MENGENAL INDAHNYA ISLAM...

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Monday, 8 December 2008

~ Mengkomersilkan Jaringan Internet Untuk Berdakwah? ~

Pertanyaan:

Jaringan internet merupakan salah satu sarana. Apa boleh dikomersilkan untuk berdakwah? Kenapa kami lihat adanya keterbatasan dari para penuntut ilmu untuk memasuki dunia maya ini? Kami mohon pencerahan, semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.

Jawaban:

Mengajak manusia ke jalan Allah termasuk fardhu kifayah, mencakup penyebaran ilmu, pengungkapan kebaikan-kebaikan agama Islam, penjelasan hukum-hukum syari’at, pengungkapan rincian-rincian halal dan haram, anjuran beramal shalih, pengungkapan dalil-dalil hukum beserta penjelasan segi pendalilannya, pengungkapan janji dan ancaman, balasan pahala dan lain sebagainya yang merupakan faktor-faktor untuk memahamkan kaum muslimin dan mengenalkan mereka tentang hukum-hukum agama. Begitulah , kerana dengan dakwah dan penyebaran ilmu bisa membuahkan tahunya orang-orang jahil tentang perkara-perkara yang memang seharusnya mereka ketahui, yaitu berupa hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak-hak sesama muslim yang bisa mendorong mereka unuk kembali ke jalan Allah dan bertaubat kepadaNya dari kemaksiatan, penyelisihan dan bid’ah. Di samping itu, orang yang belum pernah mendengar pun bisa mengetahui kebaikan-kebaikan Islam, mengetahui hakikatnya dalam gambaran yang menarik sehingga memeluk Islam dengan suka rela.

Tidak diragukan lagi, bahwa setiap saran yang bisa digunakan untuk dakwah, maka kaum muslimin harus menggunakannya. Dulu, sarana dakwah hanya terbatas pada ceramah, tulisan dan diskusi antara juru dakwah dan yang didakwahi, serta halaqah-halaqah ilmiah, sebagai pengamalan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik,” (QS: An-Nahl: 125) di samping sarana-sarana lainnya.

Adapun zaman sekarang, kita perlu menempuh setiap sarana yang bisa digunakan untuk mengajak kepada Islam, seperti; radio, televisi, bulletin (selebaran ilmiah), penerbitan makalah-makalah Islami di koran-koran dan majalah-majalah yang baik, termasuk juga sarana internet yang muncul di zaman ini dan telah merambah seluruh dunia. Kiranya, para ahli ilmu dan para dai perlu menempuh jalur ini untuk menyebarkan makalah-makalah dan ceramah-ceramah yang bermanfaat serta wejangan-wejangan yang benar agar bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang menghendaki kebaikan, mengharapkan ilmu dan melaksanakannya, kerana internet telah ada dan hadir di negeri ini, maka jangan dibiarkan digunakan oleh kaum Nashrani, Yahudi, kaum musyrikin, para ahli bid’ah, para ahli maksiat dan ahli kemunafikan untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka, propaganda-propaganda dan kesesatan-kesesatan mereka sehingga mengelabui orang-orang yang menyambangi situs-situs mereka lalu berbaik sangka terhadap mereka, meyakini saran mereka dan kebenaran wejangan mereka. Akibatnya, sesatlah orang-orang yang menemukan makalah-makalah tersebut, yang berisi kekufuran, bid’ah, kemaksiatan dan fitnah, baik yang nyata maupun yang tersempunyi. Tapi jika digunakan oleh para ahli ilmu yang benar, ahli tauhid dan keikhlasan, maka mereka bisa mempersempitkan ruang lingkup para penyebar kerusakan, dan makalah-makalah mereka bisa bermanfaat bagi orang-orang yang menginginkan kebenaran dan bermaksud memanfaatkannya dengan beramal shalih dan berilmu yang bermanfaat. Wallahu a’lam.

Diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin hafizhahullah, 24/7/1420 H.

Monday, 1 December 2008

~ Apakah berdakwah itu wajib? ~

Pertanyaan:

Apakah berdakwah itu wajib atas setiap muslim dan muslimah, atau hanya wajib atas para ulama dan para thalib ilm (para penunut ilmu syar’i) ?

Jawaban:

Jika seseorang mengetahui betul dan mengetahui permasalahn dengan yakin (mantap) apa yang didakwahkan, maka tidak ada bedanya, apakah ia seorang ulama besar yang diakui kredibilitas dan kapabilitasnya atau seorang thalib ilm yang serius atau hanya seorang awam, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat. “ (HR Al-Bukhari dalam Al-Anbiya no.3461)

Tidak disyaratkan bagi seorang juru dakwah untuk mencapai tingkat tinggi dalam segi keilmuan, tapi disyaratkan menguasai topik yang diserukannya. Adapun melaksanakannya tanpa ilmu, atau hanya berdasarkan kecenderungan,maka itu tidak boleh.

Kerana itulah kita jumpai sebagian orang yang berdakwah namun tidak memiliki ilmu kecuali hanya sedikit, terkadang kerana kecenderungannya, mereka mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan Allah, atau menghalalkan sesuatu yang sebenarnya diharamkan Allah atau mewajibkan sesuatu yang sebenarnya tidak diwajibkan Allah atas para hambaNya, Tentu ini sangat berbahaya, kerana mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah sama halnya dengan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah. Jadi, mereka itu seperti yang mengingkari halalnya sesuatu, sementara yang lainnya mengingkari pengharamannya, kerana Allah Ta’ala menganggap kedua hal ini sama saja, sebagaimana firmanNya yang bermaksud,

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (QS: An-Nahl:116-117)

[Kitabud Da’wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/158-159 – Fatwa-Fatwa Terkini, jil.2, hal. 269-270]

Saturday, 22 November 2008

~ Mengoleksi Buku Tapi Tidak Membacanya ~

Pertanyaan:


Saya seorang lelaki yang memiliki banyak buku yang bermanfaat, alhamdulillah, termasuk juga buku-buku rujukan (maraji’), tapi saya tidak membacanya kecuali memilih-milih sebahagiannya. Apakah saya berdosa kerana mengoleksi buku-buku tersebut di rumah, sementara, ada beberapa orang yang meminjam sebahagian buku-buku tersebut untuk dimanfaatkan lalu dikembalikan lagi?

Jawaban:

Tidak ada dosa bagi seorang muslim untuk mengoleksi buku-buku yang bermanfaat dan merawatnya di perpustakaan pribadinya sebagai bahan rujukan dan untuk mengambil manfaatnya serta dipergunakan oleh orang lain yang mengunjunginya sehingga bisa ikut memanfaatkannya. Dan tidak berdosa jika ia tidak membaca sebahagian besar buku-bukunya tersebut. Tentang meminjamkannya kepada orang-orang yang dipercaya bisa memanfaatkannya, hal ini disyariatkan di samping sebagai sikap mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kerana dalam hal ini berarti memberikan bantuan untuk diperolehinya ilmu, dan ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.” (QS: Al-Ma’idah:2). Juga termasuk dalam cakupan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Dan Allah senantiasa menolong hambaNya selama hamba itu menolong saudaranya.”
(HR Muslim dalam Adz-Dzikir (2699) )

[Fatwa Hai’ah Kibaril Ulama, juz 2, hal. 969, Syaikh Ibnu Baz – Fatwa-Fatwa Terkini, jil. 2, hal.187 ]

Tuesday, 18 November 2008

~ Al-Hadits ~

Bismillah. Alhamdulillahi was solatu was salaamu 'ala Rosulillah


وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Thursday, 13 November 2008

~ Mari Berdoa ~

DO’A SAAT GUNDAH DAN BERDUKA

اللَّھُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِیَتِي بِیَدِكَ،

مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ،


عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ ھُوَ لَكَ،

سَمَّیْتَ بِھِ نَفْسَكَ،


أَوْ أَنْزَلْتَھُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَھُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ،

أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِھِ فِي عِلْمِ الْغَیْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِیْعَ

قَلْبِي، وَنُوْرَ صَدْرِي، وَجَلاَءَ حُزْنِي، وَذَھَابَ ھَمِّي.


“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-
Mu, anak dari hamba-Mu, ubun-ubunku (nasib-ku) ada
di tangan-Mu, telah lalu hukum-Mu atasku, adil
ketetapan-Mu atasku, aku mohon kepada-Mu dengan
perantara semua nama milik-Mu yang Engkau
namakan sendiri, atau Engkau turunkan dalam kitab-
Mu, atau Engkau ajarkan seseorang dari hamba-Mu,
atau Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib disisi-Mu.
Jadikanlah Al Qur’an sebagai penawar hatiku, cahaya
dalam dadaku, penghapus dukaku dan pengusir keluh
kesahku“.(HR Ahmad: 1/392,dishahihkan oleh Al-Albani)

اللَّھُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْھَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ

وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّیْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
.

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari keluh kesah dan rasa sedih, dari
kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan
penakut, dari cengkraman utang dan laki-laki yang
menindas-(ku)“. (HR. Bukhari: 7/158, “Adalah Rasulullah banyak
(membaca) doa ini, lihat Bukhari dalam Fathul baari: 11/173.)


DO’A UNTUK KESEDIHAN YANG MENDALAM

لاَ إِلَھَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِیْمُ الْحَلِیْمُ، لاَ إِلَھَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ

الْعَظِیْمِ،


لاَ إِلَھَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ


الْكَرِیْمِ


“Tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah, Yang Maha Agung dan Maha Lembut, Tiada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Tuhan
‘Arasy yang agung. Tiada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah, Tuhan langit dan bumi dan
Tuhan ‘Arasy yang mulia“ (HR. Bukhari: 7/154 dan Muslim: 4/2092.)

اللَّھُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَیْن،

وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِي كُلَّھُ، لاَ إِلَھَ إِلاَّ أَنْتَ


“Ya Allah, rahmat-Mu aku harapkan,
janganlah Engkau serahkan (segala urusanku) kepada
diriku walau sekejap mata, perbaikilah segala
urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Engkau“. (HR. Abu Dawud: 4/324, Ahmad: 5/42, Shahih Abu Dawud: 3/959.)

لاَ إِلَھَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِیْنَ

“Tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah
termasuk orang-orang yang dzalim“. (HR. Tirmidzi: 5/529 dan riwayat Hakim yang
disetujui dan dishahihkan oleh Dzahabi: 1/505. Lihat Shahih Tirmidzi: 3/168.)

اللهُ اللهُ رَبِّي لاَ أُشْرِكُ بِھِ شَیْئاً

“Allah, Allah adalah Tuhan-ku, aku sedikitpun
tidak menyekutukan-Nya”. (HR. Abu Dawud: 2/87, Shahih Ibnu Majah: 2/335.)


[Petikan Doa dan Dzikir dari buku 'HISNUL MUSLIM, Oleh: SAID BIN ALI AL-QAHTHANI]





Tuesday, 11 November 2008

~ Mengikuti Mazhab Yang Empat ~

Pertanyaan:

Ada fenomena di kalangan para pemuda, yang mana mereka mengatakan, "Kami tidak mengikuti apa pun dari madzhab yang empat, tapi kami berijtihad seperti mereka, berbuat seperti yang mereka lakukan dan tidak merujuk kepada hasil ijtihad mereka. " Bagaimana pendapat Syaikh tentang fenomena ini dan apa saran Syaikh untuk mereka?

