Jenis Pertama: Mereka mengumpulkan antara keihlasan dan mutaba’ah. Maka seluruh amalan mereka adalah kerana Allah,ucapan mereka kerana Allah, pemberian dan pencegahan mereka kerana Allah, cinta dan benci mereka kerana Allah. Maka mu’amalah mereka secara lahir maupun batin kerana Wajah Allah semata (yakni ikhlas).
Barangsiapa yang mengenal Allah maka ia akan mengikhlaskan bagi-Nya amalannya, ucapannya, pemberiannya, penahanannya, cintanya dan bencinya. Tidak seorangpun bermu’amalalah dengan makhluk melebihi mu’amalahnya kepada Allah kecuali kerana kebodohannya tentang Allah dan kebodohannya tentang Sang Pencipta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:
“Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (AQ: Al-Mulk: 2)
Berkata Al-Fudhail Bin Iyadh: “Amal yang terbaik yaitu yang paling ikhlas dan paling benar.” Mereka bertanya: “Wahai Abu ‘Ali, apa itu yang paling ikhlas dan paling benar?”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya amalan itu jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Jika benar namun tidak ikhlas (juga) tidak akan diterima hingga menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas yaitu amalan yang kerana Allah, benar yaitu amalan yang sesuai sunnah/ajaran/Nabi. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah yang bermaksud:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (AQ:Al-Kahfi: 110)
Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas untuk (mendapatkan) wajah-Nya yang mulia dan mengikuti sunnah/syariat Rasulullah. Maka setiap amalan tanpa mengikuti (sunnah), tidak akan menambah kepada pelakunya kecuali semakin jauh dari Allah. Kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah disembah dengan sunnah/syariatnya (Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam), bukan diibadahi dengan suatu pendapat dan hawa nafsu.
Jenis Kedua: Orang yang tidak memiliki keihklasan maupun mutaba’ah. amalannya tidak mencocoki sunnah, tidak (pula) ikhlas untuk yang diibadahi. Seperti amalan orang-orang yang menghias-hiasi amalannya untuk manusia, yang ingin dilihat manusia dengan apa yang belum pernah disyariatkan Allah dan belum pernah disampaikan oleh RasulNya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk dan paling dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mereka memperoleh bagian yang paling banyak dari firman Allah yang bermaksud:
“Jangan sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan mereka mendapatkan siksa yang pedih.”
Mereka gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan berupa bid’ah kesesatan dan kesyirikan. Mereka senang untuk dipuji dengan mengikuti sunnah dan ikhlas padahal mereka bukan ahlus sunnah dan bukan orang yang ikhlas. Jenis ini banyak terjadi pada orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dari kalangan orang-orang yang bernisbah kepada ilmu, kefakiran dan ibadah. Sesungguhnya mereka melakukan bid’ah, kesesatan, riya’ dan sum’ah, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan berupa mengikuti sunnah, ikhlas dan berilmu. Maka mereka adalah orang-orang yang berhak mendapatkan kemarahan dan kesesatan.
Jenis Ketiga: Orang yang mengikhlaskan amalannya akan tetapi amalannya tidak sesuai dengan sunnah, seperti para ahli ibadah yang bodoh, orang-orang yang bernisbah kepada jalan kezuhudan dan kefakiran dan setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan selain yang disyariatkan dan meyakini ibadahnya ini sebagai pendekatan diri kepada Allah maka inilah keadaannya. Maka keikhlasannya pada keadaan ini tidak bermanfaat baginya, kerana amalan yang dia lakukan adalah perkara baru dan diada-adakan, padahal amalan yang diada-adakan akan tertolak terhadap pelakunya sebagaimana di dalam hadits Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu anha secara marfu:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara yang baru di dalam agama kami ini yang bukan bagian dari agama/sunnah/syariat kami tersebut maka amalan itu tertolak/tidak diterima.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jenis Keempat: Orang yang amalannya mengikuti sunnah namun tidak ikhlas kerana Allah, seperti ketaatan orang-orang yang riya’, seorang yang berperang kerana riya’, kefanatikan dan keberanian,orang yang berhaji agar dikatkan Pak Haji/Bu Haji, orang yang membaca Al-Qur’an agar disebut (Qari’/pembaca yang baik). Mereka itu amalannya secara lahir adalah amalan sholih yang diperintahkan, akan tetapi menjadi tidak benar kerana ditujukan untuk selain Allah, maka amalan ini tidak diterima.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang bermaksud:
“Dan tidaklah mereka diperintah kecuaai untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amalan bagi-Nya.” (AQ:Al-Bayyinah: 5)
Orang yang ikhlas dan mutaba’ah merekalah orang yang berhak (mengatakan):
“ Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu-lah kami meminta pertolongan.” (AQ: Al-Fatihah: 5)
(Dipetik dari kitab Al Qoulul Mufid Penjelasan Tentang Tauhid, buah karya Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy, Terbitan Darul ‘Ilmi, cet. Nov 2007)
Saturday, 20 September 2008
~ Manusia Dari Segi Keikhlasan & Mutaba'ah Terbagi Menjadi Empat Jenis ~
Posted by NbI @ NuRiHSaN at 7:10 am
Labels: ~ Aqidah Sohihah ~
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment