Auf berkata, “Thalq bin Habib mengatakan di dalam doanya, “Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmunya orang-orang yang alim tentangMu, keyakinan orang-orang yang bertawakkal kepadaMu, kepasrahan orang-orang yang beriman kepadaMu, taubatnya orang-orang yang tunduk kepadaMu, ketundukan orang-orang yang bertaubat kepadaMu, syukurnya orang-orang yang bersabar karenaMu, kesabaran orang-orang yang bersyukur kepadaMu, dan keselamatan orang-orang yang hidup dan diberi rezki di sisiMu.”
Abdul Wahid berkata,”Terkabulnya doa bersamaan dengan keihklasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan.”
As-Syibli pernah ditanya tentang firman Allah yang berbunyi, “Berdoalah kepadaKu, nescaya Aku akan mengabulkan doamu.” (QS. Ghafir: 60) . Ia menjawab , “Berdoalah kepadaKu tanpa kelalaian, maka Aku akan mengabulkan doamu tanpa penundaan.”
Wednesday, 30 September 2009
~ Keagungan DOA ~
Posted by NbI @ NuRiHSaN at 10:41 pm 0 comments
Labels: ~ Muhasabah ~
Tuesday, 29 September 2009
~ Mutiara Salafi ~
Al-Fudhail berkata, Allah سبحا نه و تعالى berfirman, “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2). Maksudnya, yang paling ikhlas dan paling benar. Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidaklah diterima. Pun jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, maka tidak akan diterima sampai dilakukan secara ikhlas. Ikhlas artinya dilakukan karena Allah. Sedangkan benar artinya sesuai dengan Sunnah (tuntunan yang diberkan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم)
Ia juga berkata, “Meninggakan amal karena manusia adalah riya’ (pamer). Dan beramal karena manusia adalah syirik (menyekutukan Allah).”
Dan ia pun berkata, “Barangsiapa menghindari lima hal, maka ia terhindar dari keburukan dunia Akhirat; Ujub (bangga diri, merasa lebih baik dari orang lain), riya’ (pamer), sombong, memandang rendah orang lain, dan syahwat.” >[Hilyatul ‘Auliya’]
Posted by NbI @ NuRiHSaN at 8:08 am 0 comments
Labels: ~ Bekalan Rohani ~
Saturday, 26 September 2009
~ Temukan Kemanisan dari Setiap Kepahitan ~
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah سبحا نه و تعالى telah memberikan kepada orang muslim banyak hari-hari bahagia, kesempatan-kesempatan gembira, dan waktu-waktu senang sebagai penghormatan atas keimanan, istiqamah, dan ketaatan.
Namun apakah sikap mereka di hadapan ujian-ujian di dalam hidupnya, dari berbagai musibah yang menimpa jiwa, harta, keluarga dan lain sebagainya?
Haruskah ia menyerah atau mencoba memanfaatkannya?
Sesungguhnya kemampuan untuk memanfaatkan peristiwa-peristiwa yang ia alami, dari berbagai kondisi sulit, yang mana kehidupan tidak pernah sepi dari peristiwa-peristiwa, kemudian usaha untuk merubahnya menjadi sesuatu yang menghasilkan, maka sungguh ia adalah puncak bimbingan dan kesuksesan dari Allah untuk hambaNya. Allah سبحا نه و تعالى berfirman yang bermaksud:
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 35)
Ada yang mengatakan, “Dalam kehidupan ini, bukanlah sesuatu yang paling penting bagimu untuk membuahkan hasil dari usahamu, karena setiap unta pun mampu melakukan hal itu!!
Akan tetapi sesuatu yang benar-benar penting dalam kehidupoan ini ialah bagaimana anda merubah kerugian-bencana-menjadi usaha menghasilkan!!
Hal ini yang memerlukan kecerdikan dan kecerdasan, dan di situlah terdapat perbedaan antara orang cerdas dan orang biasa!!
Jika merenungkan perikehidupan beberapa utusan Allah dan orang-orang terpilih dari manusia ini, kita akan tahu bahwasanya mereka diuji imannya, fisiknya dan keluarganya, lalu mereka merubah ujian-ujian tersebut menjadi tonggak kemuliaan bagi mereka, nama-nama mereka tertulis di atas tonggak tersebut di sisi Allah sebagai penghormatan dan penghargaan, juga di sisi manusia sebagai kecintaan dan penghormatan hingga hari Kiamat.