Jawaban:

Perkataan ini kadang tidak disukai oleh sebagian orang, namun maknanya benar bagi yang berkompeten, kerana manusia tidak diwajibkan meniru orang lain (taqlid). Adapun orang yang mengatakan, " Wajib meniru para imam yang empat." Adalah ucapan yang keliru, kerana tidak wajib meniru mereka, tapi yang seharusnya adalah mempertimbangkan pendapat mereka dan juga pendapat lain dari para imam lainnya dengan menganalisa kitab-kitab mereka dan dalil-dalil yang mereka kemukakan serta apa yang disimpulkan oleh penuntut ilmu yang alim dan lurus.

Adapun yang ilmu terbatas, ia tidak layak berijtihad, tapi harus bertanya kepada ahli ilmu dan mengerti agama lalu mengamalkan apa yang mereka tunjukkan kepadanya, sehingga dengan begitu ia menjadi berkompeten dan memahami jalan yang ditempuh oleh para ulama, mengetahui hadits-hadits yang shahih dan yang dha'if, serta sarana-sarana untuk megetahui dalam ilmu musthalah hadits, mengetahui ushul fiqh dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh para ulama dalam masalah ini. Dengan begitu ia bisa mengambil faedah dari itu semua, bisa memilih dalil yang kuat di antara dalil-dalil yang diperselisihkan orang, Adapun perkara yang telah disepakati para ulama, masalahnya sudah jelas, tidak boleh seorang pun menyelisihinya, sedangkan yang dianalisa adalah yang diperselisihkan oleh para ulama.

Kemudian dari itu, yang wajib dilakukan dalam masalah ini adalah mengembalikan permasalahan kepada Allah dan RasulNya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

"Kemudian jika kamu berlainan pendpat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari kemudian (QS: An-Nisa': 59)

Dalam ayat lain disebutkan,
"Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (QS: ASy-Syura: 10)

Adapun berijtihad dalam kondisi yang sebenarnya tidak mampu melakukannya, ini termasuk kekeliruan yang besar. Namun demikian, tetap harus dipelihara motivasi yang tinggi dalam menuntut ilmu, berijtihad dan mencari tahu serta menempuh cara para ahlul ini.

Berikut ini adalah jalan-jalan ilmu: Mempelajari hadits, ushul hadits, fiqh dan ushul fiqh, bahasa Arab dan tata bahasanya, sirah Nabi dan sejarah Islam.

Hal-hal tersebut digunakan alat untuk mentarjih yang rajih dalam masalah-masalah yang diperselisihkan dengan tetap bersikap hormat terhadap para ahlul ilmi dan menempuh cara mereka yang baik dan mengkaji ucapan dan kitab-kitab mereka yang baik serta dalil-dalil dan bukit-bukti yang mereka jelaskan dalam menguatkan pendapat mereka dan menolak apa-apa yang mereka bantah.

Dengan begitu, seorang penuntut ilmu telah bersikap benar untuk mengenai kebenaran, jika ia ikhlas kerana Allah dan menyerahkan daya upayanya untuk mencari kebenaran dengan tidak menyombongkan diri. Allah Yang Mahasuci sumber segala petunjuk.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 476, hal. 160-161, Syaikh Ibnu Baz - Fatwa-Fatwa Terkini, jil.2,hal 207-208 ]

Saturday, 1 November 2008

~ Mulia Dengan Manhaj Salaf ~


" Tidak tercela orang yang menunjukkan madzhab salaf, menisbatkan dan menyandarkan diri kepadanya, bahkan wajib menerimanya. Kerana madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran."
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Fatawa 4/149)
------ooOoo-------

Imam al-Auza'i rahimahullah berkata:

" Hendaklah engkau berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah dirimu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah. "
------ooOoo--------

~ Memberikan Kesempatan Berdakwah Kepada Wanita ~

Pertanyaan:

Bolehkah memberikan kesempatan berdakwah kepada wanita?

Jawaban:

Tidak ada larangan dalam hal ini. Jika anda mendapatkan wanita yang layak untuk berdakwah, maka hendaknya dibantu dan diatur serta diminta untuk memberikan pengarahan kepada sesama wanita, kerana sesungguhnya kaum wanita membutuhkan para penasihat dari jenis mereka sendiri dan keberadaan wanita juru dakwah di tengah-tengah kaumnya kadang lebih potensial dalam menyerukan ajakan kepada kebaikan daripada laki-laki. Sebab, adakalanya wanita merasa malu terhadap laki-laki sehingga enggan mengungkapkan hal yang dibutuhkannya, kadang pula terhalangi sesuatu untuk mendengarkan dari laki-laki. Namun jika terhadap sesama wanita, tidak demikian, kerana wanita itu bisa berbaur dengan mereka dan mengungkapkan apa yang ada padanya serta bisa memberikan pengaruh yang lebih besar.

Maka para wanita yang memiliki ilmu syar’i, hendaknya turut melaksanakan tugas ini, yaitu berdakwah dan memberikan pengarahan sesuai kesanggupan dan kemampuan, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS: An-Nahl: 125)

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS: Yusuf: 108)

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS:Fushshilat: 33)

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”
(QS:At-Taghabun: 16)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya. Semuanya berlaku untuk kaum laki-laki dan kaum wanita. Wallahu walyut taufiq.

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, Syaikh Ibnu Baz (7/325-326 –Fatwa-Fatwa Terkini, jil 2, hal 279-280]

Monday, 20 October 2008

~ Dengan Apa Dakwah Dimulai ~

Pertanyaan:

Jika seseorang hendak mendakwahi orang lain, bagaimana ia memulai dan apa yang dibicarakannya?

Jawaban:

Tampaknya, bahwa yang dimaksud oleh penanya adalah mengajak orang lain ke jalan Allah. Berdakwah harus dengan hikmah, nasihat yang baik, sikap lembut, tidak kasar dan tidak mencela, memulai dengan yang paling penting lalu yang penting, sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, apabila beliau mengutuskan para utusannya ke berbagai pelosok negeri, beliau menyuruh mereka untuk memulai dengan yang paling penting lalu yang penting. Kepada Mu’adz bin Jabal saat beliau mengutusnya ke Yaman, beliau berpesan,

“Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah mereka mematuhi itu, beritaulah atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semalam. Setelah mereka mematuhi itu, beritahuilah meereka bahwa susungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari yang kaya untuk disalurkan kepada yang miskin di antara mereka.”
(HR Al-Bukhari dalam az-Zakah (1458), Muslim dalam al-Iman (19) )

Yaitu memulai dengan yang paling penting, lalu yang penting dengan memilih kesempatan, waktu dan tempat yang tepat dan sesuai untuk berdakwah. Adakalanya saat yang tepat adalah mendakwahinya di rumahnya dengan mengajaknya berbincang-bincang, adakalanya juga cara yang tepat adalah dengan mengajaknya berkunjung ke rumah seseorang agar didakwahi, adalalanya pula pada saat-saat lainnya. Yang jelas, seorang muslim yang berakal dan berpengetahuan akan mengetahui bagaimana bersikap dalam mengajak orang lain kepada kebenaran.

[Kitabud Da’wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/155-156 – Fatwa-Fatwa Terkini, jil 2, hal.267]

Sunday, 19 October 2008

~ Syarat Mutaba'ah (Mengikuti Sunnah) Ada Enam ~

Berkata Asy-Syaikh Al-Allaamah Al-Faqih Muhammad bin Sholih bin 'Utsaimin di dalam kitab beliau yang berharga (Al-Ibda' fi Kamaalisy-Syar'i wa Khothrul-Ibtida') hal. 21-23:

......Wahai saudara-saudara, sesungguhnya mutaba'ah tidak akan terealisasi kecuali jika amalan itu mencocoki dalam enam perkara:

Pertama: Sebab. Seperti orang yang sholat dua rakaat dengan sebab turunnya hujan (berarti ia belum bermutaba'ah -pent).

Kedua: Jenis. Seperti orang yang mengeluarkan zakat fitrahnya berupa uang. (berarti ia belum bermutaba'ah -pent.)

Ketiga: Kadar/Jumlah. Seperti orang yang sholat Maghrib empat rakaat dengan sengaja. (berarti ia belum bermutaba'ah - pent.)

Keempat: Cara. Seperti orang yang berwudhu ia memulai dari kedua kakinya dan mengakhiri dengan (mencuci) wajahnya. (berarti ia belum bermutaba'ah - pent.)

Kelima: Waktu. Seperti orang yang berkorban di bulan ramadhan. (berarti ia belum bermutaba'ah-pent.)

Keenam: Tempat. Seperti orang yang beriktikaf di lapangan terbuka. (berarti ia belum bermutaba'ah- pent.)

Wahai saudara-saudara, pegang teguhlah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam, telusurilah jalannya salafush sholih, beradalah di atas perkara yang dulu mereka berada di atasnya,dan lihatnya apakah hal itu akan membahayakan diri kalian (tentunya tidak,bahkan sangat bermanfaat- pent)? Selesai ucapan beliau rahimallahu Ta'ala dengan ringkas dan sedikit perubahan.

Saturday, 20 September 2008

~ Manusia Dari Segi Keikhlasan & Mutaba'ah Terbagi Menjadi Empat Jenis ~

Jenis Pertama: Mereka mengumpulkan antara keihlasan dan mutaba’ah. Maka seluruh amalan mereka adalah kerana Allah,ucapan mereka kerana Allah, pemberian dan pencegahan mereka kerana Allah, cinta dan benci mereka kerana Allah. Maka mu’amalah mereka secara lahir maupun batin kerana Wajah Allah semata (yakni ikhlas).

Barangsiapa yang mengenal Allah maka ia akan mengikhlaskan bagi-Nya amalannya, ucapannya, pemberiannya, penahanannya, cintanya dan bencinya. Tidak seorangpun bermu’amalalah dengan makhluk melebihi mu’amalahnya kepada Allah kecuali kerana kebodohannya tentang Allah dan kebodohannya tentang Sang Pencipta.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (AQ: Al-Mulk: 2)

Berkata Al-Fudhail Bin Iyadh: “Amal yang terbaik yaitu yang paling ikhlas dan paling benar.” Mereka bertanya: “Wahai Abu ‘Ali, apa itu yang paling ikhlas dan paling benar?”

Beliau menjawab: “Sesungguhnya amalan itu jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Jika benar namun tidak ikhlas (juga) tidak akan diterima hingga menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas yaitu amalan yang kerana Allah, benar yaitu amalan yang sesuai sunnah/ajaran/Nabi. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah yang bermaksud:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (AQ:Al-Kahfi: 110)

Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas untuk (mendapatkan) wajah-Nya yang mulia dan mengikuti sunnah/syariat Rasulullah. Maka setiap amalan tanpa mengikuti (sunnah), tidak akan menambah kepada pelakunya kecuali semakin jauh dari Allah. Kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah disembah dengan sunnah/syariatnya (Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam), bukan diibadahi dengan suatu pendapat dan hawa nafsu.

Jenis Kedua: Orang yang tidak memiliki keihklasan maupun mutaba’ah. amalannya tidak mencocoki sunnah, tidak (pula) ikhlas untuk yang diibadahi. Seperti amalan orang-orang yang menghias-hiasi amalannya untuk manusia, yang ingin dilihat manusia dengan apa yang belum pernah disyariatkan Allah dan belum pernah disampaikan oleh RasulNya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk dan paling dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mereka memperoleh bagian yang paling banyak dari firman Allah yang bermaksud:

“Jangan sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan mereka mendapatkan siksa yang pedih.”

