dan lain sebagainya. Alasan inilah, yang membuat setiap muslim tidak perlu ragu terhadap kebenaran Dakwah yang agung ini. Dakwah ini berasaskan Al-Qur’an sebagai kalamullah yang tidak diragukan lagi kebenarannya, As-Sunnah yang diambil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsu melainkan dengan wahyu dari Allah, serta pemahamam para Sahabat yang kesepakatan mereka adalah ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).

Oleh karena itu, barangsiapa yang meragukan kebenaran Dakwah Salafiyyah, berarti dia meragukan kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta menganggap para Sahabat yang mulia telah bersepakat di atas kebatilan. Alangkah celaka orang-orang yang meragukan kebenaran Dakwah Salafiyyah ini!!!

Dakwah Salafiyyah akan selalu disuarakan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Firqatun-Najiyah, atau At-Thaifah Al-Manshurah pada setiap masa dan dimana pun mereka berada. Dengan keberlangsungan dakwah ini, Allah menegakkan hujjah-Nya atas segenap manusia sampai hari Kiamat. Dakwah Salafiyyah ini tentunya sangat berbeda dengan berbagai Dakwah sempalan yang mengajak kepada golongan masing-masing. Dakwah Salafiyyah tidak pernah mengajak kepada golongan, kelompok, organisasi tertentu, atau tokoh agama yang jelas tidak ma’shum. Sementara kita bisa menyaksikan Dakwah-Dakwah yang lain secara beramai-ramai mengajak umat untuk kembali kepada Al¬-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman pendiri atau tokoh masing-masing.

Misalnya:
- Rafidhah mengajak kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Abdullah bin Saba’ Al-Yahudy .

- Jahmiyyah mengajak kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Sofwan.

- Asy’ariyyah mengajak kembali kepada Al-Qur`an dan AS-Sunnah sesuai dengan pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ary sebelum taubatnya kepada manhaj Salaf .

- Maturidiyyah mengajak kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Abul Manshur Al-Maturidy.

- Mu’tazilah (kaum Rasionalis) mengajak kepada keduanya sesuai dengan pemahaman Washil bin Atha’.

- Jama’ah Tabligh mengajak kepada keduanya sesuai dengan pemahaman Muhammad Ilyas.

- Ikhwanul Muslimin mengajak kepada keduanya sesuai dengan pemahaman Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, dan tokoh-tokoh lain yang termasuk dari pentolan mereka.

- Hizbut Tahrir mengajak kepada keduanya sesuai dengan pemahaman Taqiyuddin An-Nabhani.

- Sururiyyah mengajak kepada keduanya sesuai dengan pemahaman Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin.

Dan demikianlah segenap Dakwah sempalan yang lainnya.

Adapun Dakwah Salafiyyah mengajak kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Sahabat radhiallahu ‘anhum sebagai generasi terbaik umat ini yang kesepakatan mereka adalah ma’shum. Pemahaman mereka ini telah diwarisi oleh generasi yang terbaik setelah mereka yakni para Tabi’in dan Atba’ut tabi’in.

Dari sisi lain, perbedaan antara Dakwah Salafiyyah dengan dakwah yang bid’ah yaitu Dakwah ini menganjurkan pengikutnya untuk mengambil ilmu dari para ulama salaf yang terpercaya pada setiap masa, baik dengan belajar langsung atau melalui buku-buku mereka. Adapun dakwah bid’ah yang dapat dipastikan kebatilannya, menjauhkan para pengikutnya dari para ulama Salaf.

Imam Al-Auza’i rahimahumullah berkata:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ، وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ، وَإِنْ زَخْرَفُوا لَكَ بِالْقَوْلِ
“Ikutilah atsar (jejak) para Salaf walaupun manusia menentangmu, dan jauhilah logika-logika para tokoh, walaupun mereka menghiasinya untukmu dengan perkataan (indah yang menipu).” [SHAHIH, HR. Al-Khatib, Al-Ajurri dan Ibnu Abdil Barr]

