MENGENAL INDAHNYA ISLAM...

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Friday, 30 December 2011

~ Mengikuti Manhaj Salaf Dalam Semua Hal ~


Oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan

Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syari’ah, mu’amalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulama-ulama Salaf memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus mengikuti para salaf?

Karena para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, mereka adalah yang paling memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak ma’shum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan Syi’ah.

Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. [al Maidah/5 : 44].

Kelompok Khawarij tidak rela terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu, dan akhirnya mereka mengkafirkan Ali Radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, muncullah kelompok yang mengatasnamakan pendukung Ali Radhiyallahu ‘anhu yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang kemudian menyatakan masuk Islam, dan pada akhirnya nanti sebagai bibit pertama munculnya Syi’ah. Tokoh ini sangat berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia menyatakan, bahwa berdasarkan wasiat dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, katanya, Ali Radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah. Bahkan Syi’ah sampai mengangkat Ali sebagai ilah (sesembahan). Kedua firqah ini muncul pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu.

Firqah lain yang juga muncul, yaitu Qadariyah dan Murjiah. Firqah Qadariyah sendiri telah ada sejak zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, karya Al Lalika’i (I/35-36) disebutkan, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Orang-orag musyrik Quraisy mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendebat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah qadar, maka turunlah firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

[Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka - al Qamar/54 ayat 47-].

Disebutkan dalam al Lalika’i, halaman 36, ketika terjadi perdebatan di antara para sahabat dalam masalah qadar, dan didengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memarahi dan melarang mereka untuk mengulang-ulang pembicaraan tersebut. Dalam riwayat Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, sesungguhnya ia berkata : “Orang yang pertama kali berbicara tentang al qadr di Basrah adalah, Ma’bad al Juhani”.

Madzhab Qadariyah berpandangan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mentaqdirkan sesuatu dan Dia tidak mengetahuinya. Menurut paham sesat Qadariyah, Allah mengetahui setelah suatu kejadian itu terjadi. Dari pemahaman ini, berarti ada dua kesimpulan. Pertama, ingkar terhadap ilmu Allah sebelum sesuatu itu terjadi. Kedua, berarti hamba itu terjadi dengan sendirinya, bukan dari Allah. [Lihat al Lalika’i, 1/36-37].

Sedangkan Murjiah, mereka mempunyai pandangan, apabila seseorang yang beriman, melakukan dosa maka dosanya itu tidak mempengaruhi keimanannya. Sebagaimana orang kafir, sekalipun melakukan ketaatan, akan tetapi ketaatan itu tidak mempengaruhi kekufurannya. Mereka menyangka, iman itu hanya pembenaran di dalam hati saja. [Syarah Aqidah Washithiyah, Harrasy, hlm. 188]

Jadi, pada zaman pertengahan Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu, telah muncul bid’ah-bid’ah Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Syi’ah. Kemudian pada tahun 100-150 H muncullah nama pemuka ahli bid’ah, di antaranya Muqatil bin Sulaiman, Jahm bin Shafwan, Al Ja’d bin Dirham dan Washil bin Atha’. Mereka ini, masing-masing mempunyai pemikiran dan diikuti oleh jamaahnya.

Kemudian pada tahun 150-234 H, seiring dengan munculnya empat tokoh ahli bid’ah tersebut, muncul bid’ah-bid’ah dalam pemikiran, di antaranya :

1. Manzilah bainal manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), yaitu tidak mukmin tidak kafir.
2. Masalah dosa besar.
3. Muncul bid’ah yang menyatakan bahwa al Qur`an itu makhluk.
4. Bid’ah yang menafikan (menolak) Asma’ wa Shsifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah), atau menta’wilnya.
5. Bid’ah Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah, dan manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan kehendak.

Inilah bid’ah-bid’ah yang muncul pada saat itu, yang pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dan bid’ah yang pada waktu kemudian bermunculan, banyak terpengaruh oleh pemikiran atau filsafat Yunaniyah, merupakan produk dari akal manusia yang jahil, menyimpang dari al Qur`an dan as Sunnah dan pemahaman Salaful Ummah.

Adapun firqah-firqah yang muncul pada masa sekarang ini, semuanya menginduk kepada empat firqah tersebut, bisa ke Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, atau Murjiah. Kesesatan firqah-firqah tersebut bisa karena mereka melampui batas dalam melaksanakan perintah, ataupun meninggalkan yang semestinya boleh dilakukan. Yakni, mereka terjatuh ke dalam al ifrath (terlalu mengagungkan) dan at tafrith (berlebih-lebihan). Padahal Islam itu wasath (tengah-tengah), di antara al ifrath dan at tafrith. Artinya, tidak boleh berlebih-lebihan, dalam batas yang disyariatkan. Islam itu lurus.

Firqah-firqah itu menisbatkan diri kepada Islam dan berbicara tentang Islam. Dan dalam membicarakan Islam, firqah-firqah tersebut menggunakan akal dan filsafat Yunani. Apabila al Qur`an dan Hadits bertentangan dengan akal dan filsafat, mereka akan mendahulukan akalnya daripada al Qur`an dan as Sunnah. Maka jelaslah, pemikiran semacam ini menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dan harus diwaspadai, karena pola pemikiran seperti ini beredar di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Sehingga tak mustahil bisa melahirkan kecenderungan berpikir sangat berbahaya. Terlebih lagi bagi masyarakat kita yang mayoritas awam dan sangat kagum dengan orang yang mempunyai gelar kesarjanaan.

Dalam makalah ini, kami akan mengemukakan beberapa contoh, bahwa Islam itu berada di tengah-tengah, di antara al ifrath dan at tahrith, tidak kurang dan tidak berlebihan. Naskah yang ditulis oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan ini, diangkat dari Tahdzib, Tashil al Aqidah al Islamiyah, Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz al Jibrin. Semoga bermanfaat.

DALAM MASALAH IBADAH
Dalam masalah aqidah ini, pemahaman Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, antara pemikiran Rafidhah dan ad Duruz an Nushairiyah.

Rafidhah, mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tidak sebagaimana yang disyariatkanNya, seperti dalam berdzikir, tawasul. Dzikir mereka amalkan ialah dengan dipimpin, dan secara berjamaah. Mereka juga bertawasul kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal, membuat acara-acara bid’ah, seperti Maulid Nabi, Isra` Mi`raj, mendirikan bangunan di atas kubur, kemudian shalat dan thawaf, serta menyembelih di atasnya. Perbuatan yang mereka amalkan sangat melampui batas, hingga mereka menyembah dan berdoa kepadanya, dengan maksud untuk mendatangkan manfaat dan menolak madharat (bahaya, musibah). Misalnya dengan maksud minta kaya dan keselamatan, serta menolak bala` (musibah).

Ad Duruz an Nushairiyah, mereka tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang biasa dilakukan oleh kaum Muslimin. Mereka meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak zakat, tidak berhaji dan seterusnya.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan yang disyariatkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah. Tidak meninggalkan yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak menambah dengan hal-hal baru yang tidak ada contohnya dari Rasul. Berdasarkan hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat-buat suatu yang baru dalam agama ini yang tidak berasal darinya, maka itu tertolak. [Muttafaq ‘alaih]

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami ini, maka itu tertolak. [HR Muslim]

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seburuk-buruknya adalah perkara baru yang dibuat-buat. Dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat. [HR Muslim].

DALAM MASALAH ASMA`DAN SIFAT ALLAH
Pemahaman Ahlus Sunnah dalam asma` dan sifat Allah berada di tengah-tengah di antara kelompok-kelompok Mu’aththilah (yang menafikan) dan kelompok yang Mumatstsilah (yang menyamakan Allah dengan makhluk). Di antara Mu’aththilah ada yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, seperti Jahmiyah. Juga ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti Mu’tazilah, dan ada yang mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, seperti al Asy’ariyah. Mereka ini, dalam menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah bersandar kepada akal manusia, bukan dengan al Qur`an dan as Sunnah.

Al Mumatstsilah, yaitu kelompok yang menjadikan sifat Allah sama seperti sifat makhluk. Seperti mengatakan tangan Allah seperti tangan kami, pendengaran Allah seperti pendengaran kami, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini berbeda dengan Ahlus Sunnah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atas diriNya dan apa-apa yang ditetapkan oleh RasulNya, baik berupa nama-nama dan sifatNya, tidak dita’wil (dirubah artinya), tidak ditolak (diingkari), tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak bertanya tentang hakikatnya. Ahlus Sunnah mengimani bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu benar-benar ada (haqiqi), sesuai dengan kebesaran Allah, dan tidak sama dengan sifat-sifat makhluk. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura/42 : 11]. [Lihat Taqrib at Tadmuriyyah]

DALAM MASALAH QADHA DAN QADAR
Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di antara Jabariyah dan Qadariyah.

Firqah Qadariyah, mereka menafikan qadr (ketentuan Allah). Mereka berpendapat, bahwa perbuatan manusia, baik yang berupa ketaatan maupun kemaksiatan, tidak ada campur tangan dari Allah. Perbuatan itu tidak ditakdirkan dan tidak ditentukan Allah. Menurut mereka, perbuatan manusia itu terbebas dari apa saja, tidak ada yang mempengaruhi dan tidak diciptakan oleh Allah. Yang berarti perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri. Apabila demikian, berarti Qadariyah terjatuh ke perbuatan syirik dalam masalah rububiyah; karena ada beberapa pencipta, yaitu Allah dan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan “majusinya” umat ini.

Adapun Jabariyah, mereka berlebihan dalam menetapkan qadr. Mereka berpendapat, sesungguhnya perbuatan hamba itu dipaksa oleh Allah. Manusia hanya mengikuti saja, ibarat daun ditiup angina. Jabariyah menganggap manusia tidak mempunyai kehendak apapun, terserah angin yang membawa.

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki pemahaman tengah-tengah di antara Jabariyah dan Qadariyah. Ahlus Sunnah menetapkan, bahwa manusia (hamba) itu benar-benar berbuat, dan perbuatan mereka itu dinisbatkan kepada mereka (yang berbuat) dengan sebenar-benarnya. Tetapi, semua perbuatan hamba itu terjadi dengan takdir dan kehendak, dan merupakan ciptaanNya. Allah-lah yang menciptakan hamba dan perbuatan hamba tersebut. Firman Allah:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [ash Shaffat/37 : 96]

Seorang hamba mempunyai kehendak, tetapi kehendaknya itu di bawah kehendak Allah. Firman Allah :

تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

an kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. [at Takwir/81 : 29]

Allah memerintahkan kepada hamba untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, dan melarang mereka berbuat maksiat. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, dan Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Supaya hamba tidak menuntut di akhirat nanti, maka Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitab. Barangsiapa yang taat, silakan taat dan akan diberi pahala. Sebaliknya, barangsiapa yang ingin bermaksiat, silakan berbuat maksiat dan akan mendapat balasan. Karena permasalahannya sudah jelas, dan Allah tidak zhalim terhadap hambanya. Firman Allah :

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya). [Fushilat/41 : 46].

Ada empat tingkatan yang harus diimani dalam masalah qada’ dan qadr ini.
1. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Allah mengetahui yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan Allah mengetahui perbuatan hambaNya sebelum Allah menciptakannya.

2. Segala yang ada telah dicatat oleh Allah di dalam Lauhul Mafudz pada 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakannya.

3. Kehendak dan kekuasaan Allah meliputi apa yang Allah kehendaki, maka bisa terjadi. Begitu pula apa yang tidak dikehendakiNya, maka tidak akan terjadi. Semua yang terjadi tersebut atas kehendak Allah sebelum hal itu terjadi.

4. Allah menciptakan segala sesuatu.
Allah-lah yang menciptakan orang yang mengerjakan dan pekerjaannya, dan yang bergerak dan gerakannya, dan semua yang diam dan diamnya.

DALAM MASALAH AL WA’D DAN AL WA’ID
Al wa’du atau janji, yaitu ayat-ayat yang memberikan janji surga bagi yang beramal shalih. Sedangkan al wa’id atau ancaman, yaitu ayat-ayat yang memberikan ancaman neraka bagi yang berbuat maksiat.

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Wa’idiyah dan Murjiah.

Kelompok Wa’idiyah mempunyai pemahaman, bahwa ayat-ayat al wa’diyah (ancaman) harus diutamakan dibandingkan dengan ayat-ayat al wa’du (janji). Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti zina, minum khamr adalah kafir dan kekal di neraka.

Sedangkan Murjiah, mereka mengutamakan ayat-ayat al wa’du daripada ayat-ayat al wa’id. Mereka berkata, iman ialah pembenaran dalam hati. Amal tidak termasuk iman. Dan kemaksiatan seorang mu’min (seperti zina dan minum khamr) tidak membahayakan keimanannya, dan ia tidak berhak masuk Neraka. Menurut mereka, seorang mukmin meskipun bermaksian, keimanannya tetap seperti keimanan yang dimiliki Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu a’nhuma.

Berbeda denganAhlus Sunnah wal Jamaah yang berpendapat, seorang muslim, apabila berbuat maksiat (seperti melakukandosa besar), maka dia tidak keluar dari Islam. Artinya, dia tetap muslim, tetapi imannya berkurang. Selama tidak melakukan perbuatan yang mengkafirkannya, dia tetap mukmin dengan imannya, dan fasiq dengan dosanya. Dan di akhirat terserah kepada Allah Azza wa Jalla. Jika Dia berkehendak untuk mengampuni, maka dia diampuni. Jika tidak, maka disiksa sampai bersih dosa-dosanya, kemudian masuk surga. Mereka tidak kekal di neraka, kecuali jika mati dalam keadaan kufur dan syirik kepada Allah.

Definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, diamalkan dengan anggota badan. Dan iman itu bisa bertambah dengan sebab ketaatan, berkurang akibat perbuatan maksiat.

DALAM MASALAH PARA SAHABAT NABI SHALALLLAHU A’ALAIHI WA SALLAM
Kepada para sahabat Nabi, pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada mereka berada di antara al Khawarij dan Syiah.

Syiah, mereka melampaui batas dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), seperti kepada Ali bin abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu ‘anhum. Mereka memiliki anggapan bahwa Ali Radhiyallahu a’nhu itu ma’shum (tidak pernah salah), mengetahui hal-hal ghaib, dan lebih utama daripada Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Bahkan ada yang sampai mengatakan Ali Radhiyallahu ‘anhu itu ilah (Tuhan).

Sedangkan Syiah Rafidhah, mereka membenci kepada sebagian sahabat. Mereka melontarkan celaan kepada sebagian sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat telah kufur dan murtad setelah Rasulullah n wafat, termasuk juga Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Tidak ada pengecualian, selain Ahlul Bait dan beberapa sahabat saja. Mereka berkata, sesungguhnya mereka itu adalah kekasih Ahlul Bait.

Mereka juga mengecam isteri-isteri Rasul dan afdhalush shahabah (sahabat terbaik), yaitu Abu Bakr secara terang-terangan. Terkadang mereka tampak meridhainya, dan secara dhahir menunjukkan kecintaan kepada sahabat dan dekat kepada Ahlus Sunnah. Namun, mereka sebenarnya hanyalah melakukan tipuan saja, sebab aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah (pura-pura), dhahirnya menampakkan Ahlus Sunnah, akan tetapi hakikat di dalam kalbunya Syiah.

Sebaliknya, al Khawarij berseberangan dengan Syiah. Khawarij sangat membenci Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Mereka juga mengkafirkan Mu’awiyah dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mencintai sahabat Nabi dan meridhainya. Ahlus Sunnah berpendapat, para sahabat adalah orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah telah memilih mereka sebagai sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memberikan komentar terhadap pertikaian mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat, para sahabat adalah mujtahidun, yang mendapat pahala. Jika benar mendapat dua pahala, tetapi jika salah mendapat satu pahala.

Ahlus Sunnah juga berpendapat, sahabat yang termulia adalah Abu Bakr kemudian Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhum, dan juga mencintai Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Bait mendapat dua hak, yaitu hak Islam dan hak keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari penjelasan ringkas ini, menunjukkan bila Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan meridhai para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
http://ibnuramadan.wordpress.com/2011/12/30/mengikuti-manhaj-salaf-dalam-semua-hal/

Thursday, 17 November 2011

~ Perintah Untuk Mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Larangan Dari Fanatisme dan Taqlid ~


Oleh: Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya dan semua sahabatnya.

Saudara-saudara yang saya cintai karena Allah. Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya mencintai antum semua dan orang-orang shalih di negeri ini semata karena Allah. Saya datang ke Indonesia untuk yang ketiga kalinya. Dan saya –alhamdulillah- mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di negeri ini. Saya berdoa semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits qudsi :

وَجَبَتْ مَحَبَّتِي فِي الْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَ وَجَبَتْ مَحَبَّتِي فِي الْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ

Orang-orang yang duduk di satu majelis karena Aku, maka mereka pasti mendapatkan kecintaan dariKu. Orang-orang yang berkumpul karena Aku, maka telah mendapatkan kecintaan dariKu.

Sudah kita ketahui bersama, orang yang masuk ke dalam agama Islam harus mengatakan :

أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلا الله, وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

Dua kalimat tersebut merupakan kalimat yang sangat agung. Seseorang tidak bisa dikatakan muslim, kecuali jika dia telah mengucapkan dua kalimat tersebut, memahami dan melakukan konsekuensi dari kedua kalimat itu.

Dan makna perkataan أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلا اللهadalah tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Maka wajib bagi seorang muslim untuk merealisasikan ubudiyahnya kepada Allah. Ubudiyah kepada Allah adalah kecintaan yang sempurna, taat dan tunduk terhadap perintahNya. Oleh sebab itulah, semua para nabi datang membawa panji Islam.

Allah berfirman.

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama yang Allah diridhai di sisiNya adalah Islam. [Ali Imran : 19].

Allah berfirman.

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ

Dan barangsiapa yang menginginkan agama selain Islam, maka tidak akan pernah diterima (agama itu) darinya. [Ali Imran : 85].

Semua agama di atas bumi adalah agama yang batil, kecuali Islam. Allah tidak akan menerima dan rela untuk hambaNya, kecuali agama Islam ini. Agama ini wajib dijalankan dan diamalkan oleh kaum muslimin. Allah berfirman.

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

Allah telah mensyariatkan bagi kalian agama seperti yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya. Amat berat bagi kaum musyrikin agama yang kamu serukan mereka kepadanya. Allah memilih orang-orang yang dikehendakiNya kepada agamaNya dan memberikan petunjuk kepada (agama)Nya orang-orang yang kembali (kepadaNya). [Asy Syura : 13].

Dalam ayat lain, Allah berfirman.

Allah menentukan untuk (diberi) rahmatNya orang-orang yang Dia kehendaki. [Al Baqarah : 10]

Allah memilih orang-orang tertentu dari kalangan ahli tauhid dan ahli din.
Namun syi’ar (slogan) seorang muslim adalah tauhid dan Sunnah. Karena itu, keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika dia telah mengatakan :

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّّ اللهُ

Dengan itulah, tauhid akan terwujud, dan juga dengan kalimat :

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Makna kalimat ini, ialah tidak ada orang yang berhak diikuti, kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka, seorang muslim tidak boleh menjadikan seorang syaikh, madzhab, kelompok, jama’ah, nalar, pendapat, (aturan) politik, adat, taqlid, budaya, warisan nenek moyang, sebagai panutan dan diterima begitu saja tanpa melihat dalil. Seorang muslim tidak bisa dikatakan muslim yang sempurna, sampai ia melaksanakan ubudiyah (penghambaan diri) hanya untuk Allah saja dan menjadikan Rasulullah n sebagai orang yang dia ikuti. Barangsiapa yang menisbatkan diri kepada salah satu madzhab, kelompok atau jama’ah atau akal, maka ucapannya “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah” masih dianggap kurang dan tidak sempurna.

Pernyataan yang telah kami sebutkan itu merupakan ketetapan semua ulama Islam, terutama para imam yang empat, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka semua.

Imam Abu Hanifah berkata: ”Haram bagi seseorang mengemukakan pendapat kami, sampai dia mengetahui dari mana kami mengambilnya”.

Dan Imam Malik, sambil memberikan isyarat ke arah makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : ”Semua orang, perkataannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali perkataan orang yang ada di dalam kuburan ini,” yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Imam Syafi’i berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”.

Pada suatu hari, datang kepadanya seseorang dan berkata: “Wahai, Imam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda begini dan begini (sambil menyebutkan hadits) dalam masalah ini. Lalu, apa pendapatmu, wahai Imam?” Maka Imam Syafi’i marah besar dan berkata : ”Apakah engkau melihat saya keluar dari gereja? Apakah engkau melihatku keluar dari tempat peribadatan orang Yahudi? Engkau menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka aku tidak berkata apa pun, kecuali seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“.

Karena itulah, salah satu muridnya yang bernama Yunus bin Abil A’la Ash Shadafi dalam satu majelis pernah ditanya tentang satu masalah. Maka dia menjawabnya dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya : ”Apa pendapat Imam Syafi’i dalam masalah tersebut?” Beliau menjawab: ”Madzhab Imam Syafi’i ialah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena saya pernah mendengar beliau berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”.

Begitu pula Imam Ahmad, beliau adalah orang yang selalu mengikuti atsar dan dalil. Beliau tidak pernah berhujjah, kecuali dengan dalil dari firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian ini merupakan kewajiban bagi seorang alim, mufti dan orang yang meminta fatwa. Karena Allah memerintahkan orang-orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya.

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Akan tetapi, (sebagian) kaum muslimin berhenti sampai ayat ini saja. Mereka lupa dan tidak melanjutkan ayat tersebut. Padahal kelanjutan dari ayat tersebut adalah :

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ

Dengan keterangan-keterangan dan kitab-kitab. [An Nahl : 44].

Maksudnya, jika Anda tidak mengetahui, maka bertanyalah kepada orang yang mengetahui dengan disertai dalil, hujjah dan bukti-bukti. Itulah makna firman Allah :

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ

Agama dan hukum Allah tidak diambil kecuali berdasarkan keputusan (ijma’), penjelasan dan kaidah-kaidah para ulama yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i. Dari situ, tumbuhlah persatuan. Persatuan yang wajib digalang oleh kaum muslimin harus bertumpu pada tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Persatuan secara fisik yang kita serukan harus didahului oleh persatuan atau kesamaan pemahaman. Pemahaman kita harus dilandasi dengan tauhid dan ittiba’ hanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan inilah makna dari firman Allah.

أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

Tegakkanlah agama dan jangan kalian berpecah belah tentangnya. [Asy Syura : 13].

Allah melarang kita berpecah-belah, dan jangan sampai ada sesuatu yang memecah-belah kita. Allah juga melarang kita meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita, bahwa pada akhir jaman nanti akan ada beberapa kaum yang mengingkari Sunnah. “Aku akan mendapati salah satu dari kalian bersandar di atas kursinya sambil berkata “Dihadapan kita ada Kitab Allah. Jika kita mendapatkan sesuatu yang halal di dalamnya, maka kita akan halalkan. Dan jika kami menemukan sesuatu yang haram, maka kami haramkan”. Ketauhilah, bahwa aku telah diberi sesuatu yang sama dengan Al Qur’an”. [HR Abu Daud dan Tirmidzi].

Kedudukan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama dengan Al Qur’an. Di dalamnya disebutkan hal-hal yang halal dan haram. Orang yang mengingkari Sunnah, hukumnya kafir, keluar dari agama. Orang yang mengingkari Sunnah, berarti mengingkari Al Qur’an.

Kita lihat, bagaimana Al Qur’an bisa sampai kepada kita? Al Qur’an sampai kepada kita dari generasi ke generasi. Para tabi’in mengambilnya dari para sahabat, dan para pengikut tabi’in mengambilnya dari para tabi’in. Begitu seterusnya, sehingga Al Qur’an bisa sampai kepada kita.

Pada masa-masa terakhir ini, telah terjadi perbedaan. Kami menemukan beberapa kaum di antara mereka ada yang mengingkari Sunnah. Di antara mereka ada yang membacanya dengan niat mencari barakah dan tidak beramal dengan sunnah. Ada sebagian orang, yang sama sekali tidak perduli sama sekali dengan Sunnah, dan dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan Sunnah adalah satu hukum yang tidak ada sangsinya. Demikian ini merupakan dugaan yang salah.

Sebab, para ulama, jika mengatakan “Sunnah” secara mutlak, maka maknanya tidak lepas dari dua hal.

Pertama : Sunnah, sebagai sumber syari’at (hukum). Dalam hal ini, kedudukan Sunnah sama dengan Al Qur’an, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

Kedua : Sunnah yang berarti sebagai salah satu hukum syar’i yang lima, yang berada di bawah wajib dan di atas mubah. Berdasarkan (makna) yang kedua ini, pelakunya akan diberi pahala, dan yang meninggalkannya tidak mendapat sangsi.

Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengambil dalil yang benar, maka lebih baik dia mengikuti jalan para sahabat, karena kebaikan hanya dari jalan mereka. Kemudian kebaikan ini diriwayatkan dan diambil oleh para tabi’in. Akan tetapi, pada jaman tabi’in, kebaikan tersebut tercampuri dengan noda dan bid’ah yang mulai muncul. Sehingga, muncullah kelompok-kelompok seperti Rafidhah, Qadariyah dan kelompok-kelompok sesat lainnya. Padahal, kebanyakan orang umumnya masih berada di atas kebaikan tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan tentang keterasingan agama ini. beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

Sesungguhnya agama (Islam) muncul dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka keberuntungan bagi orang-orang yang asing. Ditanyakan kepada nabi n : “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Sekelompok orang yang sedikit, yang berada di kalangan orang yang banyak. Mereka memperbaiki Sunnah-ku yang telah dirusak oleh orang.” [HR Tirmidzi]

Oleh karenanya, ketika Imam Ahmad mendengar seseorang berkata – saat fitnah banyak bermunculan, di antaranya bid’ah yang menyatakan Al Qur’an adalah makhluk dan fitnah lainnya, : “Ya, Allah. Matikanlah aku di atas Islam.” Maka Imam Ahmad berkata kepadanya : ”Katakanlah, ‘Ya, Allah. Matikanlah aku di atas Islam dan Sunnah’.”

Kita memohon dan berdo’a kepada Allah, semoga kita dimatikan di atas Islam dan Sunnah, dan semoga kata-kata terakhir dalam hidup kita ialah laa ilaaha illallah

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan kepada kita, bahwa setiap satu jaman berlalu dan datang jaman lain, maka semakin berat fitnah yang melanda umat ini dan perpecahan akan semakin nampak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm berkata kepada sahabatnya :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي – أي من يطول به العمر- فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Sesungguhnya, barangsiapa yang hidup di antara kalian (panjang umurnya), maka dia akan mendapatkan perbedaan yang sangat banyak. [HR Abu Daud].

Perpecahan tersebut telah terjadi, dan ini adalah penyakit. Dan tidak ada satu penyakit, (kecuali) pasti ada obatnya. Obat dari penyakit ini, ialah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam lanjutan hadits itu sendiri.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gerahammu.

Jadi, Sunnah para khulafa’ dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah satu. Karena itulah Rasulullah n bersabda : فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي , lalu setelah itu Beliau berkata “عَضُّوْا عليها” dengan lafazh satu (tersirat dalam sabda beliau ini bahwa sunnah Rasulullah dan sunnah khulafa’ Ar Rasyidin adalah satu –red) dan tidak berkata “عَضُّوْا عَلَيْهِمَا” (gigitlah keduanya, maksudnya peganglah ia dengan sekuat-kuatnya).

Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusanNya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabiNya sahabat-sahabat yang pilihan. Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka untuk mengajar dan membersihkan mereka, sebagaimana yang telah Allah firmankan :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Dia-lah yang mengutus kepada umat yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata. [Al Jumu’ah : 2].

Orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti dia telah mencela Allah. Orang yang mencela sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sungguh dia telah mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Agama ini adalah dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para salaful umah, dari para sahabat dan tabi’in, seperti difirmankan Allah.

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukminin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa’: 115].

Yang dimaksud jalan orang-orang mukminin, ialah para sahabat dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka dari kalangan para tabi’in dan pengikut tabi’in sampai hari kiamat tiba. Keberadaan mereka, akan terus ada sampai hari kiamat datang, seperti yang akan kita jelaskan, insya Allah.

Agama ini adalah agama yang nilai-nilainya dipraktekkan, bukan agama filsafat atau teori semata. Agama ini telah tegak pada masa-masa yang lalu, sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, era sahabat dan para tabi’in. Apa yang menjadi agama pada masa itu, maka pada sekarang ini, hal tersebut juga merupakan bagian dari agama. Dan jika pada zaman mereka ada satu hal yang bukan dari agama, maka sekarang ini, hal tersebut juga bukan termasuk dari agama yang dicintai dan diridhai Allah.

Agama ini adalah Kitab Allah, dan Kitab Allah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Rasulullah, memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat Rasulullah. Ini semua dicintai dan diridhai Allah. Begitulah yang difahami Imam Syafi’i dan ulama lainnya.

(Suatu waktu), Imam Syafi’i datang ke Masjidil Haram di Mekkah untuk menunaikkan ibadah haji. Beliau duduk dan berkata kepada orang-orang yang ada : “Tanyalah kepadaku. Tidak ada orang yang bertanya tentang sesuatu kepadaku, kecuali aku akan menjawabnya dengan Kitabullah”.

Maka ada orang awam berdiri dan bertanya : “Wahai, imam. Ketika aku masuk Masjidil Haram, aku menginjak dan membunuh satu serangga. Padahal orang yang dalam keadaan ihram tidak boleh membunuh sesuatu. Akan tetapi, aku telah membunuh seekor serangga. Apa jawabannya dari Kitabullah ?”.

Setelah memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Imam Syafi’i berkata : Allah berfirman :


Apa-apa yang telah diperintahkan Rasul, maka haruslah kalian mengambilnya. [Al Hasyr:8].

Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. [HR Abu Daud]

Dan di antara Khulafaur Rasyidin adalah Umar bin Khaththab. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat bahwa ada seseorang bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang seseorang yang membunuh seekor serangga dalam keadaan ihram. Maka Umar menjawab, ”Tidak ada denda (sangsi) apa pun atas kamu”. Maka Imam Syafi’i berkata : “Jawabanku dari Kitabullah, wahai orang yang berbuat (seperti) itu, sesungguhnya engkau tidak mendapat sangsi apapun. Itulah jawaban dari kitab Allah.”

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kita, bahwa akan terjadi perpecahan pada umat ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan, Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nashara akan terbagi menjadi 72 golongan. Dan kaum muslimin, akan terpecah menjadi 73 kelompok. Rasulullah kemudian berkata, semua kelompok itu –semuanya- akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu kelompok saja. Ditanyakan kepadanya: “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu orang-orang yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku pada hari ini.”

Perpercahan itu juga telah dijelaskan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Para sahabat benar-benar menekuni agama ini dengan amalan nyata. Karena sesuatu yang bersifat teori, akal dan pemahaman bisa berbeda-beda. Namun, jika berbentuk praktek dan amalan, maka itu merupakan hal yang terbaik dalam menafsirkan firman Allah dan ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Perbedaan seperti ini sudah ada ketika muncul para imam dan Daulah Islam. Para fuqaha (ahli fiqih) jatuh ke dalam perbedaan tersebut. Namun perbedaan yang terjadi pada di kalangan mereka memiliki ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang sesuai dengan syar’i, sehingga tidak ada saling mencela dan perpecahan.

Para fuqaha, terutama para imam yang empat, mereka saling mencintai. Kita juga harus mencintai mereka, berlepas diri dari orang-orang yang mencela mereka. Namun kita juga yakin, di antara mereka, tidak ada satu pun yang ma’shum. Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada mereka.

Akan tetapi, setelah itu, pada masa akhir-akhir ini muncul fanatisme dan taqlid buta kepada imam-imam tersebut. Sehingga ada sebagian orang yang bermadzhab Syafi’i berkata, bahwa orang yang bermadzhab Syafi’i tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Hanafi. Dan orang yang bermadzhab Hanafi tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Syafi’i. Sehingga terjadilah fanatisme yang tercela dan taqlid buta yang tidak dicintai dan diridhai Allah.

Umat ini terpecah dengan perpecahan yang sangat dahsyat. Setiap golongan umat ini tidak beribadah kepada Allah, kecuali dengan madzhab satu imam. Kemudian pemahaman agama hanya diambil dari catatan-catatan dan buku-buku ulama terdahulu tanpa kembali kepada dalil-dalil yang syar’i. Sehingga semakin menambah perbedaan dan perpecahan umat ini, karena persatuan tidak akan mungkin terwujud kecuali jika dilandasi dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seiring dengan bergulirnya waktu, maka perbedaan yang ada semakin keras dan dahsyat.

Ketika kekuatan dan kekuasaan Islam hilang, muncul sekelompok orang yang ingin memperbaiki keadaan dan mendirikan agama ini. Masing-masing kelompok menempuh metode tersendiri, sehingga terjadi perpecahan dan perbedaan yang tajam di antara mereka. Padahal ahlul haq (orang-orang yang berada di atas kebenaran) masih ada. Dan sebelumnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan tentang orang-orang tersebut dalam haditsnya :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

Masih akan terus ada satu kelompok pada umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat datang. [HR Bukhari dan Muslim].

Pada asalnya, kaum muslimin harus menjadi umat yang bersatu di atas tauhid dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang telah kami jelaskan. Dan juga, satu sama lain harus saling mencintai karena agama Allah. Ketika terjadi perselisihan antara seorang Muhajirin dan seorang Anshar, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar orang Anshar berkata “Wahai orang-orang Anshar!” dan yang Muhajirin berkata “Wahai orang-orang Muhajirin!”

Sebutan Muhajirin dan Anshar adalah dua nama yang syar’i dan dicintai Allah. Allah telah menyebutkan dalam KitabNya, artinya : Dan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka juga telah ridha kepada Allah. [At Taubah : 100]

Namun ketika terjadi perbedaan antara keduanya dan masing-masing memanggil kelompoknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka : “Apakah kalian melakukan adat jahiliyah, padahal aku berada di tengah-tengah kalian?”

Sabda Beliau “kalian telah melakukan adat jahiliyah” ini ditujukan kepada orang yang mengatakan “Wahai orang-orang Anshar” dan yang berkata ”Wahai orang-orang Muhajirin”.

Jadi, seharusnya umat ini bersatu dan menjadikan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n sebagai penentu hukum di antara mereka. Keduanya adalah agama yang diamalkan oleh para sahabat. Mengamalkan agama dengan pemahaman dan amalan para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Orang-orang yang mengikuti para sahabat akan terus ada, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

Masih akan terus ada satu kelompok pada umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat datang.

Hadits ini harus kita cermati. Dengan memahaminya, maka orang akan merasa tenang, tidak goncang dan bingung. Hadits ini penting.

Berikut penjelasannya:
Pertama : Disebutkan di dalamnya “masih akan terus ada”, yang artinya “tidak akan terputus”. Maka siapa pun yang mengajak kepada kebenaran, lalu dakwahnya sampai kepada seorang tertentu, dan sebelumnya tidak ada kelompok atau jama’ah kecuali setelah orang tersebut muncul, maka dia tidak termasuk di dalam hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : ”Masih akan terus ada pada umatku”. Dan ahlul haq tidak pernah mengajak, kecuali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush shalih. Kelompok yang disebutkan Rasulullah n ini akan terus ada dan memiliki sanad (jalur periwayatan) yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “akan tetap eksis atau menang”. Ini tidak berarti mereka haruslah golongan yang kuat atau menang dengan kekuatan materi. Akan tetapi, mereka tetap menang dengan hujjah, dalil, keterangan, penjelasan dan kaidah-kaidah para ulama. Mereka tetap teguh di atas kebenaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang keadaan mereka dalam sabdanya :

لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ

Tidak mempengaruhi mereka orang-orang yang tidak memperdulikan mereka.

Dan dalam riwayat Musnad Imam Ahmad:

إِلاَّ لَعْوَاءُ تُصِيْبُهُمْ

(Kecuali jika musibah yang menimpa mereka).

Maka kelompok manapun, di negeri manapun, dan kapanpun mereka berada sementara musuh-musuh mereka berhasil mengecilkan nyali dan menekan mentalnya, maka mereka ini bukan yang termasuk dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata “tidak mempengaruhi mereka orang-orang yang mencela dan mengganggu mereka”.

Kelompok yang disebutkan ini adalah yang berada di atas agama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kelompok tersebut akan menjadi kelompok yang mendapat pertolongan dan akan menggenggam masa depan yang bagus. Allah telah menceritakan dalam KitabNya, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Sunnah-nya yang shahih, bahwa masa depan akan menjadi milik agama ini. Dan agama ini akan menang dan merambah seluruh wilayah. Barangsiapa yang menduga bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaknya dia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah dia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya. [Al Hajj : 15].

Makna ayat ini (ialah): Wahai, seluruh manusia. Barangsiapa yang menduga Allah tidak akan menolong Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan agamanya, maka lebih baik dia menggantung dirinya dengan tali di atap rumahnya, lalu membunuh dirinya. Karena Allah benar-benar menolong Nabi dan agamaNya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm pernah ditanya : “Kota manakah yang lebih dulu dibebaskan, Qostantiniyah (Konstantinopel yaitu di Turki) atau Roma (ibukota Italia)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : “Qostantiniyah) dahulu, kemudian Roma.”

Dan (Qostantiniyah) telah dibebaskan semenjak tahun 1543M, dibebaskan lebih dari 800 tahun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kabar tersebut dalam haditsnya. Dan kita sedang menunggu penaklukkan kota Roma, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban :

سَتَكُوْنُ فِيْكُمْ النُّبُوَّةُ مَاشَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ تَكُوْنُ فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ رَاشِدَةٌ مَاشَاءَ اللهُ لَهَا أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْكُمْ مُلْكٌ مِيْرَاثِي مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَنْقَضِي, ثُمَّ يَكُوْنُ لَكُمْ مُلْكٌ عَضُوْدِي –ملك جبري –مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَنْقَضِي , ثُمَّ تَكُوْنُ فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ عَلَى نَـهْجِ النُّبُوَّةِ

Akan datang pada kalian masa kenabian sesuai dengan kehendak Allah, setelah itu habis masanya. Lalu akan datang zaman Khilafah Rasyidah sesuai dengan kehendak Allah, lalu setelah itu habis masanya. Lalu datang masa kerajaan yang turun menurun sesuai dengan kehendak Allah, lalu setelah itu habis masanya. Lalu datang masa kerajaan dengan cara paksaan (peperangan) dengan kehendak Allah berdiri, lalu setelah itu habis masanya. Kemudian datang masa Khilafah yang berada di atas jalan kenabian.

Di samping Allah mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendirian khilafah yang berada di atas jalan kenabian tersebut, Allah juga mempersiapkan sebab-sebabnya. Di antara sebabnya, adalah Allah memberikan kemudahan kepada para ulama untuk menjelaskan hadits-hadits shahih dan jalan para salafush shalih dari umat ini.

Para imam-imam (ulama) tersebut yang diawali oleh Bukhari, lalu Muslim, Nasaa-i, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Mereka semua bukanlah dari golongan bangsa Arab. Bukhari dari negeri Bukhara, Muslim dari Naisabur, Nasaa-i dari Nasaa’, Abu Dawud dari Sijistan, Ibnu Majah dari Qozwin. Mereka semua adalah orang ajam (bukan Arab). Mereka adalah para ulama hadits, muncul setelah masa para imam empat, (yaitu): Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad. Pada zaman para fuqaha, Sunnah belum dibukukan dalam satu buku, namun setelah zaman mereka.

Kemudian Allah menurunkan keutamaanNya untuk kita di negeri Syam dengan munculnya Syaikh Imam dalam ilmu hadits (yaitu) Abu Abdir Rahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al Albani. Beliau datang dari negeri Albania, dibawa hijrah oleh ayahnya ke Damaskus guna menjaga agamanya. Kemudian diusir dari Damasqus, lalu menuju ke Yordania. Beliau tinggal (disana) lebih dari 50 tahun. Setiap hari selama lebih dari 18 jam, beliau melakukan penelitian terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , baik dari buku-buku cetakan atau dari manuskrip-manuskrip kuno. Selama itu, beliau mengarang dan menjelaskan hadits-hadits Nabi .