Mereka gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan berupa bid’ah kesesatan dan kesyirikan. Mereka senang untuk dipuji dengan mengikuti sunnah dan ikhlas padahal mereka bukan ahlus sunnah dan bukan orang yang ikhlas. Jenis ini banyak terjadi pada orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dari kalangan orang-orang yang bernisbah kepada ilmu, kefakiran dan ibadah. Sesungguhnya mereka melakukan bid’ah, kesesatan, riya’ dan sum’ah, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan berupa mengikuti sunnah, ikhlas dan berilmu. Maka mereka adalah orang-orang yang berhak mendapatkan kemarahan dan kesesatan.

Jenis Ketiga: Orang yang mengikhlaskan amalannya akan tetapi amalannya tidak sesuai dengan sunnah, seperti para ahli ibadah yang bodoh, orang-orang yang bernisbah kepada jalan kezuhudan dan kefakiran dan setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan selain yang disyariatkan dan meyakini ibadahnya ini sebagai pendekatan diri kepada Allah maka inilah keadaannya. Maka keikhlasannya pada keadaan ini tidak bermanfaat baginya, kerana amalan yang dia lakukan adalah perkara baru dan diada-adakan, padahal amalan yang diada-adakan akan tertolak terhadap pelakunya sebagaimana di dalam hadits Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha secara marfu:

“Barangsiapa mengada-adakan perkara yang baru di dalam agama kami ini yang bukan bagian dari agama/sunnah/syariat kami tersebut maka amalan itu tertolak/tidak diterima.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Jenis Keempat: Orang yang amalannya mengikuti sunnah namun tidak ikhlas kerana Allah, seperti ketaatan orang-orang yang riya’, seorang yang berperang kerana riya’, kefanatikan dan keberanian,orang yang berhaji agar dikatkan Pak Haji/Bu Haji, orang yang membaca Al-Qur’an agar disebut (Qari’/pembaca yang baik). Mereka itu amalannya secara lahir adalah amalan sholih yang diperintahkan, akan tetapi menjadi tidak benar kerana ditujukan untuk selain Allah, maka amalan ini tidak diterima.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Dan tidaklah mereka diperintah kecuaai untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amalan bagi-Nya.” (AQ:Al-Bayyinah: 5)

Orang yang ikhlas dan mutaba’ah merekalah orang yang berhak (mengatakan):
“ Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu-lah kami meminta pertolongan.” (AQ: Al-Fatihah: 5)

(Dipetik dari kitab Al Qoulul Mufid Penjelasan Tentang Tauhid, buah karya Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy, Terbitan Darul ‘Ilmi, cet. Nov 2007)

Thursday, 18 September 2008

~ Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah? ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Jika kita memperhatikan kenyataan kaum muslimin saat ini, terutama dalam masalah ibadah mereka, maka kita akan merasa terharu, dimana banyak sekali di antara mereka yang melakukan sesuatu dari ibadah apa yang tidak ada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maupun dalam amalan-amalan salaful ummah. Apa yang mereka kerjakan kebanyakan hanyalah dilandasi oleh perasaan, akal dan keirnginan pribadi (hawa nafsu) mereka atau kerana hanya bertaklid buta mengikuti adat kebiasaan (apa-apa yang telah dirintis oleh orang-orang tua mereka). Sila rujuk ayat-ayat Al-Qur’an dalam surah Al-Mu’minun: 71, Luqman: 21, As-Syuura: 21, Al-Baqarah: 165-167, Al-Ahzab: 64-68.

Orang-orang yang dijelaskan dalam ayat-ayat di atas hanya mau fanatik terhadap golongan mereka saja, serta tidak mau merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang difahami oleh salaful ummah ini (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in), serta ulama-ulama setelah mereka sampai saat ini yang mengikuti manhaj mereka dengan baik. Kebanyakan di antara kaum muslimin masih berkeyakinan akan adanya suatu istilah dalam agama yang dikenal dengan nama “bid’ah hasanah”. Para penganutnya bernaung dibalik istilah “bid’ah hasanah”,, bermaksud bid’ah yang baik. Ketika Nabi bersabda “Setiap bid’ah itu sesat”, mereka justru berkata, “tidak semua bid’ah itu sesat, ada bid’ah yang baik”. “Pernyataan mana yang lebih lancang dari bantahan ini?

Perkara bid’ah merupakan suatu perkara besar, begitu pula bahayanya. Ia merupakan saran yang mengantar kepada kekufuran. Pelakunya merupakan penentang Allah dalam hukum dan patut untuk tidak mendapatkan taufiq dari Allah untuk bertaubat (sulit untuk bertaubat di banding pelaku dosa selainnya).

Dalil-Dalil Bahwa Setiap Bid’ah Sesat dan Tidak Ada Bid’ah Hasanah

Firman Allah Ta’ala yang bermaksud:
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Ku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS: Al-Ma’dah: 3)

Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia bukan ternasuk agama pula pada hari ini.” (Al-I’tisham oleh Asy-Syaathibiy, 1/64)

Asy-Syaukany berkata : “Maka jika Allah telah menyempurnakan agamaNya sebelum NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid’ah yang dibuat-buat oleh kalangan Ahli Bid’ah tersebut!!!? Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut keyakinan mereka, maka berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pembangkangan terhadap Al-Qur’an. Kemudian jika pemikiran mereka tersebut tidak termasuk dalam agama, maka apa manfaatnya mereka menyibukkan diri mereka dengan sesuatu yang bukan dari agama ini”!?Ini merupakan hujjah yang kokoh dan dalil yang agung yang selamanya tidak mungkin dapat dibantah oleh pemilik pemikiran tersebut. Dengan alasan itulah, hendaknya kita menjadikan ayat yang mulia ini sebagai langkah awal untuk menampar wajah-wajah ahli logika, membungkam mereka serta mematahkan hujjah-hujjah mereka.”

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bermaksud:
“Amma ba’ad. Sesungguhnya sebaik-sebaik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim, no.867)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati para sahabat dalam haditsnya,
“…Dan berhati-hatilah kamu terhadap perkara-perkata yang dibuat-buat (dalam agama), kerana sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (Hadits Shahih)

Berkata Ibnu Hajr: “Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Adapun secara tersurat, maka seakan-akan beliau bersabda: “Hal ini bid’ah hukumnya dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”,sehingga ia tidak termasuk bagian dari agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan petunjuk. Oleh karena itu maka apabila telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua dasar hukum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama), sehingga kesimpulannya adalah tertolak.” (Fathul Baary, 13/254)

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Sesungguhnya perkataan beliau shallallahu’alaihi wa sallam berkata: “setiap bid’ah”,merupakan ungkapan yang bersifat umum dan menyeluruh, kerana diperkokoh dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat, yakni kata ‘setiap’”.Maka setiap apa saja yang diklaim sebagai bid’ah hasanah, maka hendaklah dijawb dengan dalil ini. Dan atas dasar inilah, maka tak ada sedikitpun peluang bagi para ahlul bid’ah hasanah. Kerana di tangan kita terhunus pedang pamungkas yang berasal dari Rasulullah yakni kalimat “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”.

“Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang dibuat-buat dalam ajaran kami (agama) padahal amalan itu bukan berasal dari agama ini, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muttafa ‘Alaihi)

Imam Syafi'i rahimallahu berkata:
"Barangsiapa yang telah membuat bid'ah, maka dia telah membuat agama yang baru"

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ber-ittiba’lah kamu kepada Rasulullah dan janganlah ber-ibtida’ (mengada-ada tanpa dalil), kerana sesungguhnya agama ini telah dijadikan cukup buat kalian, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan,”

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan, sekalipun manusia menganggapnya hasanah (baik).”

Buku “Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah?” oleh Abdul Qayyum Muhammad As-Sahibany; penerjemah: Abu Hafsh Muhammad Tasyrif Asbi Al-Ambony, S.Ag, Penerbit At-Tibyan,Solo, menguak syubhat seputar bid’ah yang dianggap baik oleh sebagian orang yang tidak puas dengan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buku ini menjadi senjata ampuh bagi para pembela sunnah dan pembanteras bid’ah, insya Allah.



Saturday, 23 August 2008

~ Merenungi Nikmat Allah ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan: yang bermaksud:

“Berfikirlah tentang nikmat Allah dan jangan berfikir tentang Allah”

(diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Ausath, Baihaqi dalam asy-Syu’ab, dan ninilai hasan oleh al-Albani).

Salah satu perkara yang bisa dilakukan oleh seorang Muslim berkali-kali adalah mengakui dan merenungi nikmat Allah ‘Azza wa Jalla. Berapa banyak kejadian dan nikmat yang dilihat dan dirasakan si hamba setiap hari dari pagi sampai malam yang menuntutnya untuk merenungi, lalu mensyukuri dan memuji Allah atasnya.

1. Apakah anda menyadari nikmat Allah untuk anda ketika anda pergi ke masjid dan bagaimana orang di sekitar anda yang tidak mendapatkan nikmat tersebut, terutama ketika shalat subuh di mana anda dapati kaum muslimin di sekeliling anda tidur nyenyak seperti orang mati.

2. Apakah anda menyadari dan memikirkan nikmat Allah atas anda ketika anda berjalan, di mana rupa-rupa kejadian sempat anda saksikan di jalanan. Ada orang yang tertabrak mobil, ada yang dikuasai setan dengan nyanyian dan musiknya yang keras di mobilnya, dan lain sebagainya.

3. Apakah anda menyadari dan memikirkan nikmat Allah atas anda di kala anda mendengar atau membaca melalui berita dunia di mana ada orang yang kelaparan, ada masyarakat yang terkena banjir, terserang penyakit, gempa bumi, peperangan dan musibah lainnya.