Beliau juga berkata:
فَاصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُوا، وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوا عَنْهُ، وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَّالِحِ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ
“Sabarkan dirimu diatas As-Sunnah, bersikaplah sebagaimana para Salaf bersikap, berucaplah sesuai dengan apa yang mereka ucapkan, tahanlah dirimu dari perkara yang mereka menahan diri, dan melintaslah di atas jalan salafmu yang baik, karena sesungguhnya akan terasa lapang bagimu apa yang terasa lapang bagi mereka”. [HR. Al-Laalika`i, Baihaqi dan Al-Aajurri dengan sanad yang SHAHIH]

Imam Abu ‘Aliyah rahimahullah berkata: “Ikutilah perkara agama yang terdahulu (dimasa Salaf). Mereka berada di atasnya sebelum umat ini berpecah belah (menjadi bergolong-golongan).”

Prinsip-prinsip Dakwah Salafiyyah

Dakwah Salafiyyah adalah seruan kepada jalan Allah agar manusia mentauhidkan-Nya. Dakwah kepada jalan Allah merupakan dakwah para rasul ‘alaihimus salam. Allah berfirman:

“Dan tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelummu (wahai Nabi) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, maka kepada-Kulah hendaknya kalian beribadah.” (Al-Anbiya’: 25)

Dakwah Salafiyyah memiliki beberapa prinsip, sesuai dengan manhaj yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dimana dakwah-dakwah bid’ah yang berkiprah saat ini mesti menyelisihi salah satu atau lebih dari beberapa prinsip tersebut. Adapun prinsip-prinsip yang kami maksud adalah sebagai berikut:

1. Dakwah Salafiyyah berdiri diatas ilmu yang haq.
Seorang yang menyeru kepada Dakwah Salafiyyah harus berilmu sebelum berdakwah. Karena seorang yang bodoh akan banyak membuat kerusakan dari arah yang dia mengiranya sebagai kebaikan. Allah berfirman:

“Katakanlah (wahai Nabi) inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, berdakwah kepada jalan Allah diatas bashirah, maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang berbuat syirik.” (Yusuf: 108)

Bashirah dalam ayat ini bermakna ilmu , keyakinan, dan keterangan yang nyata, baik secara syar’i maupun ‘aqly.

2. Dakwah Salafiyyah berdiri diatas sikap beramal dengan ilmu.
Seorang yang menyeru kepada Dakwah Salafiyyah semestinya menjadi teladan yang baik bagi umat ini, dimana perbuatannya membenarkan perkataannya. Sehingga ahli bid’ah tidak memperoleh kesempatan untuk menyerang dan menjatuhkannya. Allah berfirman:

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang-orang yang menyeru kepada Allah dan beramal shalih, lalu dia berkata, sesungguhnya aku termasuk dari orang-orang yang berserah diri”. (Al-Fushshilat: 33)

3. Dakwah Salafiyyah berdiri diatas keikhlasan dalam berilmu, beramal, dan berdakwah.
Seorang yang menyeru kepada Dakwah Salafiyyah seyogyanya memiliki niat yang ikhlas kepada Allah dalam tiga perkara yang tadi disebutkan. Keikhlasan yang tidak dicampuri oleh riya, keinginan mencari popularitas, ambisi kepemimpinan, atau keserakahan terhadap berbagai kesenangan dunia. Sebab itulah, dakwahnya harus benar-benar untuk Allah dan dalam rangka mencari ganjaran di sisi-Nya, bukan untuk memenuhi godaan hawa nafsu.
Allah berfirman tentang kisah Nabi Shaleh ketika berdakwah kepada kaumnya:

“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepada kalian atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. “(Asy-Syu’ara: 145)

4. Dakwah Salafiyyah berdiri diatas perbaikan di berbagai sektor yang fundamental dalam Islam.
Perbaikan itu dimulai dan diutamakan dalam bidang aqidah dan tauhid, yang diaplikasikan dalam bentuk memurnikan seluruh ibadah hanya untuk Allah Azza wa Jalla dan melarang dari segala perbuatan syirik. Setelah itu, mengajak untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan meninggalkan perkara-perkara yang Allah haramkan. Inilah metode Dakwah yang diemban oleh para rasul ‘Alaihimus salam. Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)