Setelah itu, dengan keutamaan Allah, muncul ulama-ulama sunnah di negeri-negeri kaum muslimin. Mereka mengajak untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para sahabatnya. Inilah tanda-tanda khilafah yang telah diceritakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang akan kembali kepada umat ini, Insya Allah. Khilafah tersebut berada di atas jalan kenabian, jalan para sahabat dan tabi’in yang datang setelah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku! Jika ingin menolong dan menyebarkan agama kita, maka kita harus mempelajari Al Qur’an. Karena dengan menghafal dan menjaganya, hati akan menjadi mulia. Dengan memahami dan mentadabburinya (menghayatinya), akal pikiran menjadi mulia. Kita juga harus menghafal dan menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , atsar para sahabat dan tabi’in. Mengetahui perkataan-perkataan mereka dalam menghukumi masalah-masalah. Kita juga harus selalu mempelajari agama Allah dengan dalil-dalilnya yang syar’i dan shahih. Kita jangan bersikap fanatik kepada seseorang, madzhab, kelompok dan jama’ah. Kita harus bersikap lembut, memberi nasihat, menunjukkan rasa cinta kepada saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam jurang fanatisme terhadap satu kelompok. Jika kamu menolak nasihat kami, maka jangan kamu berikan semua akalmu kepada yang engkau ikuti, teapi sisakan sedikit, agar kamu bisa bertadabbur dan berpikir. Jika kamu merasa berat untuk melihat kebenaran kecuali dari tempat yang sempit dan kamu merasa tertahan di tempat tersebut, maka hendaklah kamu menjaga kunci tempat tersebut di tanganmu atau di sakumu; jangan engkau buang jauh dan jangan berikan kepada orang lain. Karena, jika pada suatu saat kamu mengetahui mana yang benar, maka kamu bisa keluar dari tempat tersebut dalam keadaan tenang dan bebas. Dan kamu bisa melihat kebenaran dari tempat yang luas dengan dalilnya yang shahih dan syar’i. Akhirnya, engkau akan berjalan di atas jalan para ulama.

Dan ketahuilah dengan seyakin-yakinnya, wahai saudara-saudaraku! Sesungguhnya akhir umat ini tidak akan menjadi baik, kecuali jika mencontoh umat yang pertama. Tidak ada jalan untuk memperbaiki umat ini, kecuali dengan jalan para ulama, duduk di majlis para ulama, mempelajari agama dengan pemahaman mereka dan mengamalkannya, kemudian menyebarkannya. Maka dengan itu, kaum mukminin akan bergembira dengan pertolongan dari Allah. Saya mengharap kepada Allah, agar kita dijadikan dari salah satu sebab ditolongnya agama ini, dan sebab penyebarluasan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dan menjadikan kita berguna bagi orang lain, juga menjadikan apa yang telah kita katakan dan kita dengar ini menjadi hujjah (pembela) untuk kita, bukan penggugat diri kita. Semoga Allah menjadikan itu semua sebagai timbangan kebaikan kita, dan menjadikan timbangan kita berat karenanya, Insya Allah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Naskah ini diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman di Universitas Islam Negeri Malang, pada tanggal 7 Desmber 2004. Ditranskrip ulang dan diterjemahkan oleh al akh Nashiruddin. [http://almanhaj.or.id/content/2974/slash/0]

Tuesday, 1 November 2011

~ K.I.T. (Khadijah Istri Ta'at) ~


K.I.T. (Khadijah Istri Taat)

Cintailah Khadijah yang jujur dan tulus mncintai suaminya yang
mulia Muhammad Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam,

Cintailah Khadijah yang mengutamakan cinta kepada suami dan bersabar tatkala ditinggal suami di gua hira,

Cintailah Khadijah yang mnjadi wanita pertama yang memeluk dan mendukung Islam,

Contohilah Khadijah yang mendahulukan akal dari perasaan, yang memilih kebahagiaan hidup di akhirat daripada hidup di dunia,

Contohilah Khadijah istri yang mententeram dan menenangkan jiwa suami saat pertama kali turun wahyu,

Cintailah Khadijah yang memberi khabar gembira kepada suami tercinta bahwa beliau akan menjadi nabi umat ini,

Contohilah Khadijah yang menonjolkan keyakinan dan ketsiqahannya terhadap suaminya yang mendapat tekanan dari kaumnya,

Contohilah Khadijah murabbiyah yang penuh sabar dan mengajak putri-putrinya masuk Islam dan berbait saat kaum wanita berbai’at,

Contohilah Khadijah wanita cerdas dan bijak ketika mmberi jawaban salam Allah dan malaikat jibril kepada dirinya,

Contohilah Khadijah yang selalu tegar dan bersabar mendampingi suaminya menghadapi rintangan dakwah,

Contohilah Khadijah dengan sikap mulianya menjadi motivasi dan
mempengaruhi dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam,

Contohilah Khadijah seorang dermawan yang menjadi penyumbang dana utama di jalan Allah,

Contohilah Khadijah yang tulus pengaruh keimanannya ditanamkan kepada putri-putrinya,

Cintailah Khadijah yang dianugerahkan taufik sehingga ucapan, perbuatan serta sikapnya penuh dengan hikmah,

Contohilah Khadijah dalam berdakwah telah menempuh uslub mau'izhah hasanah,

Cintailah Khadijah sebagai wanita teladan yang agung dan pribadi yang mulia bagi setiap wanita,

Contohilah Khadijah, ummul mukminin yang kehidupannya laksana madrasah bagi semua pelajar dalam berbagai bidang,

Contohilah Khadijah ibarat mata air yang mengalir deras, penuh
dengan pengorbanan dan sumbangannya yang
besar dalam dakwah Islam,

Contohilah Khadijah yang diberi khabar gmbira sebuah rumah
dari mutiara di syurga,

Smg Allah meredhai Khadijah Radhiyallahu anha serta istri-istri Nabi yang lain.
-----------------

Nukilan,
~ ummunabilah ~

Wednesday, 17 August 2011

~ Jurus Jitu Mendidik Anak ~


Prolog
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak.
Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul “Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini.
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!

JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya.

Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.

Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.

Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.

Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!

Ilmu apa saja yang dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.

Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,
“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.

Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?

Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.

Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,
“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.
Ayo belajar!

Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!

JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.

Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.

Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.

Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!

Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!

Beberapa contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.

Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!

Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.

Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Sebuah renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.

Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini??

Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…

JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..

Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.

Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.

Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…

Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.

Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala!
Mulailah dari sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.

Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.

Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…

JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.

Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.

Contoh aplikasi kesabaran
Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.

Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!

Sabar menjadi pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.

Sabar manakala emosi memuncak. Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.

Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.

Seberapa besar sih kekuatan doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.

Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.

Sejak kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.

Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.

Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.

Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.

Awas, hati-hati!
Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.

Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.

Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis Abdullah Zaen, Lc,. MA
Artikel: http://tunasilmu.com/jurus-jitu-mendidik-anak.html

Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356), Tafsîr Ibn Katsîr (V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435).
Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-I’tiqâd (hal. 183).

Monday, 25 April 2011

~ Melafalkan Niat dalam Ibadah… sesuai sunnah?! ~


Penanya: Akh Tommi

Ada yg saya ingin tanyakan perihal niat. Spt yg kita semua tau bahwa masih banyak org yg melafazkan niat spt niat sholat (Usholli…), niat puasa (nawaitu shauma ghodin…), niat haji dll, pdhl -Subhanallah-, ibadah itu sangatlah mudah spt salah satu sabda Rasulullah mengenai sholat, “mulailah sholat dengan takbiratul ihram”. Beliau tidak menyuruh untuk melafazkan niat tetapi niat itu ada di dalam hati. Yg ingin saya tanyakan,

1. Bagaimana awalnya sejarah org2 mulai melafazkan niat ini?

2. Apakah org2 yg melafazkan niat ini ibadahnya menjadi tertolak? karena mengingat lafaz niat ini adalah sesuatu yg baru yg tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, sebagaimana sabdanya, “barangsiapa yg membuat perkara baru dalam agama ini, maka ia tertolak”.

Terima kasih atas jawabannya ya akhi.

Wassalamu’alaikum

Jawaban:

Waalaikum salam warohmatulloh…

Pertama: Memang ada beberapa sebab yang menjadikan mereka mengatakan melafalkan niat itu sunnah… diantara alasan mereka adalah:

a. Menjauhkan rasa was-was dalam hati dan lebih memudahkan dalam menuntun hati untuk berniat…

b. Meng-qiyas-kan ibadah yang tidak ada tuntunan melafalkan niatnya, dengan ibadah yang disyariatkan melafalkan niatnya, seperti menyembelih kurban dan haji atau umroh…

c. Kesalahan sebagian fuqoha’ Madzhab Syafi’i -rohimahumulloh- dalam memahami perkataan imam syafi’i -rohimahulloh-. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam An-Nawawi -rohimahulloh-:

وقال صاحب الحاوى هو قول ابى عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان لان الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير: ولو تلفظ بلسانه ولم ينو بقلبه لم تنعقد صلاته بالاجماع فيه: ولو نوى بقلبه صلاة الظهر وجرى علي لسانه صلاة العصر انعقدت صلاة الظهر

“Pengarang kitab Al-Hawi mengatakan: Abdulloh Az-Zubairi berpendapat, tidak cukup bagi seseorang dalam hal niat, kecuali dengan mengumpulkan antara niat dalam hati dengan ucapan lisan, karena Imam Syafi’i mengatakan dalam bab haji: ‘Apabila ia berniat haji atau umroh (dalam hati), maka itu sudah cukup baginya, meski tanpa ucapan, tidak seperti sholat yang tidak sah kecuali dengan ucapan’…. (Imam Nawawi mengatakan): “Para sahabat kami mengatakan: Orang ini (yakni: Abdulloh Az-Zubairi) telah jatuh dalam kesalahan, karena yang dimaksud oleh Imam Syafi’i ‘ucapan dalam sholat’ adalah ucapan takbir bukan ucapan niat. Oleh karena itu barangsiapa niat dengan lisannya, tanpa dibarengi niat dalam hatinya, maka sholatnya tidak sah, sebagaimana disepakati oleh seluruh ulama (ijma’). Dan barangsiapa dalam hatinya niat sholat dhuhur, tapi melafalkan niat sholat ashar, maka yang jadi adalah niat sholat dhuhurnya”. (Lihat Majmu’ Syarah Muhadzdzab, karya An-Nawawi 3/241)

Inilah argumen mereka yang mengatakan melafalkan niat itu sunat… Dan semua dalil di atas itu lemah… Karena beberapa alasan berikut:

1. Tidak adanya dalil khusus dari nash (Alqur’an, Sunnah dan Ijma’) yang mendukungnya, padahal kita tahu bahwa hukum asal suatu ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang membolehkannya… Melafalkan niat adalah ibadah, maka ia terlarang kecuali ada dalil yang membolehkannya…

2. Tidak ada seorang pun sahabat yang melakukannya, seandainya melafalkan niat itu ibadah yang sunat hukumnya, tentunya para sahabat berlomba-lomba dalam mempraktekkannya… Fakta ini juga menunjukkan salahnya qiyas yang digunakan oleh mereka, jika seandainya qiyas itu benar, tentunya para sahabat telah menerapkannya…

3. Sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhori Muslim)… dan karena beliau tidak pernah memberi tuntunan melafalkan niat dalam sholat, maka amalan itu tertolak dan tidak boleh dilakukan…

Diantara bukti tidak adanya tuntunan melafalkan niat dalam sholat dan puasa adalah, ketidak-mampuan mereka untuk mendatangkan lafal niat yang diajarkan Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, meski hanya satu saja… Seandainya beliau mengajarkan hal itu, tentu ada nukilan lafal niat dari beliau, meski hanya satu, sebagaimana dinukil banyak dzikir dan doa dari beliau… wallohu a’lam.