Penulis (Khalid al-Husainan) katakan: hamba yang mendapat taufiq adalah hamba yang hati dan perasaannya selalu merasakan nikmat Allah yang diterimanya setiap saat, sehingga ia senantiasa memuji Allah Ta’ala dan bersyukur kepadaNya atas nikmat itu, baik nikmat agama, nikmat kesihatan, rezeki, keselamatan dari aneka bahaya, dan nikmat-nikmat lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang bermaksud:

“Barangsiapa yang melihat seseorang mendapat musibah, lalu ia membaca: ‘Segenap puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan aku dari musibahMu dan Yang telah memberikan kelebihan kepada aku atas makhluk lain’, maka ia tidak akan tertimpa musibah itu” (diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai hadits hasan)

Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengingatkan kita:

“Ingatlah nikmat-nikmat Allah, mudah-mudahan kamu beruntung” (Al-‘A’raf: 69)

[1000 Sunnah Harian Rasulullah – Khalid al-Husainan]

Saturday, 16 August 2008

~ Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa'mah ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Hadits Umar Bin Al-Khotthob dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya nescaya Allah akan memberi rezki kepada kalian sebagaimana memberi rezki kepada burung, ia berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, pulang di waktu petang dalam keadaan kenyang." [ Riwayat Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasaa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan berkata At-Tirmidzi: hasan sohih]
Hakikat tawakal adalah benarnya penyandaran hati kepada Allah dalam meminta datangnya manfaat dan menolak madharat dari perkara-perkara dunia maupun akhirat. Makna hadits tersebut bahwasanya manusia seandainya mereka itu merealisasikan tawakal mereka kepada Allah dengan hati mereka, dan bersandar kepadaNya dengan sepenuhnya dalam mendatangkan perkara yang bermanfaat bagi mereka dan menolak perkara yang memadharatkan mereka, dan mereka melaksanakan sebab-sebab yang berfaidah, nescaya Allah akan mengirimkan rezki mereka walau dengan sebab yang paling kecil sekalipun, sebagaimana Dia mengirimkan kepada burung rezkinya dengan semata-mata ia berangkat pagi-pagi dan pulang di petang hari. Ini merupakan suatu jenis usaha, walupun sedikit sekali. Perealisasian tawakal tidak menafikan usaha (menjalani) sebab-sebab yang Allah telah mentaqdirkan berbagai perkara dengan sebab-sebab tersebut dan telah berlangsung sunnah Nya pada makhlukNya tentang yang demikian ini. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk bertawakal, Maka usaha menjalani sebab dengan anggota badan merupakan ketaatan dan tawakal kepadaNya dengan hati merupakan keimanan.
Allah berfirman yang bermaksud:
"Dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman itu bertawakal."
Allah menjadikan tawakal bersamaan dengan taqwa, yaitu menjalankan sebab-sebab yang diperintahkan. Tawakal tanpa melakukan sebab-sebab yang diperintahkan merupakan ketidakmampuan semata, walaupun hal ini terkesan sama dengan suatu jenis tawakal. Tidak sepantasnya bagi seorang hamba menjadikan tawakalnya sebagai bentuk kelemahan dan tidak sepantasnya pula menjadikan kelemahannya sebagai bentuk tawakal. Tetapi dia jadikan tawakalnya di antara sejumlah sebab yang tidak akan sempurna suatu tujuan kecuali dengan itu semuanya (tawakal dan menjalankan sebab yang diperintahkan, pent)
Wa billahit taufiq, wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad, wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Sekian fatwa Al-Lajnah Ad-Daa'imah.

Tuesday, 12 August 2008

~ Anda Stress? Ayuh! Ikutlah Kiat-Kiat (Cara-Cara) Mengatasi Stress. ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Anda Stress? Ayuh! Ikutlah Kiat-Kiat (Cara-Cara) Mengatasi Stress.

Sesungguhnya karekteristik kehidupan dunia ini selalu diliputi oleh kegelisahan dan kesedihan yang dirasakan oleh setiap insan. Dunia ini adalah tempat ujian, tempat perjuangan dan tempat pengorbanan.

Perasaan sedih dan gelisah yang dirasakan oleh manusia itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kondisi mereka dan beban tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing individu. Semakin tinggi derajat dan kedudukan seseorang disisi Allah, maka semakin berat ujian dan cobaan yang diberikan. Kerana Allah akan menguji keimanan dan ketabahan hamba yang dicintaiNya.

Larut dalam kesedihan bukanlah sikap yang bijak,bahkan merupakan bentuk sikap yang dilarang. Namun kita dianjurkan agar dapat menyikapi setiap cobaan,ujian dan musibah yang datang dengan penuh ketabahan, serta dapat mengambil hikmah di balik semua itu.

Di dalam buku yang bertajuk ‘22 Kiat Mengatasi Stress’, Penulis: Muhammad Shalih al-Munajjid, Penerjemah: Futuhal Ariffin, Lc, Terbitan Darus Sunnah Press, memerangkan tentang obat-obat penghapus kesdihan, kesedihan dan stress sesuai dengan tuntutan syariat Islam.

Insya Allah di bawah ini akan dilampirkan beberapa kiat sahaja. Jika ingin mengetahui lebih lanjut lagi, Baca Buku Baru Tau:

Menghiasi Diri Dengan Keimanan dan Amal Soleh: Orang mukmin yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar,kemudian nilai-nilai keimanan itu diterapkan dalam amal-amal soleh,selalu menjaga kebaikan hati dan akhlak, mereka akan selalu menerima dengan ikhlas atas segala ujian dan cobaan, mensyukuri nikmat yang datang,dan mempergunakan nikmat itu untuk hal-hal yang bermanfaat. (AQ: An-Nahl:97)

Disebalik musibah ini, mereka akan mempunyai kekuatan dan ketegaran dalam jiwa dan pengharapan atas karunia Allah dan pahala dariNya, sebagaimana maksud hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
“Sungguh menakjubkan anugerah yang diberikan kepada seorang mukmin, sesungguhnya semua masalah (urusannya) adalah merupakan kebaikan, hal ini tidak dimiliki kecuali hanya oleh orang mukmin saja. Jika ia menerima nikmat, kemudian bersyukur maka baginya kebaikan (pahala), dan jika ia tertimpa musibah kemudian bersabar maka baginya (pahala) pula.”
(HR Muslim dalam kitab Shahihnya no.2999)

Hendaknya Seorang Hamba Menjadikan Akhirat Sebagi Tujuan Hidupnya: Ibnu Qayyim berkata, “Jika seorang hamba ketika diwaktu pagi dan sore tidak terlintas dalam hatinya kecuali (ketergantungan) kepada Allah semata, maka Allah akan menanggung semua hajatnya, dan menanggung setiap apa yang diresahkannnya, dan memenuhi hatinya dengan apa yang ia cintai, dan menjadikan lisannya untuk selalu mengingatiNya, dan anggota tubuhnya untuk selalu taat kepadaNya. Dan barangsiapa yang diwaktu pagi dan sorenya menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya, maka Allah akan menjadikan kegelisahan,kesedihan dan duka cita dibebankan kepadanya. Allah akan menyibukkan hatinya dengan kecintaan kepada makhluk, dan lisannya berpaling dari bezikir kepada Allah. Anggota tubuhnya berpaling dari ketaatan kepada Allah untuk mengabdi kepada mereka,ia bersungguh-sungguh seperti giatnya binatang liar menangkap mangsanya. Maka setiap orang yang menolak ubudiyahnya kepada Allah serta ketaatan dan mahabbah kepadaNya,maka ubudiyahnya akan diisi dengan ubudiyah kepada makhluk, serta cinta dan khidmat kepadanya.

Berdoa Kepada Allah Ta’ala: Doa itu sangat bermanfaat dan juga dapat menjadi obat. Dari Anas bin Malik, dia berkata: ‘Saya pernah mnejadi pelayan Rasulullah, ketika beliau sakit maka saya sering mendengar beliau membaca doa berikut, “Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari kesedihan dan kesusahan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kebakhilan dan kebodohan serta dari lilitan hutang dan penguasaan seorang.” (HR Bukhari di dalam Al-Fath no.2893)

Allah berfirman yang bermaksud: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahawasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
(QS: Al-Baqarah: 186)

Banyak lagi doa-doa yang diajarkan Rasulullah ketika dalam kesedihan, kegelisahan dan kesusahan. (Boleh juga rujuk buku 'Hisnul Muslim')

Tawakkal Kepada Allah Ta’ala dan Menyerahkan Segala Urusan KepadaNya: Maka barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu, bahwa Allah Maha Kuasa dalam setiap pengaturan, dan pengaturan Allah atas hambaNya, lebih baik dari pengaturan hambnya atas dirinya sendiri. Allah mampu mengatur hambaNya sesuai dengan kehendak Nya, sehingga dengan sikap dan penyerahan diri seperti itulah hati lepas dari kesedihan, lepas dari duka cita dan kegelisahan.. Ia akan menyerahkan segala hajat dan kemaslahatan diri kepadaNya,ia melihat besarnya kasih sayang, rahmat dan kebaikanNya. Kerana ia telah menyerahkan segala perhatian kepadaNya, menjadikanNya sebagai pusat segala perhatian, maka segala perhatian dan hajat akan ditanggung olehNya. Maka alangkah indah kehidupannya, alangkah nikmat hatinya dan alangkah senang dan bahagia perasaannya.

Maka orang yang bertawakkal kepada Allah Ta’ala, hatinya akan tegar dan tidak akan gelisah, tidak terpengaruh oleh fenomena kejadian dan peristiwa, kerana ia tahu bahwa sikap seperti itu merupakan tanda lemahnya jiwa dan sebuah ketakutan yang tidak bermakna.Dan ia tahu bahwa Allah telah menjamin bagi orang yang bertawakkal kepadaNya.

Selalu Melakukan Aktifitas yang Bermanfaat, Memusatkan Perhatian Dengan Pekerjaan yang sedang Dilakukan, Tidak Terlalu Gelisah Memikirkan Pekerjaan Dimasa Mendatang dan Tidak Larut Dalam Kesedihan Dimasa Lalu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga hal-hal yang bermanfaat disetiap saat, memohon pertolongan kepada Allah, tidak takluk dengan belenggu kemalasan, pasrah dengan peristiwa-peristiwa masa lalu dan pasrah dengan semua ketentuan Allah dan kekuasaanNya.

Dalam sebuah hadits Muslim menunjukkan tentang upaya untuk menghilangkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan kegelisahan, dan sebab-sebab yang dapat mendatangkan kesenangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melupakan masa lalu yang menyedihkan, dan menyadari bahwa tenggelam dalam kesedihan itu merupakan sikap yang sia-sia dan bentuk kebodohan. Maka ia berusaha untuk menjauhkan hatinya terhanyut dalam pikiran-pikiran yang mengganggu itu, dan berusaha menghilangkan kegelisahan yang akan dihadapinya.
Kekhawatiran-kekhawatiran itu dapat berupa rasa takut atas kefakiran, kesuraman masa depan dan sebagainya. Hal ini kerana ia mengetahui bahwa masa depan adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui, menyangkut hal-hal baik dan yang buruk, dan yang enak maupun tidak enak, semua itu ada ditangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikianlah di antara beberapa kiat-kiat menghindari stress, semoga kita mendapat manfaat dan kami memohon kepada Allah Ta’ala semoga melepaskan kami dari kegelisahan, melepaskan kami dari kesulitan, dan melepaskan kami dari segala duka cita. Sesungguhnya Dia yang Maha Mendengar, Dia yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri.

Monday, 11 August 2008

~ Tidaklah Diterima Suatu Amalan Kecuali Dengan Dua Syarat ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Ketahuilah Wahai Saudaraku seiman, Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita untuk berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah – bahwasanya Allah tidak akan menerima suatu amalan dari seorang muslim manapun kecuali dengan dua syarat yang prinsip. Kedua syarat tersebut sebagai berikut:

Syarat Pertama: Dia ikhlas kerana Allah. Tidaklah orang yang beramal tersebut mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah (ikhlas kerana Allah)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu suatu kitab dengan benar maka beribadahlah kamu kepada Allah dengan mengikhlaskan amalan ini untuk Nya. Ketahuilah hanya milik Allah agama yang murni ini” (As-Zumar: 2 & 3)

“Katakanlah sesungguhnya aku diperintah untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlas amalan ini untuk Nya.” (Az-Zumar: 11)

“Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amalan ini untuk Nya. Mereka condong kepada agama ini dan berpaling dari agama yang lainnya.” (Al-Bayyinah:5)

Dari Abu Huroiroh radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh kepada sekutu; Barangsiapa beramal sutu amalan yang dalam amalan tersebut dia menyekutukanKu dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya tersebut.” (HR Muslim, no. hadits 2985)

Dan ini makna (Asyhadu an Laa ilaha illallah)

Syarat Kedua: Dia mencocoki petunjukRrosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak ada padanya syariat kami, maka amalan tersebut tertolak.”