5. Dakwah Salafiyyah berdiri diatas kesabaran terhadap segala cobaan, rintangan,dan gangguan yang ditemui di jalan Dakwah yang agung ini.
Seorang yang menyeru kepada Dakwah Salafiyyah mesti bersabar terhadap segala cobaan, rintangan, dan gangguan yang ditemui dalam berdakwah. Tentunya tidak semua orang akan senang ketika Dakwah yang benar ini dilancarkan. Orang-orang yang hatinya berpenyakit akan selalu menghadang dakwah yang benar ini. Mereka akan berusaha untuk memadamkan cahaya Allah. Namun Allah tetap akan menyempurnakan cahayanya walaupun orang-orang yang musyrik dan kafir membencinya. Allah berfirman mengenai para Rasul yang menanggung beraneka ragam cobaan, rintangan, dan gangguan dalam berdakwah:

“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan kami terhadap mereka …” (Al-An’am: 34)

6. Dakwah Salafiyyah berdiri diatas akhlaq karimah yang terpuji dan adab sopan santun yang mulia.
Seorang yang menyeru kepada Dakwah Salafiyyah hendaknya menghias diri dengan akhlak karimah yang terpuji dan adab sopan santun yang mulia. sudah barang tentu bahwa semua itu harus diukur dan ditimbang dengan penilain Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman Salaf, bukan dengan penilain hawa nafsu, perasaan, adat istiadat, tradisi nenek moyang, organisasi, kelompok, aliran, tokoh tertentu, dan lain sebagainya. Demikian pula, berdakwah dengan hikmah yakni sesuai dengan cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Allah telah menjelaskan metode Dakwah yang penuh dengan hikmah, sebagaimana dalam Firman-Nya :

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik pula.” (An-Nahl: 125)

7. Dakwah Salafiyyah berdiri diatas kesungguhan yang mapan dan tekad yang kuat tanpa mengenal putus asa dalam menyuarakan kebenaran.
Seorang yang menyeru kepada Dakwah Salafiyyah tidak boleh gampang berputus asa dalam menunggu pertolongan Allah untuk menunjuki umat kepada kebenaran. Walaupun dia harus menunggu dalam jangka waktu yang lama. Sebab, Dakwah ini mengemban amanah yang besar dan tidak mudah untuk diwujudkan. Bahkan penuh dengan resiko di dalam merealisasikannya. Oleh karena itu, seorang da’I salafi dituntut kesabarannya dalam menghadapi berbagai macam onak dan duri yang menghadangnya. Banyak contoh dari kesabaran para Rasul dalam menyampaikan Dakwah tauhid kepada kaumnya. Dakwah yang tidak dilandasi oleh kesabaran, akan mendulang kegagalan pada awal urusannya.
Demikiamlah sekelumit tentang prinsip-prinsip Dakwah Salafiyyah yang agung dan mulia ini. Tentunya, masih banyak prinsip Dakwah Salafiyyah yang belum kami singgung dalam tulisan ini. Semoga beberapa prinsip yang telah disebutkan diatas bisa menjadi penyegaran dan perbaikan bagi keislaman kita pada masa mendatang.

Musuh-musuh Dakwah Salafiyyah

Musuh-musuh Dakwah Salafiyyah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah seluruh ahli bid’ah yang mengajak umat untuk menyeleweng dari Al-Quran dan As-¬Sunnah dengan pemahaman Salaf. Sebagaimana yang telah kami utarakan sebelumnya, bahwa setiap Dakwah yang bid’ah mesti akan menyelisihi salah satu prinsip Dakwah Salafiyyah atau bahkan lebih.
Sebagai contoh, kita mendapati kelompok Ikhwanul Muslimin menyepelekan perkara aqidah dan tauhid. Mereka sibuk mencurahkan seluruh perhatian dan kemampuan mereka untuk menggeluti bidang politik dengan alasan menegakkan pemerintahan Islam. Bahkan mereka menjadikan tujuan dakwah mereka yang paling terpenting ialah menegakkan pemerintahan Islam. Menurut mereka, dengan demikian hukum-hukum had dalam syariat Islam bisa diterapkan ditengah-tengah masyarakat muslimin. Misalnya, orang yang berzina dirajam, orang yang mencuri dipotong tangannya, dan lain-lain .