Sebagai contoh, Nabi Yusof عليه سلام , ketika diuji dengan kecemburuan saudara-saudaranya, yang diwujudkan dengan melemparkannya ke dalam sumur, lalu dengan godaan isteri menteri lalu ia dianiaya dan dizhalimi di dalam penjara bertahun-tahun lamanya, kemudian Allah mengangkatnya setelah semua itu berlalu, menjadi penguasa kaumnya pada masa itu, lalu keluarga dan saudara-saudaranya bersujud untuknya, sebagai penghormatan di atas keberhasilannya mencapai tahta kekuasaan yang agung dan kedudukan yang tinggi, Allah سبحا نه و تعالى berfirman yang bermaksud:
“Mereka berkata: "Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?." Yusuf menjawab: "Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami." Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik" (QS. Yusuf: 90)
Imam Ahmad رحمه الله ditimpa ujian dari khalifah Al-Makmun yang memaksakan pendapat untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Sebahagian ulama lain menerima pendapat khalifah lalu mereka berusaha untuk mentakwil ungkapan salah tersebut. Namun Imam Ahmad tetap berdiri tegar sendirian di tengah medan, sehingga beliau dihukum dan disiksa yang hampir saja membuatnya binasa jika tidak kerana kasih sayang Allah سبحا نه و تعالى kepadanya. Hingga akhirnya diangkatlah semua ujian tersebut, kembalilah kebenaran ke tempatnya. Kedudukan Imam Ahmad terangkat dan namanya pun selalu diingat manusia hingga kini sebagai orang yang layak mendapatkan gelar imam ahlu sunnah!
Selain mereka masih ada nama-nama lain yang tercatat, baik para pendahulu maupun tokoh-tokoh masa kini.
Kemampuan untuk melakukan perubahan positif ini, mengambil hasil dari musibah yang menimpa, kemampuan untuk merubah ujian menjadi hadiah, dan menghasilkan kebahagiaan dari kesulitan tidaklah datang begitu saja tanpa usaha dan pengorbanan, kerana ia menuntut adanya beberapa karekteristik tertentu dan kemampuan khusus, dia antaranya:
* Iman yang kuat kepada Allah, yakin adanya pertolongan, bantuan, dan karuniaNya.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaaq: 2-3)
* Kesabaran yang mantap, harapan yang besar dan tidak dikotori oleh keluh kesah, kekesalan, dan keputus asaan.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)
* Kemauan kuat yang akan menjadikannya seseorang mampu menanggung segala ujian…apapun bentuk dan jenisnya!
Bahkan menjadikan orang tersebut bisa memandang ujian dan halangan dengan cara pandang positif, ia menganggapnya sebagai kehormatan dari Allah سبحا نه و تعالى dan sebagai bukti akan kecintaan Allah kepadanya! Ujian tersebut dianggap sebagai media akan datangnya kebaikan dengan izin Allah, jalan menuju masa depan cemerlang yang telah menunggunya, semua berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم,
من يرد الله به خيرا يصب منه
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah akan mengujinya.” (HR Al-Bukhari)
Imarsun berkata, “Dari mana engkau mendapatkan pemikiran yang mengatakan bahwa kehidupan yang enak, tenang, nyaman, yang sepi dari ujian dan cobaan akan melahirkan orang-orang bahagia dan orang-orang besar!”
Sesungguhnya masalahnya tidak seperti itu sama sekali, sesungguhnya orang-orang yang terbiasa meratapi dirinya ia akan selalu berusaha meratapi walaupun mereka tidur di atas sutera dan permaidani.
Sejarah membuktikan bahwa kebesaran dan kebahagiaan telah menyerahkan tali kekangnya kepada orang-orang yang datang dari berbagai lingkungan, di antara lingkungan kebaikan, lingkungan keburukan dan lingkungan yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Dalam lingkungan-lingkungan seperti ini telah tumbuh orang-orang yang mampu memikul tanggung jawab di atas pundak mereka, dan mereka tidak membuangnya di belakang mereka.
Dan kami berharap engkau adalah salah satu dari orang-orang besar dan bahagia tersebut.
Jika anda dengan jeli melihat berbagai musibah yang terjadi, lalu anda merenunginya dari sisi yang berbeda, pasti anda akan mendapatinya kadang merupakan nikamt besar yang telah Allah سبحا نه و تعالى anugerahkan kepadamu, untuk mengangkat kedudukanmu di dunia,martabatmu di akhirat sedangkan engkau tidak menyadarinya!
Jika keadaannya ternyata engkau telah tertimpa musibah yang telah Allah سبحا نه و تعالى takdirkan, dengan ujian dan musibah yang tidak mungkin engkau melarikan diri darinya, maka kenapa engaku tidak berusaha untuk memanfaatkan waktu dan tenaga, mengembangkan bakat dan kepribadian untuk mendapatkan keuntungan dari ujian dan menghasilakn sesuatu dari tantangan.