(Dan ini makna (Asyhadu anna Muhammadar Rosulullah)

Catatan: Ini jika dinisbahkan kepada orang Islam. Adapun orang kafir maka tidak akan diterima amalnya kecuali dengan tiga syarat yaitu dua syarat yang telah lalu (Penyebutannya).
Dan syarat yang ketiga: Islam, dan (ketiga syarat) ini merupakan syarat sah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al-Furqon: 23)

Ketiga syarat ini disebutkan dalam firman Allah yang bermaksud:

“Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang soleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Robbbya.” (Al-Kahfi: 110)

1. FirmanNya: “….pejumpaan dengan Robbnya…” ini adalah Al-Islam

2. FirmanNya:”…yang soleh…”, yaitu kecocokan dengan Kitab dan Sunnah kerana amal tidak akan menjadi soleh kecuali dengannya.

3. FirmanNya: “…dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya”, ini adalah keikhlasan.

Masih tersisa dua syarat yang lain yang merupakan syarat kesempurnaan:

1. Syarat yang pertama: Berpegang teguh

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:
“Pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu.” (Al-Baqarah: 63 & 93, Al-A’raaf:171)

“Berpegang teguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang dengan (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya.” (Al-A’raaf: 145)

“Wahai Yahya, pegang teguhlah Al-Kitab ini (Taurat).” (Maryam: 12)

Ini berbeda dengan (pegangan) orang-orang munafik, kerana mereka itu tidak berpegang teguh kepada agama, hanya saja mereka itu berpegang kepada agama dengan kelalaian serta kemalasan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk solat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan solat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingati Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir lahir batin): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman dalam hal batinnya) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir dalam hal lahirnya). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (Al-Nisaa’: 142 & 143)

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan kerana mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan solat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkah (harta mereka), melainkan dengan rasa enggan,” (At-Taubah: 54)

2. Syarat yang kedua: Bersegera Beramal
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud” ….dan janganlah kamu berdua bermalas-malasan dalam mengingatiKu,” (Thoha:42)

:….maka berlomba-lombalah kalian (mengerjakan) kebaikan….” (Al-Baqarah: 148, Al-Maa’idah: 48)

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selau bersegera dalam (mengerjakan) pebuatan-perbuatan yang baik.” (Al-Anbiyaa’:90)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Robbnya dan kepada jannah yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Ali ‘Imron:133)

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Robbnya dan jannah yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disedikan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya. Itulah karunia Allah, diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya, Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Hadid: 21)

Merujuklah ke Riyaadhus Shalihin syarah Salim Al-Hilali 1/29!

(Dipetik dari kitab Al Qoulul Mufid Penjelasan Tentang Tauhid, buah karya Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy, Terbitan Darul ‘Ilmi, cet. Nov 2007)

Friday, 18 July 2008

~ Al-Hikmah ~

" Tidak tercela orang yang menunjukkan mazhab salaf, menisbatkan dan menyandarkan diri kepadanya, bahkan wajib menerimanya. Kerana mazhab salaf tidak lain adalah kebenaran. " (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Fatawa 4/149)

Thursday, 17 July 2008

~ Saat Bangun Dari Majelis ~

بسم الله الرحمن الرحيم

“Subhaanakallahumma wa bihamdika ayshadu al-laa ilaaha illaa Anta astaghrifuka wa atuubu ilaika”

Mahasuci Engkau ya Allah, dan dengan memujiMu aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Engkau. Aku memohon ampun kepada Engkau dan bertaubat kepada Engkau. (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan)

Sehari semalam, seorang Muslim menghadiri banyak majelis, maka berikut ini rincian dari hal itu:

1. Saat makan yang banyaknya tiga kali. Tidak diragukan lagi bahwa anda biasanya bercakap-cakap dengan teman anda.

2. Ketika melihat seorang, entah teman atau tetangga anda, tentu anda berbicara dengannya sekalipun mungkin sambil berdiri.

3.. Ketika anda duduk dengan teman atau saudara di tempat kerja atau di kelas.

4. Saat anda duduk bersama istri dan anak-anak sambil mengobrol dan bercengkarama dengan mereka.

5. Ketika anda berada dalam perjalanan di kendaraan dengan istri atau orang lain.

6. Saat anda menghadiri suatu pengajian, atau ceramah.
Perhatikanlah – semoga Allah memelihara anda, berapa kali anda membaca doa kaffarat mejelis tersebut? Dengannya berarti anda selalu berkomunikasi dengan Allah Ta’ala. Banyak kali anda memuji Dia dan menyucikanNya dari hal-hal yang tidak layak tatkala anda membaca: “Subhaanakallahumma wa bihamdika…”

Berapa kali pula anda memperbaharui taubat dan istighfar pada hari dan malam itu dengan anda mengucap: “Astaghfiruka wa atuubu ilaika.” Juga berapa kali anda mengakui wahdaniyat (kemahaesaan) Allah Ta’ala baik dalam rububiyah, dalam uluhiyah maupun dalam asma was-sifat (nama dan sifat) sewaktu anda membaca: “Asyhadu al-laa ilaaha illaa Anta.” Dengan anda membaca kalimat tersebut. berarti pada siang dan malam anda selalu berada dalam tauhidullah, dalam istighfar, taubat dan penyucian terhadap Allah.

Adapun keuntungan dari melafalkan wirid tersebut adalah, dosa yang terjadi di majelis tersebut dihapus.

Sementara Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan sebagai berikut, “Jumpa dengan ikhwah itu ada dua jenis: pertama, jumpa dan berkumpul untuk hiburan yang menghabiskan waktu. Ini bahayanya lebih besar dari manfaatnya, setidaknya hati menjadi rusak dan waktu habis poercuma. Kedua, jumpa dan berkumpul untuk bekerja sama dalam menempuh jalan keselamatan dan saling berwasiat tentang haq. Ini merupakan keberungtungan terbesar.”

[1000 Sunnah Harian Rasulullah -Khalid al-Husainan]

Thursday, 10 July 2008

~ Solat Dengan Sutrah (Tutup/Penghalang) Di Depan ~

بسم الله الرحمن الرحيم

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

"Jika salah seorang di antara kamu solat, maka lakukanlah dengan menghadap sutrah (tutup/penghalang) dan dekatkanlah jaraknya, janganlah ia membiarkan seseorang lewat antara dia dengan tutup/penghalang tersebut" [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah]
Ini merupakan nash umum atas disunnahkannya membuat satu sutrah di depan ketika solat, baik di masjid maupun di rumah, baik bagi lelaki maupun wanita. Sebahagian orang ada yang mengabaikan sunnah ini, sehingga ia solat dengan tanpa sutrah di depannya.
Sunnah ini dapat dikerjakan oleh seorang hamba bekali-kali dalam sehari semalam. Ia juga bisa melakukannya pada selain solat fardhu, seperti solat sunnah rawatib, solat dhuha, solat tahiyat al-masjid dan solat witir. Demikian pula seorang wanita bisa berkali-kali melakukannya saat solat fardhu di rumah. Sedang solat berjama'ah di masjid, maka sutrahnya adalah imam.
Beberapa masalah sekitar sutrah:
* Sutrah bisa berupa tembok, tongkat, tiang yang diletakkan (dipasang) di depan ke arah kiblat. Besarnya tidak ditentukan.
* Tingginya sutrah sekitar satu jengkal.
* Jarak antara kaki si hamba yang solat dengan sutrah adalah kurang lebih 3 dzira' (yakni 3 kali jarak antara siku ke ujung jari) yang dengannya dia dapat sujud. Sutrah ini disunnahkan hanya untuk imam atau orang yang solat fardhu sendirian atau solat sunnah.
* Sutrah imam adalah sutrah makmum. Maka bagian depan makmum boleh dilewati jika ada hajat.
Keuntungan sunnah ini:
1. Sunnah ini memelihara solat dari sesuatu yang mengganggu (membatalkan) jika ia datang (lewat). Di antara yang mengganggu atau yang bisa membatalkan solat ialah wanita, keledai dan anjing hitam. [Hadits Nabi]
2. Si hamba yang sedang solat menjadi lebih khusyu' dan konsentrasi dalam solatnya, kerana terhindar dari hal-hal yang mengganggu.
3. Orang yang solat memberi kesempatan kepada yang ingin lewat tanpa harus melintas di depannya (di tempat sujudnya) yang dapat mengganggu solatnya.
[1000 Sunnah Harian Rasulullah - Khalid al-Husainan]

Thursday, 12 June 2008

~ Di Mana ALLAH? ~

بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Oleh: Abdul Hakim bin Amir Abdat

Saya akan menjelaskan salah satu aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang telah hilang dari dada sebagian kaum muslimin, yaitu : tentang istiwaa Allah di atas Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Sehingga bila kita bertanya kepada saudara kita ; Dimana Allah ?
Kita akan mendapat dua jawaban yang bathil bahkan sebagiannya kufur..! :

1. Allah ada pada diri kita ini ..!

2. Allah dimana-mana di segala tempat !

Jawaban yang pertama berasal dari kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Allah dengan manusia) yang telah dikafirkan oleh para Ulama kita yang dahulu dan sekarang. Sedangkan jawaban yang kedua keluar dari kaum Jahmiyyah (faham yang menghilangkan sifat-sifat Allah) dan Mu'tazilah, serta mereka yang sefaham dengan keduanya dari ahlul bid'ah.

Rasulullah SAW pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua'wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu'awiyah : Artinya :

"Beliau bertanya kepadanya : "Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : "Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : "Siapakah Aku ..?". Jawab budak itu : "Engkau adalah Rasulullah". Beliau bersabda : "Merdekakan ia ! . karena sesungguhnya ia mu'minah (seorang perempuan yang beriman)".

Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama'ah ahli hadits, diantaranya :

1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).
2. Imam Muslim (2/70-71)
3. Imam Abu Dawud (No. 930-931)
4. Imam Nasa'i (3/13-14)
5. Imam Ahmad (5/447, 448-449)
6. Imam Daarimi 91/353-354)
7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya "Al-Muntaqa" (No. 212)
9. Imam Baihaqy di Kitabnya "Sunanul Kubra" (2/249-250)
10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya "Tauhid" (hal. 121-122)
11. Imam Ibnu Abi 'Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh
ahli hadits besar Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
12. Imam Utsman bin Sa'id Ad-Daarimi di Kitabnya "Ar-Raddu 'Alal
Jahmiyyah" (No. 60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya "As-Sunnah " (No. 652).

PEMBAHASAN
Pertama

Hadist ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid'ah dari kaum Jahmiyyah dan Mu'tazilah dan yang sefaham dengan mereka, yaitu ;
dari kaum yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ary, yaitu ; mereka mempunyai i'tiqad (berpendapat) :

"ALLAH BERADA DI TIAP-TIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA .!?"

Katakanlah kepada mereka : Jika demikian, yakni Allah berada dimana-mana tempat, maka Allah berada di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat kotor dan berada di bawah mahluknya !?.