Padahal Dakwah para rasul dimulai dan diakhiri dengan seruan kepada ajaran tauhid. Mereka ‘alaihimus shalaatu wassalam menjadikan tujuan Dakwah yang paling asasi dan terpenting adalah tauhid kepada Allah. Sehingga dengan keberadaan Dakwah tauhid, diharapkan manusia bisa kembali kepada fitrah penciptaan mereka yaitu beribadah kepada Allah semata. Allah berfirman:

“Dan tidaklah kuciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (Adz-¬Dzariyat: 56)

Bagaimana mungkin mereka ingin menegakkan hukum Allah atas orang-orang yang berzina, mencuri, dan lain sebagainya, sementara mereka membiarkan hak Allah dilanggar dengan berbagai bentuk kekafiran dan kesyirikan. Ini jelas sebuah perkara yang pantas untuk dinyatakan: jauh panggang dari api.

Segala perbuatan maksiat berupa zina, mencuri, dan yang sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap hak makhluq yang dicipta, sedangkan kekafiran dan kesyirikan merupakan pelanggaran terhadap hak Allah yang Maha mencipta. padahal qa’idah syar’iyyah menyatakan:

(حَقُّ الْخَالِقِ مُقَدَّمٌ عَلَى حُقُوْقِ الْمَخْلُوْقِ)
“Hak Dzat yang Maha pencipta lebih diutamakan diatas hak-hak para makhluk yang dicipta.”

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Dosa-dosa yang disertai dengan tauhid yang benar masih lebih baik daripada tanpa dosa tetapi disertai dengan tauhid yang rusak” .

Ambisi mereka yang demikian itu, membuat mereka terjungkal dalam berbagai penyimpangan Dakwah. Mereka membuang manhaj para rasul ‘alaihimus shalaatu wassalam dan mengikuti hawa nafsu para pemimpin mereka. Yang lebih tragis lagi, ternyata para pemimpin mereka bukanlah orang-orang yang istiqamah di atas manhaj yang haq. Seperti Hasan Al-Banna, dia seorang Sufi berpaham Bathiniyah . Demikian pula Hasan At-Turabi, Muhammad Al-Ghazali, atau Yusuf Al-Qardhawi adalah Aqlaniyyun, yakni orang-orang yang lebih mendahulukan akal daripada nash-nash syari’.

Sekarang marilah kita menelusuri kelompok sempalan yang lain. Kelompok ini biasa disebut dengan Jama’ah Tabligh . Jama’ah Tabligh adalah kelompok yang beraliran Shufi. Sehingga tak ada perbedaan yang mendasar antara kelompok ini dan tarekat-tarekat Shufiyyah yang lainnya dalam perkara ibadah. Mereka lebih mementingkan ritual-ritual ibadah tanpa mempedulikan masalah aqidah. Sehingga ibadah mereka pun banyak bercampur dengan syirik dan bid’ah. Seperti berdoa kepada para Wali, Nabi, dan orang yang shalih. Demikian pula thawaf atau shalat di kuburan mereka, dan berbagai ritual lainnya. Padahal berdoa, thawaf, atau shalat merupakan perkara-perkara ibadah yang harus diserahkan hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Di samping itu, kelompok ini juga memiliki keyakinan-keyakinan batil yang merasuki aqidah mereka melalui khurafat-khurafat yang tersebar di kalangan mereka. Bahkan di kalangan tarekat Shufiyyah ada orang-orang yang mengingkari syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka mengatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diperuntukkan bagi orang-orang awam. Mereka mengistilahkan syariat in dengan sebutan: Ilmu Zhahir.
Dalam keyakinan mereka, barangsiapa yang sudah mencapai tingkatan “hakikat” atau “ma’rifat” tidak lagi terikat dengan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lucunya, mereka memiliki syari’at tersendiri yang dibangun berdasarkan wangsit-wangsit yang dibisikkan syetan kepada mereka. Mereka menamakannya dengan ilmu batin atau al-kasysyaf . Keyakianan ini sangat jelas merupakan kekafiran karena mengingkari syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kita diwajibkan oleh Allah untuk tunduk dan taat kepada ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana yang tersurat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang cukup banyak.

Semua ini terjadi karena Dakwah kelompok-kelompok bid’ah itu tidak didasari oleh ilmu, tetapi dilandasi oleh hawa nafsu dan perasaan belaka. Hal ini terbukti bila kita melihat kepada keyakinan dan amal mereka yang marak dengan syirik dan bid’ah. Bahkan mereka juga menganjurkan para pengikut mereka untuk keluar berdakwah walaupun tidak berilmu tentang agama . Karena yang menjadi target mereka dalam berdakwah adalah mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya. Tetapi pernahkah mereka mengajarkan ilmu yang benar, bersumber dari Al-¬Qur’an dan As-sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf?

Sesungguhnya banyak sekali kelompok-kelompok sesat yang berdakwah dengan beraneka ragam kebid’ahan dan menyelisihi salah satu prinsip Dakwah Salafiyyah atau lebih. Namun kita cukupkan dengan sebagiannya saja agar hal ini menjadi isyarat yang kuat bagi yang selainnya. Disini sekali lagi kami tegaskan bahwa Semua Dakwah bid’ah merupakan musuh-musuh bagi Dakwah Salafiyyah. Kita tidak perlu terkejut bila kebenaran ditegakkan maka kebatilan akan selalu menentangnya. Allah berfirman:

“Dan demikianlah kami jadikan musuh-musuh bagi tiap-tiap Nabi dari kalangan syetan-syetan manusia dan jin, yang sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain, perkataan yang indah-indah untuk menipu.” (Al-An’am: 112)

Akhirnya, kita memohon kepada Allah semoga menetapkan hati-hati kita di atas al-haq, dan membimbing kita agar selalu mengikuti manhaj shahih yang disuarakan oleh Dakwah Salafiyyah. Semoga Allah memberi manfaat kepada seluruh orang yang membaca tulisan ini. Ya Allah, wafatkanlah kami di atas Islam dan Sunnah. Amin ya rabbal `alamin.
http://alhujjah.wordpress.com/dakwah/
******

Saturday, 3 July 2010

~ Hukum Membaca Al-Qur'an Untuk Mayit Bersama Imam Asy-Syafi'iy ~


Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya [1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)” [2]

Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna” [Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]

Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati.

Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.

Adapaun yang menyalahi Al-Kitab ialah.
[1]. Bahwa Al-Qur’an bacaan untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Agar supaya Al-Qur’an itu menjadi peringatan bagi orang-orang yang hidup” [Yasin : 70]

[2]. Al-Qur’an itu hidayah/petunjuk bagi manusia

[3]. Al-Qur’an juga memberikan penjelasan dari petunjuk tersebut yang merupakan dalil dan hujjah.

[4]. Al-Qur’an juga sebagai Al-Furqan pembela antara yang hak dengan yang batil
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Bulan ramadlan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan baiyinaat (penjelasan-penjelasan yang merupakan dalil-dalil dan hujjah yang terang) dari petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqan” [Al-Baqarah : 185]

[5]. Di dalam Al-Qur’an penuh dengan larangan dan perintah. Dan lain-lain masih banyak lagi yang semuanya itu menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati. Mungkinkah orang-orang yang telah mati itu dapat mengambil hidayah Al-Qur’an, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan lain-lain?.

Adapun sunnah terlalu banyak haditsnya yang tidak memungkinkan bagi saya menurunkan satu persatu kecuali satu hadits di bawah ini.

“Artinya : Dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu itu sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah” [Hadits Shahih riwayat Muslim 2/188]

Hadits ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita di antaranya.
[1]. Rumah yang tidak dikerjakan ibadah di dalamnya seperti shalat sunat dan tilawah (membaca) Al-Qur’an, Nabi samakan dengan kuburan.

[2]. Mafhumnya (yang dapat dipahami) bahwa kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya...?

[3]. Sekali lagi kita memahami dari sunnah nabawiah bahwa Qur’an bukanlah bacaan untuk orang-orang yang telah mati. Kalau Qur’an itu boleh dibacakan untuk orang-orang yang telah mati tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan rumah yang di dalamnya tidak dibacakan Qur’an dengan kuburan! Dan tentulah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kamu seperti kuburan!!!”.

Sungguh benar apa yang telah dikatakan Ibnu Katsir : “Tidak dinukil dari seorangpun shahabat bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati. Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya (Laukana khairan lasabakuna ilaihi)”.

Saya berkata : “Inilah rahasia yang besar dan hikmah yang dalam bahwa tidak ada seorangpun shahabat yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masalah membacakan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati dan menghadiahkan pahala bacaannya hatta untuk orang tua mereka sendiri. Di mana mereka bertanya tentang sedekah, puasa nadzar dan haji untuk orang tua mereka yang telah wafat. Kenapa mereka tidak bertanya tentang Qur’an atau shalat atau dzikir atau mengirim Al-Fatihah untuk orang tua mereka yang telah wafat?

Jawabnya, kita perlu mengetahui kaidah besar tentang para shahabat. Bahwa para shahabat adalah aslam (yang paling taslim atau menyerah kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya) dan a’lam (yang paling mengetahui tentang agama Islam) dan ahkam (yang paling mengetahui tentang hukum dan paling tepat hukumnya). Oleh karena itu mereka sangat mengetahui bahwa bacaan Qur’an bukan untuk orang-orang yang telah mati akan tetapi bacaan untuk orang yang hidup.

KESIMPULAN
[1]. Bahwa Al-Qur’an untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang telah mati.

[2]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ijma’ para shahabat. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak ragu lagi adalah BID’AH MUNKAR. Karena amalan tersebut tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada zaman shahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya hatta dengan isyarat. Dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya sedikit pun juga..

[3]. Menurut Imam Syafi’iy bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah mati.

[4]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati menghilangkan sebagian dari maksud diturunkannya Al-Qur’an.

[5]. Kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya.

[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Peganglah kuat-kuat kaidah yang besar ini! Bahwa setiap amal kalau itu baik dan masuk ke dalam ajaran Islam tentulah diamalakan lebih dahulu oleh para shahabat. Mafhumnya, kalau ada sesuatu amal yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin akan tetapi para shahabat tidak pernah mengamalkannya, maka amal tersebut jelas tidak baik dan bukan dari Islam.
[2]. Di dalam kaidah ushul yang telah disepakati “apabila nash (dalil) telah datang batallah segala ra’yu/pikiran.
http://www.almanhaj.or.id/content/2273/slash/0

Thursday, 1 July 2010

~ Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ~


Berikut ini akan kami bawakan risalah yang berisi tanya-jawab dalam hal aqidah Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Dengan mencermati karya beliau ini akan tampaklah bagi kita sebenarnya bagaimana aqidah [keyakinan] beliau yang mungkin bagi sebagian kalangan telah mendapatkan kesan negatif mengenai beliau. Silakan anda telaah dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita.

Tanya : Siapakah Rabbmu?
Jawab : Rabbku adalah Allah yang telah memeliharaku dan memelihara seluruh alam dengan segala nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”

Tanya : Apakah makna kata Rabb?
Jawab : Yang menguasai dan yang mengatur, dan hanya Dia (Allah) yang berhak untuk diibadahi

Tanya : Apa makna kata Allah?
Jawab : Yaitu yang memiliki sifat ketuhanan dan berhak diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya

Tanya : Dengan apa kamu mengenal Rabbmu?
Jawab : Dengan memperhatikan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya

Tanya : Makhluk apakah yang terbesar yang bisa kamu lihat di antara makhluk ciptaan-Nya?
Jawab : Langit dan bumi

Tanya : Apakah ayat (tanda kekuasaan)-Nya yang paling besar?
Jawab : Malam dan siang, matahari dan bulan

Tanya : Apakah dalil atas hal itu?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Allah menutupkan malam kepada siang dan mengikutinya dengan cepat, matahari dan bulan serta bintang-bintang semuanya ditundukkan dengan perintah-Nya. Ingatlah, sesungguhnya penciptaan dan pemberian perintah adalah hak-Nya, Maha berkah Allah Rabb seluruh alam.” (QS. al-A’raf : 54).