[Petikan dari buku ‘Melejitkan Potensi Diri’ oleh Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Aidan, ms 73-76]
Posted by NbI @ NuRiHSaN at 12:52 am 0 comments
Labels: ~ Muhasabah ~
Thursday, 24 September 2009
~ Masih ‘Koma’, Belum ‘Titik’ ~
بسم الله الرحمن الرحيم
Kerinduan kerap keras mengganggu dalam hati ketika yang dirindukan masih jauh dari kenyataan. Setelah bertemu, semuanya menjadi begitu biasa. Segala rencana yang disusun, mentah seketika. Kita pun goyah untuk melangkah. Selanjutnya, putus asa menjadi begitu akrab menghiasi hari-hari berikutnya. Adakah kita sempat merenungkan hal ini?
Begitulah yang terjadi dengan bulan Ramadhan. Program yang jauh-jauh hari telah disusun, kadang tidak menjadi kenyataan setelah memasuki bulan mulia ini. Semuanya akibat kelemahan diri (al-‘ajz) dan iman. Ya, kelemahan yang telah meluluhlantakkan integritas diri lalu mencampakkannya ke sudut-sudut penyesalan yang tidak lagi berguna. Ditingkahi lagi oleh kemalasan yang membuat waktu berlalu percuma. Padahal, waktu adalah diri kita. Setiap detik yang berlalu, ibarat perginya setiap serpih dari tubuh kita. Dengan bijak, Rasulullah صلى الله عليه و سلم mengajarkan kepada umatnya sebuah doa, “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kelemahan diri dan kemalasan.”
Tuntunan Islam adalah selalu memperhatikan waktu yang ada saat ini, bukan kemarin atau esok. Seorang alim pernah menasihati, “Yang lalu telah luput dan yang akan terjadi tidak kita ketahui. Yang tersisa hanyalah waktu di mana saat ini Anda berada.” Sikap inilah yang menjadi ruh generasi awal Islam yang dijuluki sebagai generasi terbaik. Tak hairan jika evaluasi diri terus mereka lakukan setiap saat, tanpa sekat jam atau hari. Tidak ada kata menunda (taswif) dalam kamus mereka. Yang ada hanyalah berbuat, berbuat dan terus berbuat, lalu biarkan Allah, RasulNya dan orang-orang beriman yang menilai hasilnya.
وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُ ۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُون (QS At-Taubah:105)
Pada titik ini, kita lalu bertanya di mana letak jeda dan rehat. Bagi seorang mukmin, jeda atau rehat sebentar hanyalah sekadar sejenak perpindahan antara kebaikan menuju kebaikan lain (QS. Alam Nasyrah: 7) Bukan mengisi kelowongan dengan ketotolan yang sering tak berpangkal. Apa jadinya jika kebaikan yang telah dilakukan susah payah terhapus oleh keburukan yang datang menyusul.
Umat Islam generasi pertama juga meyakini bahwa kemaksiatanlah yang membuat keimanan mereka merosot. Betapa banyak orang yang memahami, kemaksiatan hanya sebatas dosa-dosa besar, lalu melupakan bahwa menghina orang, menyalahi janji, melelapkan diri hingga lalai dari solat subuh, merupakan halangan untuk menaikkan skala keimanan kita. Mengkambing hitamkan waktu, kesibukan, atau kejenuhan yang mendera bukanlah tindakan bijak. Sebab, setelah jiwa puas dengan dalih sesat ini, mulailah syaitan melunakkan hati kita untuk merasa puas dan menerima amal soleh kita yang sedikit.
Masih ada waktu untuk merubah diri, insya Allah. hanya perlu sedikit ketegasan,kesungguhan, ketabahan dan keyakinan untuk berbuat, di samping kesinambungan optimisme untuk mengusung perubahan diri dan menerjemahkannya dalam bentuk kongkrit. Akhirnya, apa yang kita upayakan di bulan Ramadhan ini, hanyalah ibarat sebuah ‘koma’, bukan ‘titik’. Sekadar jeda antara dan bukan akhir prestasi. Ketika kita memahami sebuah prestasi amal sebagai ‘titik’, sesungguhnya saat itu kita sedang melepas ‘ruh keberkesanan’ dari hidup kita. Untuk itu, ingatlah ‘koma’ dan lupakanlah ‘titik’. Setidaknya saat ini. Wallahu al-Muwaffiq.