Jawablah kepada mereka dengan firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya :

"Maha suci Engkau ! ini adalah satu dusta yang sangat besar" (An-Nur : 16)

"Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan " (Al-Mu'minun : 91)
"Maha Suci Dia ! Dan Maha Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar". (Al-Isra : 43)

Berkata Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini, di kitabnya "Al-Uluw" (hal : 81 diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Artinya :

"Dan demikian ra'yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : "Dimana Allah ? "Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit !. Didalam hadits ini ada dua masalah : pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah ?. Kedua :Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit ! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) SAW".

Dan telah berkata Imam Ad-Daarimi setelah membawakan hadits ini di kitabnya "Ar-Raddu 'Alal Jahmiyah (hal: 39): "Di dalam hadits Rasulullah SAW ini, ada dalil bahwa seseorang apabila tidak mengetahui sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berada di atas langit bukan bumi, tidaklah ia seorang mu'min".

Tidaklah engkau perhatikan bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan tanda/alamat keimanannya (yaitu budak perempuan) tentang pengetahuannya sesungguhnya Allah di atas langit. Dan pada pertanyaan Rasulullah SAW (kepada budak perempuan): "Dimana Allah ?".
Mendustakan perkataan orang yang mengatakan : "Dia (Allah) ada di tiap-tiap tempat (dan) tidak boleh disifatkan dengan (pertanyaan) : Dimana .?

Kedua
Lafadz 'As-Samaa" menurut lughoh/bahasa Arab artinya : Setiap yang
tinggi dan berada di atas. Berkata Az-Zujaaj (seorang Imam ahli bahasa) :
Artinya :

"(Lafadz) As-Samaa/langit di dalam bahasa dikatakan : Bagi tiap-tiap
yang tinggi dan berada di atas. Dikatakan : atap rumah langit-langit rumah".

Dinamakan "Awan" itu langit/As-Samaa, karena ia berada di atas manusia.
Firman Allah 'Azza wa Jalla. Artinya :

"Dan Ia turunkan dari langit Air (hujan)" (Al-Baqarah : 22).

Adapun huruf "Fii" dalam lafadz hadits "Fiis-Samaa" bermakna " 'Alaa"
seperti firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya :

"Maka berjalanlah kamu di atas/di muka bumi" (At-Taubah : 2)
"Mereka tersesat di muka bumi" (Al-Maa'idah : 26)
Lafadz "Fil Arldhii" dalam dua ayat diatas maknanya " 'Alal Arldhii",
Maksudnya : Allah 'Azza wa Jalla berada di pihak/di arah yang tinggi -di atas langit- yakni di atas 'Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Ia tidak serupa dengan satupun mahluk-Nya dan tidak satupun mahluk menyerupai-Nya.

Firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya :

"Tidak ada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Ia-lah yang Maha
Mendengar (dan) Maha Melihat". (As-Syura : 4)
"Dan tidak ada satupun yang sama/sebanding dengan-Nya" (Al-Ikhlas : 4)
"Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istiwaa (bersemayam)". (Thaha : 5)
"Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam hari, kemudian ia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy".(Al-A'raf :54).

Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik, Syafi'iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy'ari sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ;
Allah 'Azza wa Jalla ISTIWAA diatas 'Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

Mereka tidak menta'wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya :
Berkuasa. Seperti halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka
yang mengatakan "Allah istiwaa di atas 'Arsy" itu maknanya : Allah menguasai 'Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di atas langit yakni di atas 'Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?... Mereka ini telah merubah perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan Allah kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-Baqarah : 58-59).

Katakan kepada mereka : Kalau makna istiwaa itu adalah istawla/berkuasa, maka Allah 'Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu bukan hanya menguasai 'Arsy. Ia menguasai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya dan sekalian mahluk (selain Allah dinamakan mahluk). Allah 'Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang istawaa-Nya diatas 'Arsy-Nya dalam tujuh tempat di dalam kitab-Nya Al-Qur'an. Dan semuanya dengan lafadz "istawaa". Ini menjadi dalil yang sangat besar bahwa yang dikehendaki dengan istawaa ialah secara hakekat, bukan "istawla" dengan jalan menta'wilnya.

Telah berfirman Allah 'Azza wa Jalla di Muhkam Tanzil-Nya. Artinya :

"Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istawaa" (Thaha : 5)
"Kemudian Ia istawaa (bersemayam) di atas 'Arsy".

Pada enam tempat. Ia berfirman di kitab-Nya yaitu :
1. Surat Al-A'raf ayat 54
2. Surat Yunus ayat 3
3. Surat Ar-Ra'du ayat 2
4. Surat Al-Furqaan ayat 59
5. Surat As-Sajdah ayat 4
6. Surat Al-Hadid ayat 4

Menurut lughoh/bahasa, apabila fi'il istiwaa dimuta'adikan oleh huruf 'Ala, tidak dapat dipahami/diartikan lain kecuali berada diatasnya.
Firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya :

"Dan berhentilah kapal (Nuh) di atas gunung/bukit Judi" (Hud : 44).

Di ayat ini fi'il "istawaa" dimuta'addikan oleh huruf 'Ala yang tidak dapat dipahami dan diartikan kecuali kapal Nabi Nuh AS secara hakekat betul-betul berlabuh/berhenti di atas gunung Judi. Dapatkah kita artikan bahwa "Kapal Nabi Nuh menguasai gunung Judi" yakni menta'wil lafadz
"istawat" dengan lafadz "istawlat" yang berada di tempat yang lain bukan di atas gunung Judi..? (yang sama dengan ayat di atas, baca surat Az-Zukhruf : 13).

Berkata Mujahid (seorang Tabi'in besar murid Ibnu Abbas). Artinya :

"Ia istawaa (bersemayam) di atas "Arsy" maknanya : "Ia berada tinggi di
atas "Arsy"
(Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di kitabnya "At-Tauhid"
(hal: 101): Artinya :

"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa A'laa (yang Maha Besar dan Maha tinggi) sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwaa di atas 'Arsy-Nya. Kami tidak akan mengganti/mengubah Kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (kaum) Jahmiyyah yang menghilangkan sifat-sifat Allah, dengan mengatakan "Sesungguhnya Ia (Allah) istawla
(menguasai) 'Arsy-Nya tidak istawaa!". Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka diperintah mengucapkan : "Hith-thatun (ampunkanlah dosa-dosa kami)" Tetapi mereka mengucapkan : "Hinthah (gandum).?". Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Besar dan Maha tinggi, begitu pula dengan (kaum) Jahmiyyah".

Yakni, Allah telah menegaskan pada tujuh tempat di kitab-Nya yang mulia, bahwa Ia istiwaa di atas 'Arsy-Nya (Dzat Allah istiwaa/bersemayam di atas 'Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya, sedangkan ilmu-Nya berada dimana-mana/tiap-tiap tempat tidak satupun tersembunyi dari pengetahuan-Nya). Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah mengubah firman Allah istawaa dengan istawla yakni menguasai 'Arsy sedangkan Dzat Allah berada dimana-mana/tiap-tiap tempat !!!. Maha Suci Allah dari apa-apa yang disifatkan kaum Jahmiyyah !

Adapun madzhab Salaf, mereka telah beriman dengan menetapkan (istbat) sesungguhnya Allah Azza wa Jalla istiwaa -dan bukan istawla- di atas 'Arsy-Nya tanpa :

1. Tahrif yakni ; Merubah lafadz atau artinya.
2. Ta'wil yakni ; Memalingkan dari arti yang zhahir kepada arti yang lain.
3. Ta'thil yakni ; Meniadakan/menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian maupun secara keseluruhannya.
4. Tasybih yakni ; Menyerupakan Allah dengan mahluk.
5. Takyif yakni ; Bertanya dengan pertanyaan : Bagaimana (caranya) ?

Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya : "Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'Arsy ?. Beliau menjawab : Artinya :

"Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid'ah". (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46)

Perhatikan !

1. 'Arsy adalah mahluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas : Artinya :
"Dan 'Arsy tidak seorangpun dapat mengukur berapa besarnya".

Berkata Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" (hal : 102) : rawi-rawinya tsiqaat (terpercaya).

Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : Sanadnya shahih semua riwayatnya tsiqaat. (dikeluarkan oleh Imam ibnu Khuzaimah di kitabnya "At-Tauhid").

2. Bahwa Allah 'Azza wa Jalla -istiwaa-Nya di atas 'Arsy- tidak tergantung kepada 'Arsy. Bahkan sekalian mahluk termasuk 'Arsy bergantung kepada Allah Azza wa Jalla.

Firman Allah 'Azza wa Jalla. Artinya :

"Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam" (Al-Ankabut : 6)
Yakni : Allah tidak berkeperluan kepada sekalian mahluk".

Ketiga

Penunjukan Beberapa Dalil dari Al-Qur'an dan Hadits yang Shahih

Firman Allah 'Azza wa Jalla. Artinya :

"Apakah kamu merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit, bahwa Ia akan menenggelamkan ke dalam bumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?" (Al-Mulk : 16)

"Ataukah kamu (memang) merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit bahwa Ia akan mengirim kepada kamu angin yang mengandung batu kerikil ? Maka kamu akan mengetahui bagaimana ancaman-Ku". (Al-Mulk : 17).

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -setelah membawakan dua ayat di atas di kitabnya "At-Tauhid" (hal : 115). Artinya :

"Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu ; apa yang ada diantara keduanya sesungguhnya Ia di atas langit".

Berkata Imam Abul Hasan Al-Asy'ary di kitabnya "Al-Ibanah Fi Ushulid-diayaanah hal : 48) setelah membawakan ayat di atas : "Di atas langit-langit itu adalah 'Arsy, maka tatkala 'Arsy berada di atas langit-langit. Ia berfirman : "Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit ?" Karena sesungguhnya Ia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy yang berada di atas langit, dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan 'As-Samaa" (langit), maka 'Arsy berada di atas langit. Bukankah yang dimaksud apabila Ia berfirman : "Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang diatas langit ?" yakni seluruh langit ! Tetapi yang Ia kehendaki adalah
'Arsy yang berada di atas langit".

Saya berpandangan (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Dua ayat di atas sangat tegas sekali yang tidak dapat dibantah dan ta'wil bahwa lafadz "MAN" tidak mungkin difahami selain dari Allah 'Azza wa Jalla. Bukan Malaikat-Nya sebagaimana dikatakan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengannya, yang telah merubah firman Allah 'Azza wa Jalla. Bukankah dlamir
(kata ganti) pada fi'il (kata kerja) "yakhtsif" (Ia menenggelamkan) dan "yartsil" (Ia mengirim) adalah "huwa" (Dia) ? siapakah Dia itu kalau bukan Allah 'Azza wa Jalla.

Firman Allah : Artinya :

"Mereka (para Malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan". (An-Nahl : 50).

Ayat ini tegas sekali menyatakan bahwa Allah 'Azza wa Jalla berada di atas bukan di mana-mana tempat. Karena lafadz "fawqo" (di atas) apabila di majrur dengan huruf "min" dalam bahasa Arab menunjukan akan ketinggian tempat. Dan tidak dapat di ta'wil dengan ketinggian martabat,
sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Alangkah
zhalimnya mereka ini yang selalu merubah-rubah firman Tuhan kita Allah Jalla Jalaa Luhu.

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya "At-Tauhid" (hal : 111):
"Tidaklah kalian mendengar firman pencipta kita 'Azza wa Jalla yang mensifatkan diri-Nya. Artinya :

"Dan Dialah (Allah) yang Maha Kuasa di atas hamba-hamba-Nya". (Al-An'am : 18 & 61).