Tanya : Untuk apakah Allah menciptakan kita?
Jawab : Untuk beribadah kepada-Nya

Tanya : Apa yang dimaksud beribadah kepada-Nya?
Jawab : Mentauhidkan Allah dan menaati-Nya

Tanya : Dalam hal apa kita menaati-Nya?
Jawab : Kita taati perintah-Nya dan kita jauhi segala yang dilarang-Nya kepada kita

Tanya : Apa dalil untuk hal itu?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56).

Tanya : Apa makna ’supaya mereka beribadah kepada-Ku’?
Jawab : Maknanya adalah agar mereka mentauhidkan Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan tauhid?
Jawab : Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah

Tanya : Apakah perkara terbesar yang dilarang Allah untuk kita?
Jawab : Perkara terbesar yang dilarang Allah adalah syirik yaitu berdoa kepada selain Allah [saja] atau berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada-Nya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’ : 36).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan ibadah?
Jawab : Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi

Tanya : Apa sajakah yang termasuk macam-macam ibadah?
Jawab : Ibadah itu banyak jenisnya, di antaranya adalah : doa, takut, harap, tawakal, roghbah (keinginan), rohbah (kekhawatiran), khusyu’, khas-yah (takut yang dilandasi ilmu), inabah (taubat), isti’anah (meminta pertolongan), isti’adzah (meminta perlindungan), istighotsah (meminta keselamatan dari bahaya), menyembelih, nadzar, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Seluruh masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyeru bersama-Nya sesuatu pun.” (QS. al-Jin : 18).

Tanya : Apa hukum bagi orang yang mengalihkan ibadah kepada selain Allah?
Jawab : Orang yang melakukannya dihukumi musyrik dan kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru bersama Allah sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).

Tanya : Perkara apakah yang diwajibkan pertama kali oleh Allah kepada kita?
Jawab : Yaitu mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan thaghut?
Jawab : Segala sesuatu yang menyebabkan hamba melampaui batas, yang berupa sesembahan, orang yang diikuti atau sosok yang ditaati, maka dia adalah thaghut

Tanya : Ada berapakah thaghut itu?
Jawab : Jumlah mereka banyak, namun pembesarnya ada lima : Iblis -semoga Allah melaknatnya-, orang yang diibadahi dan ridha dengan hal itu, orang yang menyeru orang lain untuk beribadah kepada dirinya, orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, dan orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 256).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan Urwatul Wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)?
Jawab : Maksudnya adalah laa ilaha illallah

Tanya : Apa makna laa ilaha illallah?
Jawab : Laa ilaha adalah penolakan, sedangkan illallah adalah penetapan

Tanya : Apa yang ditolak dan apa yang ditetapkan?
Jawab : Aku menolak segala sesembahan selain Allah dan aku tetapkan bahwa seluruh jenis ibadah harus ditujukan kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian kecuali dari Dzat yang telah menciptakanku, sesungguhnya Dia pasti menunjuki diriku. Dan Allah menjadikan kalimat itu tetap ada pada keturunannya (Ibrahim) semoga mereka mau kembali (kepada kebenaran).” (QS. az-Zukhruf : 26-28).

Tanya : Apakah agamamu?
Jawab : Agamaku Islam, yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Ali Imran : 19). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti dia pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85).

Tanya : Ada berapakah rukun Islam?
Jawab : Ada lima; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke rumah Allah yang suci jika memiliki kemampuan.

Tanya : Apakah dalil syahadat laa ilaha illallah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dengan menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18).

Tanya : Apakah dalil syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sekali-kali Muhammad itu bukanlah ayah salah seorang lelaki di antara kalian, namun dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).

Tanya : Apa makna syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan beritanya, menjauhi segala larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’atnya

Tanya : Apakah dalil sholat, zakat serta tafsir dari tauhid?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan penuh ikhlas melakukan amal karena-Nya (tanpa disertai kesyirikan), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah : 5)

Tanya : Apakah dalil puasa?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 183).

Tanya : Apakah dalil haji?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wajib bagi umat manusia untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah karena Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kufur maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan tidak membutuhkan seluruh alam.” (QS. Ali Imran : 97).