Kedua: Orang yang ibadahnya melafalkan niat, insyaAlloh tetap sah, yang tertolak adalah amalan niatnya dengan lisan… Sedang niatnya dalam hati, tetap sesuai tuntunan… Wallohu A’lam.
http://addariny.wordpress.com/2009/08/13/mengeraskan-niat-dalam-ibadah-sesuai-sunnah/#more-979

Friday, 22 April 2011

~ Indahnya… Hidup penuh ibadah & pahala..~



الأمور بمقاصدها


[1] Dalam redaksi lain (في كل أمره), ini menunjukkan bahwa diantara makna kata (الأمر) adalah (الشيء), sebagaimana dijelaskan oleh pengarang kitab Dusturul Ulama’ (1/128), wallohu a’lam.

Semua Amalan Tergantung Pada Niatnya

Mukadimah:

Kaidah ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masalah hati dan niat, mengapa demikian? Karena hati adalah kunci utama amalan kita, dan niat adalah ruh penggerak jasad kita. Kita hanya akan mendapat pahala ketika kita niatkan amalan itu karena Alloh, sebagaimana sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:

عن سعد بن أبي وقاص قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن يؤجر في كل شيء،[1] حتى في اللقمة يرفعها إلى في امرأته. (رواه أحمد وغيره وقال الأرناؤوط إسناده حسن)ـ

Seorang mukmin bisa mendapat pahala dari segala sesuatu (dengan niat yg baik), hingga suapan yang ia masukkan ke mulut istrinya. (HR. Ahmad dan yang lainnya, dihasankan oleh Al-Arna’uth)

Dengan niat yang baik, amalan yang sederhana bisa menghasilkan pahala yang agung. Tidak asing bagi kita, kenapa sahabat Abu Bakar mengungguli sahabat-sahabat yang lainnya? Seorang tabi’in, Bakr ibnu Abdillah al-Muzaniy mengatakan:

إن أبا بكر رضي الله عنه لم يفضل الناس بكثرة صلاة، إنما فضلكم بشيء كان في قلبه (صحيح موقوف على بكر بن عبد الله المزني)ـ

Sungguh! tidaklah Abu Bakar itu mengungguli orang-orang dengan banyaknya amalan sholatnya, tapi beliau mengungguli kalian itu dengan apa yang ada di hatinya.

Sebaliknya karena niat yang salah, amalan yang besar sekalipun, bisa jadi hanya seperti debu yang beterbangan. sebagaimana firman Alloh swt:

وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا

(Ingatlah pada hari kiamat nanti) akan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.

Terlalu banyak ayat maupun hadits yang menunjukkan betapa pentingnya kita memperhatikan hati dan niat kita, sebagai misal saja:

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين (وكل آية في قرن العبادة أو الدعاء بالإخلاص فإنها دليل على هذه القاعدة)ـ

Alloh berfirman: “Mereka tidak diperintah, melainkan untuk menyembah Alloh dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama-Nya” (Al-Bayyinah:5)… (Semua ayat yang menggabungkan ibadah atau doa dengan ikhlas, bisa menjadi dalil untuk kaidah ini).

وعن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله لا ينظر إلى أجسادكم، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم” (رواه مسلم)ـ

Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “sesungguhnya Alloh tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian” (HR. Muslim)

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ (رواه الترمذي وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وصححه الألباني)ـ

Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Dunia ini, hanya untuk empat orang: (1) Hamba yang Alloh beri harta dan ilmu, lalu dengannya ia bertakwa pada Tuhannya, menyambung tali silaturahim, dan menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling tinggi. (2) Hamba yang Alloh beri Ilmu tanpa harta, akan tetapi ia baik niatnya, ia berkata: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku beramal seperti amal baiknya si fulan (yang kaya)’, maka orang seperti ini dapat pahala sebagaimana niatnya, sehingga kedua orang ini pahalanya sama. (3) Hamba yang Alloh beri harta tanpa ilmu, lalu ia sembrono dalam menggunakan hartanya tanpa dasar ilmu, sehingga ia tidak bertakwa pada tuhannya dalam menggunakannya, tidak menyambung tali silaturrohim, dan tidak menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling buruk (bawah). (4) dan Hamba yang tidak diberi harta dan ilmu, (serta buruk niatnya), ia mengatakan: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku akan gunakan sebagaiman si fulan menggunakannya’, maka orang seperti ini menuai dosa karena niatnya, sehingga kedua orang ini dosanya sama”. (HR. Tirmidzi, ia mengatakan: Hasan Shohih, dishohihkan pula oleh Albani).

Ini merupakan kaidah yang sangat agung, ia masuk dalam separoh syariat Islam, mengapa demikian? Karena syariat Islam terbagi menjadi dua: Syariat yang mengatur amalan lahiriyah, dan syariat yang mengatur amalan batiniyah, dan kaidah ini sebagai pengatur amalan batiniyah, yaitu niat.

Para Ulama salaf mengetahui benar hal ini, oleh karenanya mereka sangat serius dalam memperbaiki niatnya. Renungkanlah atsar-atsar berikut ini:

Yahya ibnu Katsir: (تعلّموا النية، فإنه أبلغُ من العمل) pelajarilah masalah niat, karena itu lebih penting daripada amalan.

Zabid al-Yami: (إني لأُحِبُّ أن تكون لي نيةٌ في كل شيءٍ حتى في الطعام والشراب) sungguh aku senang, untuk meniatkan segala sesuatunya (untuk ibadah), meskipun dalam hal makan dan minum.

Dawud at-Tho’i: (رأيت الخيرَ كلَّه، إنما يجمعُه حسنُ النية) aku melihat, segala kebaikan hanya terkumpul dalam niat yang baik.

Sufyan at-Tsauriy: (ما عالَجْتُ شيئاً أشدَّ عليّ من نيّتِي، لأنها تتقلَّبُ عليّ) tidak ada yang lebih berat bagiku melebihi beratnya mengobati niatku, karena ia selalu berubah-rubah dalam diriku.

Yusuf bin Asbath: (تخليصُ النية من فسادها أشدُّ على العالِمين من طول الاجتهاد) membersihkan niat dari kotoran, lebih berat daripada istiqomah dalam amal ibadah.

Muthorrif ibnu Abdillah: (صلاحُ القلبِ بصلاحِ العمل, وصلاحُ العمل بصلاح النية) hati yang baik adalah karena amal yang baik, dan amal yang baik adalah karena niat yang baik.

Abdulloh bin Mubarok: (رُبَّ عملٍ صغيرٍ تُعَظِّمه النية, ورُبَّ عملٍ كبيرٍ تُصَغِّرُه النية) betapa banyak amalan yang sepele menjadi besar karena niatnya, sebaliknya betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niatnya.

Ibnu ’Ajlan: (لا يصلح العملُ إلا بثلاث: التقوى لِلّه, والنيةُ الحسنة, والإصابةُ) Amal tidak akan menjadi baik kecuali dengan tiga syarat: takwa, niat yang baik dan benar dalam melakukannya.

Fudhoil bin ’Iyadh: (إنما يريد الله منك نيتك وإرادتك) Sesungguhnya yang Alloh inginkan darimu adalah niat dan tujuanmu.

Beliau juga mengatakan:

(إن العملَ إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يُقْبَل, وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا، لم يُقْبَل حتى يكون خالصا صوابا)

Sesungguhnya amal yang ikhlas tapi tidak benar, ia tidak akan diterima, begitu pula ketika amal itu benar tapi tidak ikhlas… Ia tidak akan diterima hingga menjadi amal yang ikhlas dan benar. (Ikhlas jika dilakukan karena Alloh, dan benar jika dilakukan sesuai tuntunan).

Begitulah para salafus sholeh, mereka tidak berkata dan bertindak kecuali setelah menghadirkan niat yang baik, sehingga menjadi berkah ucapan, perbuatan dan umur mereka. Mereka menjadi teladan dalam amalannya, karena mereka lebih dulu menjadi teladan dalam memperbaiki niatnya. Sungguh mereka tidak asal-asalan dalam beramal, tapi amal mereka muncul dari hati yang bersih, suci, dipenuhi iman, takwa dan rasa takut pada Alloh ta’ala, dan tentunya amal mereka itu muncul dari pemahaman yang mendalam tentang kitab dan sunnah.

Itulah yang membuat mereka beda dengan kita, padahal puasa mereka sepintas sama seperti puasa kita, begitu pula sholatnya, sama seperti sholat kita, hanya saja niat dan tujuan yang jelas jauh berbeda.

Oleh karena itu, hendaklah kita benar-benar memperhatikan masalah niat ini, Pahala niat sangat agung, begitu bahanyanya sangat besar. Amal kita ibarat jasad, sedangkan niat adalah nyawanya, dan tiada guna jasad tanpa ada nyawa. Amal kita juga ibarat pohon, sedangkan niat adalah akarnya, dan pohon tidak akan tumbuh dengan baik tanpa akar yang kokoh.

Itulah sebabnya kita merasa berat dalam melakukan ibadah, mengapa? Karena kita tidak menghadirkan niat yang tulus dalam beribadah. Wallohul musta’an.

Nash-nash diatas, secara tidak langsung, juga menunjukkan pentingnya kita mempelajari kaidah pertama ini: “segala sesuatu tergantung pada tujuannya”.

Dari manakah para ulama menyimpulkan kaidah ini?

Dari banyak nash-nash syar’i, baik dari Alqur’an maupun Sunnah… Dan nash yang paling mirip dengan bunyi kaidah ini adalah hadits yang sangat masyhur, yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khottob ـ: (قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما الأعمال بالنيات)ـ semua amalan itu tergantung niatnya.

Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa Lafal hadits ini lebih baik dan lebih mengena dibandingkan lafal kaidah tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnus Subkiy dalam kitabnya al-Asybah wan Nadho’ir (1/54).

Apa arti kaidah ini?

(الأمور) adalah bentuk jamak (plural) dari kata (الأمر) dan makna kata tersebut dalam bahasa arab banyak, diantaranya: perintah, keadaan, sesuatu, perbuatan. Dan yang dimaksud (الأمر) dalam lafal kaidah ini adalah: (الفعل والعمل)[2] yaitu perbuatan, dan ia mencakup perbuatan lisan dan anggota badan lainnya.

(مقاصد) adalah bentuk plural (jamak) dari kata (مقصد) yang berarti (النية),[3] dan definisi niat adalah: dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang dikehendakinya.

Dari keterangan ini, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa arti dari kaidah ini, dilihat dari susunan katanya adalah: Semua amalan itu tergantung niatnya, dan makna ini sama persis dengan makna lafal hadits (الأعمال بالنيات). Karena maknanya sama, maka penggunaan lafal nabawi (الأعمال بالنيات), lebih utama ketimbang menggunakan lafal non nabawi, seperti (الأمور بمقاصدها), wallohu a’lam.

Maksud kaidah ini adalah, bahwa semua amalan seseorang, (baik ucapan maupun perbuatan, baik amalan duniawi maupun ukhrowi), akan berbeda hasil dan hukumnya, sesuai dengan maksud dan tujuan orang yang melakukannya.

Pembahasan masalah niat:

Niat adalah amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya… oleh karenanya bila seorang memulai ihromnya dengan melafalkan “Labbaikallohumma hajja” tanpa terbetik niat masuk ihrom haji di hatinya, maka ihrom hajinya tidak sah… Sebaliknya jika ia telah niat dalam hatinya tanpa melafalkan talbiyah, maka niat ihromnya sudah sah… Apabila ada perselisihan antara hati dan lisan… Hatinya ingin niat haji, tapi yang terucap “Labbaikallohu umroh”, maka yang dianggap sah adalah niat yang di hati… karena niat adalah amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya…

Ada dua fungsi dalam niat: (a)Untuk membedakan antara amalan ukhrowi (ibadah) dengan amalan duniawi (adat)… misalnya: Antara mandi junub, dengan mandi untuk menyegarkan badan… Perakteknya sama persis, tapi karena niatnya beda, yang mandi junub jadi amalan ibadah (berpahala), sedang mandi untuk menyegarkan badan tidak jadi ibadah… (b)Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya… misalnya: Sholat Qobliyah Subuh dengan Sholat Subuh, prakteknya sama persis (bagi mereka yang tidak qunut)… yang membedakan hanyalah niatnya, hingga yang satu jadi ibadah sunat, sedang yang lain jadi ibadah wajib…. Begitu pula puasa nadzar hari senin dengan puasa sunat hari senin… prakteknya sama persis, tapi karena niatnya beda, puasa nadzar jadi ibadah wajib, dan yang lainnya jadi ibadah sunat… dst…

Syarat niat ada 6: (a)Islam, oleh karenanya niat ibadah tidak akan sah dari orang non muslim… (b)Ikhlas, oleh karenanya ibadah tidak akan berpahala jika niatnya riya’… (c)Tamyiz, sehingga niat anak kecil yang belum tamyiz (bisa membedakan mana yang baik dan buruk) tidak sah, oleh karenanya hajinya anak kecil harus dengan niat orang yang membawanya… (d)Tahu amalannya, karena bagaimana niat kita sempurna tanpa tahu amalan yang akan kita kerjakan… (e)Waktu niat. Hendaknya niat sebisa mungkin dilakukan berdekatan dengan awal amalan, lebih dekat awal amalan lebih baik. Oleh karenanya tidak sah niat puasa romadhon pada bulan sya’ban, tidak sah niat sholat dhuhur sebelum masuk waktunya, dst… (f)Tidak adanya sesuatu yang menafikanya, seperti: ragu-ragu, atau memotongnya, atau mencampurnya dengan hal lain yang bisa membatalkannya.

Penerapan kaidah ini:

Sebagaimana kita tahu, kaidah ini berlaku pada semua bab fikih, mulai dari bab ibadat, mu’amalat, jinayat, dst… Dan karena fungsi utama mempelajari kaidah fikih adalah untuk memudahkan kita menemukan hukum suatu kasus, maka kami akan paparkan banyak contoh di bawah ini dalam bentuk soal-jawab:

Soal: Jika ada dua orang yang hijrah dari negara kafir ke negara islam, apa keduanya mendapat pahala? Jawab: Dengan berdasar kaidah niat ini, kita katakan: Jika niatnya ikhlas karena Alloh maka baginya pahala yang agung di sisi-Nya, Tetapi jika hijrahnya karena dorongan harta atau cinta wanita, maka hijrahnya menjadi tanpa pahala. Sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Sesungguhnya semua amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan meraih apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya (sebagaimana niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena niat duniawi atau cinta wanita yang akan dinikahi, maka hijrahnya juga untuk tujuan itu (sebagaimana niatnya)” (HR. Bukhori Muslim)

Soal: Pejuang perang, penuntut ilmu syar’i, dan seorang dermawan, apa mereka dijamin masuk surga? Jawab: Dengan kaidah ini, kita katakan: Jika mereka niatnya ikhlas, maka ketiganya dijanjikan pahala yang sangat agung oleh Alloh ta’ala. Tetapi, jika niatnya tidak ikhlas, misalnya, perangnya karena ingin dijuluki pahlawan pemberani… belajar ilmu syar’i-nya karena ingin dijuluki Kyai… Seringnya menyumbang karena ingin berjuluk Dermawan dan pemberi… maka mereka menjadi orang yang paling awal masuk neraka. Sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada hari kiamat nanti, orang yang pertama diadili adalah: (a) orang yang gugur di medang perang, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku gunakan untuk perang (dengan ikhlas) karena-Mu hingga aku syahid”. Alloh katakan: “Kamu bohong, sebenarnya kamu perang agar dijuluki pemberani, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (b) Orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Alqur’an, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku gunakan untuk belajar, mengajar dan membaca Alqur’an (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi sebenarnya kamu menuntut ilmu agar dijuluki Sang Alim, dan kamu membaca Alqur’an agar dijuluki Sang Qori’, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (c) Orang yang Alloh luaskan hartanya, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku tidak tinggalkan satu pun jalan sedekah, kecuali aku sedekahkan harta itu (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi sebenarnya kamu lakukan itu agar dijuluki Sang Dermawan, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (HR. Muslim)… Lihatlah, betapa bahayanya niat, amalan yang sangat mulia pun bisa menjadi bumerang bagi pelakunya… Karena semua amal tergantung niatnya…

Soal: Bolehkah kita mengamankan barang temuan, yang didapat di tanah suci mekah dan madinah? Jawab: Kita tahu Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah melarang kita mengambil barang temuan dari tanah suci mekah dan madinah, kecuali bagi mereka yang berniat mengumumkan dan menyampaikannya kepada si empunya (HR. Bukhori Muslim), dan ia tidak akan memilikinya selamanya… Jadi jika niatnya untuk dimiliki, maka ia tidak boleh mengambilnya, tapi jika niatnya untuk disampaikan ke pemiliknya, maka ia boleh mengambilnya meski barang itu tidak akan menjadi miliknya selamanya… Lihatlah bagaimana pengaruh niat, amalan yang sekilas sama, hukumnya bisa beda… karena “Semua amalan tergantung niatnya”.

Soal: Hasil buruan hewan yang terlatih, apa semuanya halal dimakan? Jawab: Jika hewan itu berburu dengan sendirinya, tanpa perintah dari pemiliknya, maka hasil buruannya haram dimakan, Sedang jika hewan itu berburu karena perintah pemiliknya maka hasil buruannya menjadi halal… Jadi halal dan haram hasil buruan itu tergantung ada tidaknya niat dari pemiliknya… Karena semua amalan tergantung niatnya…

Soal: Dua orang yang junub (hadats besar), kemudian mandi, yang satu niatnya untuk mendinginkan badan, yang lain niatnya untuk menghilangkan hadats besar, bagaimana hukumnya? Jawab: Kita katakan “Semua amalan tergantung niatnya”, maka orang pertama masih tetap junub, sedang orang kedua sudah suci dari junub.

Soal: Dua orang tidak makan dan tidak minum dari Subuh sampai Maghrib, tapi yang satu niatnya hanya diet, sedang yang lain niatnya puasa karena Alloh, bagaimana hukumnya? Jawab: Karena niat yang berbeda, maka orang pertama tidak dapat pahala puasa, sedang orang kedua mendapatkannya.

Soal: Bagaimana hukum lelaki melihat wanita dengan niat dinikahi? Jawab: Memang Rosul -shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan kita untuk melihat wanita yang mau kita nikahi (HR. Muslim), akan tetapi itu tergantung niatnya… Jika niatnya hanya karena senang cuci mata, dan tidak sungguh-sungguh ingin menikah, maka amalannya menjadi haram. Sebaliknya apabila ia melakukannya karena niat yang kuat untuk menikah, maka amalannya sesuai sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Karena semua amalan itu tergantung niatnya…

Soal: Bagaimana hukum orang meng-haji-kan atau meng-umroh-kan orang lain, dan mengambil upah untuk itu? Jawab: Banyak dalil yang membolehkan mewakili orang lain dalam Ibadah Haji maupun Umroh… Adapun mengambil upah untuk itu, maka solusinya adalah kaidah ini: “Semua amal tergantung niatnya”, jika niatnya dalam mewakili hanya untuk mengambil untung harta, maka ia hanya menuai untung harta itu saja tanpa pahala akhirat, Alloh berfirman (yang artinya): “Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kami berikan balasan penuh atas pekerjaan mereka di dunia… mereka tidak akan dirugikan di dunianya. (Tapi) mereka tidak memiliki bagian di akhirat kecuali Neraka” (Hud:15-16). Sebaliknya jika dalam mengambil upah itu dengan niat untuk bekal hajinya, maka ia dapat dua-duanya, pahala akhirat dan manfaat dunia…

Soal: Orang yang mabuk hingga hilang akalnya, bagaimana hukum akadnya, talaknya dan pengakuannya? Jawab: InsyaAlloh Pendapat yang benar adalah yang mengatakan akadnya orang itu tidak sah, talaknya tidak jatuh, dan pengakuannya tidak dianggap. Mengapa? Karena perkataannya sia-sia, karena ia tidak memiliki niat yang benar, sebagaimana orang gila… Pendapat inilah yang sesuai dengan nash-nash syar’i, perkataan para sahabat, dan dasar-dasar Islam… Alloh berfirman (yang artinya) “Janganlah kalian mendekati sholat saat kalian mabuk, hingga kalian sadar dengan ucapan kalian” (An-Nisa:43), ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mabuk biasanya tidak tahu apa yang diucapkannya, itu berarti ucapan yang keluar bukan berasal dari hati, padahal syariat tidak menghukum seseorang kecuali karena amalan yang bersumber dari hati, sebagaimana firmannya: “Alloh menghukum kalian, karena niat yang terkandung dalam hati kalian” (Al-Baqoroh:225)… Intinya “Semua amalan tergantung niatnya” dan karena orang yang mabuk sampai hilang akalnya tidak memiliki niat yang benar, maka amalannya tidak dianggap… oleh karenanya akadnya menjadi tidak sah, talaknya tidak jatuh, dan pengakuannya tidak dianggap… wallohu a’lam.