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya tersebut : "Tidakkah kalian mendengar wahai penuntut ilmu. Firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala kepada Isa bin Maryam : Artinya :

"Wahai Isa ! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku"
(Ali Imran : 55) Ibnu Khuzaimah menerangkan : Bukankah "mengangkat" sesuatu itu dari
bawah ke atas (ke tempat yang tinggi) tidak dari atas ke bawah!. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla.Artinya :

"Tetapi Allah telah mengangkat dia (yakni Nabi Isa) kepada-Nya" (An-Nisa' : 158).

Karena "Ar-raf'ah" = mengangkat dalam bahasa Arab yang dengan bahasa mereka kita diajas berbicara (yakni Al-Qur'an) dalam bahasa Arab yang hanya dapat diartikan dari bawah ke tempat yang tinggi dan di atas" (kitab At-Tauhid : 111).

Sekarang dengarlah wahai orang yang berakal, kisah Fir'aun bersama Nabi Allah Musa 'Alaihis Salam di dalam kitab-Nya yang mulia, dimana Fir'aun telah mendustakan Musa yang telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas langit : Artinya :

"Dan berkata Fir'aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta".
(Al-Mu'min : 36-37. Al-Qashash : 38).

Perhatikanlah wahai orang yang berakal!. Perintah Fir'aun kepada Haman -menterinya- untuk membuatkan satu bangunan yang tinggi supaya ia dapat jalan ke langit untuk melihat Tuhannya Musa. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memberitahukan kepadanya bahwa Tuhannya -Allah Subhanahu wa Ta'ala- berada di atas langit-.

Kalau tidak demikian, yakni misalnya Nabi Musa mengatakan bahwa Tuhannya ada dimana-mana tempat -sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah- tentu Fir'aun yang disebabkan karena kekafirannya dan pengakuannya sebagai Tuhan, akan mengerahkan bala tentaranya untuk mencari Tuhannya Musa di istananya, di rumah-rumah Bani Israil, di pasar-pasar dan di seluruh tempat di timur dan di barat !?. Tetapi tatkala Nabi Musa dengan perkataannya: "Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta !". Yakni tentang perkataan Musa bahwa Tuhannya di atas langit.

Perhatikanlah, wahai orang yang berakal !. Keadaan Fir'aun yang mendustakan Nabi Musa dengan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka yang telah merubah firman Allah dengan mengatakan : Allah ada di segala tempat !.

Ketahuilah ! Bahwa pemahaman di atas bukanlah hasil dari pikiran saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tetapi pemahaman Ulama-ulama kita diantaranya :

1. Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya "At-Tauhid" (hal : 114-115) diantara keterangannya : "Perkataan Fir'aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada Fir'aun :" Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi dan di atas".

2. Berkata Imam Al-Asy'ary setelah membawakan ayat di atas : "Fir'aun telah mendustakan Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit" (Al-Ibanah : 48).

3. Berkata Imam Ad-Daarimi di kitabnya "Raddu 'Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah membawakan ayat di atas : " Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir'aun mengenal Allah bahwa Ia berada di atas langit. Oleh karena itu Fir'aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi".

4. Berkata Syaikhul Islam Al-Imam As-Shaabuny di kitabnya "Itiqad Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits wal A'imah " (hal : 15) : "Bahwasanya Fir'aun mengatakan demikian (yakni menuduh Musa berdusta) karena ia telah mendengar Musa AS menerangkan bahwa Tuhannya berada di atas langit. Tidakkah engkau perhatikan perkataannya : "Sesungguhnya aku mengira dia itu
berdusta" yakni tentang perkataan Musa : Sesungguhnya di atas langit ada Tuhan".

5. Imam Abu Abdillah Haarits bin Ismail Al-Muhaasiby diantara keterangannya : "Berkata Fir'aun : (Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta) tentang apa yang ia (Musa) katakan kepadaku : Sesungguhnya Tuhannya berada di atas langit". Kemudian beliau menerangkan : "Kalau sekiranya Musa mengatakan : "Sesungguhnya Allah berada di tiap-tiap tempat dengan
Dzatnya, nisacaya Fir'aun akan mencari di rumahnya, atau di hadapannya atau ia merasakannya, -Maha Tinggi Allah dari yang demikian- tentu Fir'aun tidak akan menyusahkan dirinya membuat bangunan yang tinggi". (Fatwa Hamawiyyah Kubra : 73).

6. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar : "Maka (ayat ini) menunjukan sesungguhnya Musa mengatakan (kepada Fir'aun) : "Tuhanku di atas langit ! sedangkan Fir'aun menuduhnya berdusta". (baca Ijtimaaul Juyusy Al-Islamiyyah hal : 80).

7. Berkata Imam Al-Waasithi di kitabnya "An-Nahihah fi Shifatir Rabbi Jalla wa 'Alaa" (hal : 23 cetakan ke-3 th 1982 Maktab Al-Islamy) : "Dan ini menunjukkan bahwa Musa telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya yang Maha Tinggi berada di atas langit. Oleh karena itu Fir'aun berkata : "Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta".

Demikianlah penjelasan dari tujuh Imam besar di dalam Islam tentang ayat di atas, selain masih banyak lagi yang kesimpulannya: "Bahwa mendustakan Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas langit di atas 'Arsy-Nya, Ia istiwaa (bersemayam) yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, adalah; sunnahnya Fir'aun". Na'udzu billah !!.
Sampai disini pembahasan beberapa dalil dari kitab Allah -salain masih banyak lagi- yang cukup untuk diambil pelajaran bagi mereka yang ingin mempelajarinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya :

"Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan !" (Al-Hasyr : 2).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi SAW banyak sekali. Di bawah ini akan disebutkan beberapa diantaranya : Nabi kita SAW telah bersabda : Artinya :

"Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka wa Ta'ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu". (Shahih. Diriwayatkan oleh Imam-imam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin 'Amr bin
'Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh Imam Dzahabi. Demikian juga Al-Albani telah menyatakan hadits ini shahih dikitabnya "Silsilah Shahihah No. 925".

"Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang di muka bumi, niscaya tidak akan disayang oleh Dzat yang di atas langit". (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di kitabnya "Mu'jam Kabir No. 2497 dari jalan Jarir bin Abdullah. Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" hal : 83 diringkas oleh Al-Albani) mengatakan : Rawi-rawinya tsiqaat/kepercayaan).

"Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang". (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa'id AlKhudry).

"Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya ! Tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya (bersenggama), lalu sang istri menolaknya, melainkan Dzat yang di atas langit murka kepadanya sampai suaminya ridla kepadanya ".(Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim 4/157 dari jalan Abu Hurarirah).

Keterangan :

"Dzat yang di atas langit yakni Allah 'Azza wa Jalla (perhatikan empat hadits diatas)".
"Silih berganti (datang) kepada kamu Malaikat malam dan Malaikat siang dan mereka berkumpul pada waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Kemudian naik malaikat yang bermalam dengan kamu, lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka, padahal Ia lebih tahu keadaan mereka : "Bagaimana (keadaan mereka) sewaktu kamu tinggalkan hamba-hamba-Ku ? Mereka menjawab: "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang kepada
mereka dalam keadaan shalat". (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/139 dan Muslim 2/113 dll).

Keterangan :

"Sabda Nabi SAW : "Kemudian NAIK Malaikat-malaikat yang bermalam ...dst" Menunjukan bahwa Pencipta itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas. Hal ini juga menunjukkan betapa rusaknya pikiran dan fitrahnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Pencipta kita, tidak berada di atas tetapi di segala tempat ? Maha Suci Allah ! Dan Maha Tinggi Allah dari segala ucapan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka !.

"Jabir bin Abdullah telah meriwayatkan tentang sifat haji Nabi dalam satu hadits yang panjang yang didalamnya diterangkan khotbah Nabi SAW di padang 'Arafah : "(Jabir menerangkan) : Lalu Nabi SAW mengangkat jari telunjuknya ke arah langit, kemudian beliau tunjukkan jarinya itu kepada manusia, (kemudian beliau berdo'a) : "Ya Allah saksikanlah ! Ya Allah saksikanlah !
( Riwayat Imam Muslim 4/41).

Sungguh hadits ini merupakan tamparan yang pedas di muka-muka kaum Ahlul Bid'ah yang selalu melarang kaum muslimin merisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata : Kami khawatir orang-orang akan mempunyai i'tiqad bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas langit ! Padahal Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?.

Demikianlah kekhawatiran yang dimaksudkan syaithan ke dalam hati ketua-ketua mereka. Yang pada hakekatnya mereka ini telah membodohi Nabi SAW yang telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit.

Perhatikanlah perkataan mereka : "Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?"

Perhatikanlah ! Adakah akal yang shahih dan fitrah yang bersih dapat menerima dan mengerti perkataan di atas !?. Mereka mengatakan Allah tidak bertempat karena akan menyerupai dengan mahluk-Nya. Tetapi pada saat yang sama mereka tetapkan bahwa Allah berada di segala tempat atau di mana-mana tempat !?.

Ya Subhanallah !

Artinya :
"Dari Ibnu Abbas (ia berkata) : " Bahwa Rasulullah SAW berkhotbah kepada manusia pada hari Nahr (tgl. 10 Zulhijah) -kemudian Ibnu Abbas menyebutkan khotbah Nabi SAW- kemudian beliau mengangkat kepalanya (ke langit) sambil mengucapkan : Ya Allah bukankah Aku telah menyampaikan ! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan !. (Riwayat Imam Bukhari Juz 2 hal : 191).

Perhatikan wahai orang yang berakal ! Perbuatan Rasulullah SAW mengangkat kepalanya ke langit mengucapkan : Ya Allah !. Rasulullah SAW menyeru kepada Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berada di atas langit yakni di atas 'Arsy di atas sekalian mahluk-Nya.
Kemudian perhatikanlah kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada di segala tempat, di bawah mahluk, di jalan-jalan, di tempat-tempat yang kotor, dan di perut-perut hewan !?

Maha Suci Allah ! Maha Suci Allah dari apa yang disifatkan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sama dengan mereka !. Artinya :

"Dari Aisyah, ia berkata : "Nabi SAW mengangkat kepalanya ke langit. (Riwayat Imam Bukhari 7/122).

Keempat

Keterangan Para Sahabat Nabi SAW, dan Ulama-Ulama Islam.

Adapun keterangan dari para sahabat Nabi SAW, dan Imam-imam kita serta para Ulama dalam masalah ini sangat banyak sekali, yang tidak mungkin kami turunkan satu persatu dalam risalah kecil ini, kecuali beberapa diantaranya.

1. Umar bin Khatab pernah mengatakan : Artinya :

"Hanyasanya segala urusan itu (datang/keputusannya) dari sini". Sambil Umar mengisyaratkan tangannya ke langit " [Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" hal : 103. mengatakan : Sanadnya seperti Matahari (yakni terang benderang keshahihannya)].

2. Ibnu Mas'ud berkata : Artinya : "'Arsy itu di atas air dan Allah 'Azza wa Jalla di atas 'Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan".

Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Thabrani di kitabnya "Al-Mu'jam Kabir" No. 8987. dan lain-lain Imam.Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" hal : 103 berkata : sanadnya shahih,dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyetujuinya (beliau meringkas dan mentakhrij hadits ini di kitab Al-Uluw).