Tanya : Apakah pondasi ajaran dan kaidah dalam agama Islam?
Jawab : Ada dua perkara : [Pertama] adalah perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan memotivasi manusia untuk melakukannya, membangun loyalitas di atasnya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya (tidak beribadah kepada Allah). [Perkara Kedua] adalah memperingatkan manusia dari kesyirikan dalam hal ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bersikap keras dalam hal itu (mengingkari syirik), membangun permusuhan di atasnya, dan mengakfirkan orang yang melakukannya (kemusyrikan).

Tanya : Ada berapakah rukun iman?
Jawab : Ada enam; yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan yang buruk

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Bukanlah kebaikan itu kamu memalingkan wajahmu ke arah timur ataupun barat, akan tetapi yang disebut kebaikan adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab, dan para nabi.” (QS. al-Baqarah : 177).

Tanya : Apakah dalil iman kepada takdir?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ukuran/takdir.” (QS. al-Qamar : 49).

Tanya : Apa yang dimaksud ihsan?
Jawab : Ihsan terdiri dari satu rukun yaitu; kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan jika kamu tidak bisa maka yakinlah bahwa Dia senantiasa melihatmu

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah akan bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. an-Nahl : 128).

Tanya : Siapakah Nabimu?
Jawab : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim, sedangkan Hasyim berasal dari keturunan Quraisy, Quraisy dari bangsa Arab, sedangkan Arab merupakan keturunan Nabi Ismail putra Ibrahim al-Khalil (kekasih Allah) semoga shalawat dan salam yang paling utama tercurah kepadanya dan kepada nabi kita.

Tanya : Berapakah umur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab : Enam puluh tiga tahun; empat puluh tahun sebelum diangkat menjadi nabi dan dua puluh tiga tahun sebagai nabi dan rasul

Tanya : Dengan apakah beliau diangkat menjadi Nabi? Dan dengan apa diangkat sebagai rasul?
Jawab : Beliau diangkat menjadi Nabi dengan turunnya Iqra’ dan diangkat sebagai rasul dengan turunnya al-Muddatstsir

Tanya : Di manakah negerinya?
Jawab : Beliau berasal dari Mekah lalu berhijrah ke Madinah, dan kemudian beliau wafat di sana -semoga shalawat dari Allah dan keselamatan senantiasa tercurah kepadanya- setelah Allah sempurnakan agama dengan mengutus beliau (beserta ajarannya).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan hijrah?
Jawab : Berpindah dari negeri syirik menunju negeri Islam, sementara hijrah itu tetap berlaku hingga tegaknya hari kiamat

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat itu dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Maka malaikat bertanya kepadanya; Di manakah dulu kalian berada? Mereka menjawab; Kami dulu berada dalam keadaan tertindas dan lemah di muka bumi. Mereka berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di atasnya? Mereka itulah orang-orang yang tempat kembalinya adalah neraka Jahannam dan sungguh neraka itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 97).

Tanya : Apakah dalilnya dari Sunnah (Hadits)?
Jawab : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah terputus hijrah sampai taubat terputus, dan tidak akan terputus [kesempatan] bertaubat hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan ad-Darimi).

Tanya : Apakah Rasul masih hidup atau sudah mati?
Jawab : Beliau telah meninggal sedangkan agamanya masih tetap ada hingga hari kiamat tiba

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya kamu pasti mati dan mereka pun akan mati, kemudian nanti pada hari kiamat di sisi Rabb kalian maka kalian pun akan saling bermusuhan.” (QS. az-Zumar : 31).

Tanya : Apakah setelah mati manusia akan dibangkitkan?
Jawab : Iya, benar

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dari tanah itulah Kami ciptakan kalian dan kepadanya kalian Kami kembalikan, dan dari dalamnya Kami akan mengeluarkan kalian untuk kedua kalinya.” (QS. Thaha : 55).

Tanya : Apakah hukum orang yang mendustakan hari kebangkitan?
Jawab : Orang yang melakukan hal itu adalah kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan lagi, katakanlah; sekali-kali tidak, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan [di dunia], dan hal itu bagi Allah sangatlah mudah.” (QS. at-Taghabun : 7).

Diterjemahkan dari :
Maa yajibu ‘alal muslim ma’rifatu wal ‘amalu bihi
Oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi rahimahullah
Dengan pengantar Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Alu Jarullah
http://abumushlih.com/aqidah-syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab-2.html/