Ramadhan telah berakhir, namun amalan di bulan Ramadhan belum berakhir dan tidak akan pernah berakhir……… لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ mudah-mudahan kamu bertaqwa, itulah kemuncak kemenangan orang yang berpuasa.
Masih ada lagi puasa-puasa sunnah yang menanti, Masih ada lagi solat-solat sunnah, Masih ada qiyamulail, tahajjud, witir, Masih ada infaq dan sedekah, Masih ada zikir dan tilawah al-Qur’an, sehingga seorang itu bertemu dengan kematian,
“ وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr: 99).
Ramadhan adalah bulan madrasah menjana amal dan istiqamah. Sebagai persiapan ruhiyyah menghadapi sebelas bulan yang mendatang. Semuga Allah meneguhkan hati kita di atas agamaNya dan mengurniakan kita istiqamah melaksanakan perintahNya, ameen.Wallahu al-Musta’an. [MN Ridwan]
[Sibili- Renungan Ramadhan, dengan sedikit perubahan dan penambahan]5 Syawal 1430
Posted by NbI @ NuRiHSaN at 10:14 am 0 comments
Labels: ~ Fiqh Dan Ibadah ~
Wednesday, 9 September 2009
~ Lima Tingkatan Manusia Di dalam Shalat ~
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa lima tingkatan manusia di dalam shalat:
1. Tingkatan orang yang zhalim kepada dirinya dan teledor. yaitu, orang yang kurang sempurna dalam wudhunya, waktu shalatnya, batas-batasnya dan rukun-rukunnya.
2. Orang yang bisa menjaga waktu-waktunya, batas-batasnya, rukun-rukunnya yang sifatnya lahiriyah, dan juga wudhunya, tetapi tidak berupaya keras untuk menghilangkan bisikan jahat dari dalam dirinya. Maka dia pun terbang bersama bisikan jahat dan pikirannya.
3. Orang yang bisa menjaga batas-batasnya dan rukun-rukunnya. Ia berupaya keras untuk mengusir bisikan jahat dan pikiran lain dari dalam dirinya, sehingga dia terus-menerus sibuk berjuang melawan musuhnya agar jangan sampai berhasil mencuri shalatnya. Maka, dia sedang berada di dalam shalat, sekaligus jihad.
4. Orang yang melaksanakan shalat dengan menyempurnakan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan batas-batasnya. Hatinya larut dalam upaya memelihara batas-batas dan hak-haknya, agar dia tidak menyia-nyiakan sedikitpun darinya. Bahkan seluruh perhatiannya tercurah untuk melaksanakannya sebagaimana mestinya, dengan cara yang sesempurna dan selengkap mungkin. Jadi, hatinya dirasuki oleh urusan shalat dan penyembahan kepada Tuhan di dalamnya.
5. Orang yang melaksanakan shalat dengan sempurna. Dia mengambil hatinya dan meletakkannya di hadapan Tuhan. Dia memandang dan memperhatikanNya dengan hatinya yang dipenuhi rasa cinta dan hormat kepadaNya. Dia melihatNya dan menyaksikanNya secara langsung. Bisikan dan pikiran jahat tersebut telah melemah. Hijab antara dia dengan Tuhannya telah diangkat. Jarak antara shalat semacam ini dengan shalat yang lainnya lebih tinggi dan lebih besar daripada jarak antara langit dan bumi. Di dalam shalatnya, dia sibuk dengan Tuhannya. Dia merasa tenteram lewat shalat.
Kelompok pertama akan disiksa. Kelompok kedua akan diperhitungkan amalnya. Kelompok ketiga akan dihapus dosanya. Kelompok keempat akan diberi balasan pahala. Dan kelompok kelima akan mendapat tempat yang dekat dengan Tuhannya, kerana dia menjadi bagian dari orang yang ketenteraman hatinya ada di dalam shalat. Barangsiapa yang tenteram hatinya dengan shalat di dunia, maka hatinya akan tenteram dengan kedekatannya kepada Tuhan di akhirat dan akan tenteram pula hatinya di dunia. Barangsiapa yang hatinya merasa tenteram dengan Allah سبحا نه و تعالى ,maka semua orang akan merasa tenteram dengannya. Dan barangsiapa yang hatinya tidak bisa merasa tenteram dengan Allah سبحا نه و تعالى , maka jiwanya akan terpotong-potong kerana penyesalan terhadap dunia.
(Al-Wabil Ath-Thayyib, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, hal 25-29)
Posted by NbI @ NuRiHSaN at 10:01 am 1 comments
Labels: ~ Muhasabah ~