Tentang 'Arsy Allah di atas air ada firman Allah 'Azza wa Jalla.
"Dan adalah 'Arsy-Nya itu di atas air"
(Hud : 7)

3. Anas bin Malik menerangkan : Artinya :

"Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi SAW, ia berkata : "Yang mengawinkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga kamu, tetapi yang mengawinkan aku (dengan Nabi) adalah Allah Ta'ala dari ATAS TUJUH LANGIT".

Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan :

"Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit". (Riwayat Bukhari juz 8 hal:176). Yakni perkawinan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsyin langsung Allah Ta'ala yang menikahinya dari atas 'Arsy-Nya.

Firman Allah di dalam surat Al-Ahzab : 37
"Kami kawinkan engkau dengannya (yakni Zainab)".

4. Imam Abu Hanifah berkata : Artinya :

"Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir".

Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan "aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi". Berkata Imam Abu Hanifah : "Sesungguhnya dia telah 'Kafir !".

Karena Allah telah berfirman : "Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istiwaa". Yakni : Abu Hanifah telah mengkafirkan orang yang mengingkari atau tidak tahu bahwa Allah istiwaa diatas 'Arsy-Nya.

5. Imam Malik bin Anas telah berkata : Artinya :

"Allah berada di atas langit, sedangkan ilmunya di tiap-tiap tempat, tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya".

6. Imam Asy-Syafi'iy telah berkata : Artinya :
"Dan sesungguhnya Allah di atas 'Arsy-Nya di atas langit-Nya"

7. Imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya : "Allah di atas tujuh langit diatas 'Arsy-Nya, sedangkan kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya berada di tiap-tiap tempat.?

Jawab Imam Ahmad : Artinya :

"Benar ! Allah di atas 'Arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-nya".

8. Imam Ali bin Madini pernah ditanya : "Apa perkataan Ahlul Jannah ?". Beliau menjawab : Artinya :

"Mereka beriman dengan ru'yah (yakni melihat Allah pada hari kiamat dan di sorga khusus bagi kaum mu'minin), dan dengan kalam (yakni bahwa Allah berkata-kata), dan sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla di atas langit di atas 'Arsy-Nya Ia istiwaa".

9. Imam Tirmidzi telah berkata : Artinya :

"Telah berkata ahli ilmu : "Dan Ia (Allah) di atas 'Arsy sebagaimana Ia telah sifatkan diri-Nya".
(Baca : "Al-Uluw oleh Imam Dzahabi yang diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di hal : 137, 140, 179, 188, 189 dan 218. Fatwa Hamawiyyah Kubra oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal: 51, 52, 53, 54 dan 57).

10. Telah berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para imam- : Artinya :

"Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta'ala di atas 'Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya...". (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma'rifah "Ulumul Hadits" hal : 84).

11. Telah berkata Syaikhul Islam Imam Abdul Qadir Jailani -diantara perkataannya- :
"Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada diatas tiap-tiap tempat,bahkan(wajib)
mengatakan : Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni) di atas 'Arsy sebagaimana Ia telah berfirman :"Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istiwaa (Thaha : 5). Dan patutlah memuthlakkan sifat istiwaa tanpa ta'wil sesungguhnya Ia istiwaa dengan Dzat-Nya di atas 'Arsy. Dan keadaan-Nya di atas 'Arsy telah tersebut pada tiap-tiap kitab yang. Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya):"Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'Arsy-Nya ?" (Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 87).

Yakni : Kita wajib beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala istiwaa di atas 'Arsy-Nya yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas sekalian mahluk-Nya. Tetapi wajib bagi kita meniadakan pertanyaan : "Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'Arsy-Nya ?". Karena yang demikian tidak dapat kita mengerti sebagaimana telah diterangkan oleh Imam Malik dan lain-lain Imam. Allah istiwaa sesuai dengan kebesaran-Nya tidak serupa dengan istiwaanya mahluk sebagaimana kita meniadakan pertanyaan : Bagaimana Dzatnya Allah ?.

Demikianlah aqidah salaf, salah satunya ialah Imam Abdul Qadir Jailani yang di Indonesia, di sembah-sembah dijadikan berhala oleh penyembah-penyembah qubur dan orang-orang bodoh. Kalau sekiranya Imam kita ini hidup pada zaman kita sekarang ini dan beliau melihat betapa banyaknya orang-orang yang menyembah dengan meminta-minta kepada beliau dengan
"tawasul", tentu beliau akan mengingkari dengan sangat keras dan berlepas diri dari qaum musyrikin tersebut.Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji'un !!.

Kelima
Kesimpulan

Hadits Jariyah (budak perempuan) ini bersama hadits-hadits yang lain yang sangat banyak dan berpuluh-puluh ayat Al-Qur'an dengan tegas dan terang menyatakan : "Sesungguhnya Pencipta kita Allah 'Azza wa Jalla di atas langit yakni di atas 'Arsy-Nya, yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya". Maha Suci Allah dari menyerupai mahluk-Nya.!.
Dan Maha Suci Allah dari ta'wilnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada dimana-mana tempat !??.

Dapatlah kami simpulkan sebagai berikut :

1. Sesungguhnya bertanya dengan pertanyaan : "Dimana Allah ?, disyariatkan dan penanya telah mengikuti Rasulullah SAW.

2. Wajib menjawab : "Sesungguhnya Allah di atas langit atau di atas 'Arsy". Karena yang dimaksud di atas langit adalah di atas 'Arsy. Jawaban ini membuktikan keimanannya sebagai mu'min atau mu'minah. Sebagaimana Nabi SAW, telah menyatakan keimanan budak perempuan, karena jawabannya : Allah di atas langit !.

3. Wajib mengi'tiqadkan sesungguhnya Allah di atas langit, yakni di atas 'Arsy-Nya.

4. Barangsiapa yang mengingkari wujud Allah di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir.

5. Barangsiapa yang tidak membolehkan bertanya : Dimana Allah ? maka sesungguhnya ia telah menjadikan dirinya lebih pandai dari Rasulullah SAW, bahkan lebih pandai dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Na'udzu billah.

6. Barangsiapa yang tidak menjawab : Sesungguhnya Allah di atas langit, maka bukanlah ia seorang mukmin atau mukminah.

7. Barangsiapa yang mempunyai iti'qad bahwa bertanya :"Dimana Allah ?" akan menyerupakan Allah dengan mahluk-nya, maka sesunguhnya ia telah menuduh Rasulullah SAW jahil/bodoh !. Na'udzu billah !

8. Barangsiapa yang mempunyai iti'qad bahwa Allah berada dimana-mana tempat, maka sesunguhnya ia telah kafir.

9. Barangsiapa yang tidak mengetahui dimana Tuhannya, maka bukankah ia penyembah Allah 'Azza wa Jalla, tetapi ia menyembah kepada "sesuatu yang tidak ada".

10. Ketahuilah ! Bahwa sesunguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas langit, yakni di atas 'Arsy-Nya di atas sekalian mahluk-Nya, telah setuju dengan dalil naqli dan aqli serta fitrah manusia. Adapun dalil naqli, telah datang berpuluh ayat Al-Qur'an dan hadits yang mencapai derajat mutawatir. Demikian juga keterangan Imam-imam dan Ulama-ulama Islam, bahkan telah terjadi ijma' diantara mereka kecuali kaum ahlul bid'ah. Sedangkan dalil aqli yang sederhanapun akan menolak jika dikatakan bahwa Allah berada di segala tempat !. Adapun fitrah manusia, maka lihatlah jika manusia -baik muslim atau kafir- berdo'a khususnya apabila mereka terkena musibah, mereka angkat kepala-kepala mereka ke langit sambil mengucapkan 'Ya ... Tuhan..!. Manusia dengan fitrahnya mengetahui bahwa penciptanya berada di tempat yang tinggi, di atas sekalian mahluk-Nya yakni di atas 'Arsy-Nya. Bahkan fitrah ini terdapat juga pada hewan dan tidak ada yang mengingkari fitrah ini kecuali orang yang telah rusak fitrahnya.
Tambahan

Sebagian ikhwan telah bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tentang ayat :Artinya :

"Dan Dia-lah Allah di langit dan di bumi, Dia mengetahui rahasia kamu dan yang kamu nyatakan, dan Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan ". (Al-An'am : 3)

Saya jawab : Ahli tafsir telah sepakat sebagaimana dinukil Imam Ibnu Katsir mengingkari kaum Jahmiyyah yang membawakan ayat ini untuk mengatakan :

"Innahu Fii Qulli Makaan"
"Sesungguhnya Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat !".

Maha Suci Allah dari perkataan kaum Jahmiyyah ini ! Adapun maksud ayat ini ialah :

1. Dialah yang dipanggil (diseru/disebut) Allah di langit dan di bumi.

2. Yakni : Dialah yang disembah dan ditauhidkan (diesakan) dan ditetapkan bagi-Nya Ilaahiyyah (Ketuhanan) oleh mahluk yang di langit dan mahluk yang di bumi, kecuali mereka yang kafir dari golongan Jin dan manusia.

Ayat tersebut seperti juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya :

"Dan Dia-lah yang di langit (sebagai) Tuhan, dan di bumi (sebagai)
Tuhan, dan Dia Maha Bijaksana (dan) Maha mengetahui". (Az-Zukhruf : 84)

Yakni : Dia-lah Allah Tuhan bagi mahluk yang di langit dan bagi mahluk yang di bumi dan Ia disembah oleh penghuni keduanya. (baca : Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 hal 123 dan Juz 4 hal 136).

Bukanlah dua ayat di atas maksudnya : Allah ada di langit dan di bumi atau berada di segala tempat!. Sebagaimana ta'wilnya kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Atau perkataan orang-orang yang "diam" Tidak tahu Allah ada di mana !.
Mereka selain telah menyalahi ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi serta keterangan para sahabat dan Imam-imam Islam seluruhnya, juga bodoh terhadap bahasa Arab yang dengan bahasa Arab yang terang Al-Quran ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Imam Abu Abdillah Al-Muhasiby dalam keterangan ayat di atas (Az-Zukhruf : 84) menerangkan : "Yakni Tuhan bagi penduduk langit dan Tuhan bagi penduduk bumi. Dan yang demikian terdapat di dalam bahasa, (umpamanya ) engkau berkata : "Si Fulan penguasa di (negeri) Khirasan, dan di Balkh, dan di Samarqand", padahal ia berada di satu tempat". Yakni : Tidak berarti ia berada di tiga tempat meskipun ia menguasai ketiga negeri tersebut. Kalau dalam bahasa Indonesia, umpamanya kita berkata "Si Fulan penguasa di Jakarta, dan penguasa di Bogor, dan penguasa di Bandung". Sedangkan ia berada di satu tempat.
Bagi Allah ada perumpamaan/misal yang lebih tinggi (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 73).

Adapun orang yang "diam" (tawaqquf) dengan mengatakan : "Kami tidak tahu Dzat Allah di atas 'Arsy atau di bumi", mereka ini adalah orang-orang yang telah memelihara kebodohan !. Allah Rabbul 'Alamin telah sifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat ini, yang salah satunya bahwa Ia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu "diam" darinya dengan ucapan "kita tidak tahu" nyata telah berpaling dari maksud Allah. Pantaslah kalau Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, sama seperti orang yang menta'wilnya.
===============================================