Soal: Apa hukumnya: orang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu/lupa/dipaksa? (Tidak apa-apa, dan puasanya sah)… Apa hukumnya orang yang melakukan pantangan Ihrom ketika haji atau umroh karena tidak tahu/lupa/dipaksa? (Tidak apa-apa, haji atau umrohnya sah, tidak usah bayar dam)… Apa hukumnya orang yang bicara dalam sholat karena tidak tahu/lupa? (Tidak apa-apa, dan sholatnya sah)… Apa hukumnya orang yang mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan terpaksa? (tidak murtad, dan ia tidak berdosa)… Apa hukum orang yang shalat dengan najis karena tidak tahu? (sholatnya sah, meskipun lebih baik mengulanginya jika belum keluar waktunya)… Apa hukum orang yang menoleh dalam sholat karena kaget? (Tidak apa-apa, dan sholatnya sah)… Apa hukum orang yang mentalak istri karena diancam/dipaksa? (Talaknya tidak jatuh, dan wanita itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang salah ucap, maksud hati ingin mengatakan: Aku bermaksud “meleraikanmu” tapi yang terucap “menceraikanmu”? (Talaknya tidak jatuh, dan wanita itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang lupa sholat, hingga keluar waktunya? (Tidak berdosa, dan harus shalat ketika ingat)… Dan masih banyak sekali kasus-kasus lainnya… Intinya Syariat Islam menggugurkan hukuman bagi mereka melakukan sesuatu tanpa sengaja, karena “Semua amalan itu tergantung niatnya”…

Soal: Bagaimana hukum seorang mujtahid, jika salah dalam ijtihadnya? Jawab: Sebagaimana Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Jika seorang penentu hukum berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, sedang bila ia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala” (HR. Bukhori Muslim)… Mengapa demikian? Karena sang mujtahid tidak bermaksud memilih yang salah, ia berniat mencari yang benar sesuai dengan dalil yang sampai pada dia, tapi tak disengaja ia jatuh dalam kesalahan… Sebagaimana kaidah “Semua amalan tergantung pada niatnya”, maka kesalahan itu tidak berakibat dosa, karena ia tidak berniat melakukan kesalahan… Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah: Ketika seorang mujtahid tidak berdosa dalam melakukan kesalahan berdasarkan ijtihadnya, bukan berarti kita boleh menirunya dan melakukan kesalahan yang sama… Karena, ke-tidak-berdosa-an mereka adalah didasari oleh ijtihadnya mereka, dan penilaian mereka bahwa itu yang benar… Adapun orang yang tahu, bahwa ternyata pendapat mereka lemah dan salah, maka ia tidak boleh menirunya, dan berdosa jika ia melakukannya, karena dengan begitu, ia berarti melakukan kesalahan yang telah ia sadari… Intinya “Semua amalan tergantung pada niatnya”… Wallohu a’lam…

Soal: Bagaimana dengan orang yang bernadzar menziarahi masjid madinah. Jawab: Jika ia bermaksud menziarahi masjid nabawi untuk beribadah di dalamnya, maka itu termasuk nadzar taat yang wajib tunaikan, meski harus safar jauh, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Barangsiapa nadzar untuk melakukan ketaatan kepada Alloh, maka hendaklah ia tunaikan! sedang barangsiapa yang nadzar untuk maksiat, maka janganlah ia melakukannya!” (HR. Bukhori)… Adapun bila maksud utama dari nadzar itu untuk menziarahi makam Nabi -shollallohu alaihi wasallam- maka itu menjadi nadzar maksiat jika harus safar jauh, mengapa? Karena makam tidak boleh dijadikan tujuan untuk safar jauh, sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Janganlah mengadakan safar, kecuali ke tiga masjid: Masjidil Harom, Masjidku ini (yakni Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho” (HR. Bukhori Muslim)… Pendapat ini dipilih oleh Abu Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al-Qadli Husain, Al-Qadhi ‘Iyadh (Fathul Bari, syarah hadits no: 1189) dan Al-Muhaqqiq Ash-Shon’ani (Subulus Salam 2/283) dan sekelompok ulama lainnya… Lihatlah bagaimana hukum bisa berbalik 180 derajat hanya karena perbedaan niat… begitulah, karena “setiap amalan tergantung niatnya”…

Soal: Apa hukum melihat wanita, sekejap tanpa sengaja? Jawab: Karena “semua amal tergantung pada niatnya”, maka pandangan itu tidak menyebabkan dosa, karena ia tidak sengaja dan tak ada niat melakukannya, tapi wajib baginya segera memalingkan pandangannya… Jika tidak, dan meneruskan pandangannya dengan sengaja, maka ia berdosa karenanya… karena timbulnya niat dalam hatinya untuk melakukan dosa itu… karena itu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ketika ditanya tentang hal ini, beliau mengatakan: “Palingkanlah pandanganmu!” (HR. Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Tirmidzy, Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Albani).

Soal: Apa hukum talak yang dijatuhkan seseorang yang sedang sangat marah sekali, hingga pada taraf tidak sadar dengan apa yang diucapkannya? Jawab: Dalam keadaan seperti itu, ia sudah tidak sadar dengan ucapannya, dan orang seperti ini semua ucapannya tidak dianggap, karena tanpa dasar niat dalam hatinya, sehingga talaknya tidak jatuh, karena “Setiap amalan itu tergantung pada niatnya”… Berbeda jika ketika marah, ia masih sadar dan tahu apa yang diucapkannya, lalu mentalak istrinya, maka dalam kasus kedua ini, talaknya jatuh, karena “Setiap amalan itu tergantung pada niatnya”…

Soal: Apa hukum menggundul kepala? Jawab: Menggundul bisa berbeda-beda hukumnya, (a)Ia bisa jadi amal ibadah, seperti ketika haji, umroh, anak kecil di hari nasikahnya, dan orang kafir ketika masuk Islam (al-Mughni 1/274)… (b)Bisa jadi amalan syirik, seperti menggundul dengan niat merendah dan tunduk kepada selain Alloh, sebagaimana diperaktekkan para pengikut fanatik para guru tarekat sufi, mereka mengatakan: “Aku menggundul kepalaku untuk si fulan dan kamu menggundul kepalamu untuk si fulan” (Zadul Ma’ad 4/159)… (c)Bisa jadi bid’ah, seperti menggundul ketika taubat (Majmu’ Fatawa 21/117)… (d)Bisa jadi harom, seperti: Menggundul karena ditinggal mati kerabat atau orang tercinta, atau karena meniru mode orang kafir atau fasiq yang terkenal dengan model plontosnya… (e)Bisa jadi dibolehkan tanpa pahala, misalnya karena adanya kebutuhan duniawi… Intinya hukum menggundul ini tergantung niatnya, karena menggundul itu merupakan amalan, dan “Semua amal itu tergantung pada niatnya”.

Soal: Apa hukum mencela (men-jarh) seseorang? Jawab: itu tergantung niatnya: Jika niatnya ikhlas untuk menasehati, proporsional, tidak bermaksud menghina, merendahkan, dan hanya membatasi sisi yang perlu saja, maka itu menjadi amalan ibadah sebagaimana diterapkan oleh para imam ahli jarh watta’dil… Apabila tidak demikian maka amalan itu menjadi haram… karena setiap amalan tergantung niatnya…

Soal: Bisakah makan dan minum berpahala? Jawab: Memang, pada asalnya makan dan minum -yang waktu kita setiap hari tersita untuknya- itu bukan amal ibadah, tapi dengan menerapkan kaidah ini, amalan ini bisa menjagi ibadah yang berpahala… Misalnya dengan meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh ta’ala, karena badan tidak akan kuat ibadah kecuali dengan makan dan minum… Maka niatkanlah makan dan minum dengan niat baik ini, dan terapkanlah Adab Islami di dalamnya, seperti: Memulai dengan basmalah, makan dengan tangan kanan, memakan yang paling dekat dulu, membagi jatah volume perut menjadi tiga (yakni sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga udara), dst… Jika anda melakukannya dengan niat itu, tentunya waktu yang tersita untuk makan dan minum menjadi penuh dengan ibadah yang berpahala, bahkan dengan niat yang baik setiap gerakan anda (mulai dari menurunkan tangan untuk mengambil makanan, mengangkatnya kembali untuk memasukkannya ke mulut, memamahnya, menelannya, dst) menjadi ibadah… Mengapa? Karena niat yang baik dapat merubah amal duniawi menjadi ibadah yang berpahala… Sungguh, adakah orang yang tidak sanggup melakukannya?!… Hanya dengan niat yang sederhana dan ringan, amal dunia berubah menjadi ibadah dan berpahala… Itu semua kembali kepada kaidah “Setiap amalan itu tergantung niatnya”…

Soal: Bisakah kita tidur sambil ibadah? Jawab: Hukum asalnya, tidur adalah amalan mubah yang tanpa pahala dan dosa, padahal ia lumayan banyak menyita waktu kita… Alangkah baiknya jika kita bisa menjadikannya ibadah yang berpahala, sehingga kita bisa mengeruk banyak keuntungan akhirat dengannya… Ingatlah kaidah “Semua amalan tergantung niatnya”… Dengan niat yang baik, tidur kita menjadi ibadah, seperti meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh jalla wa’ala, karena badan akan kehilangan kekuatannya tanpa tidur… dan hendaklah ia menerapkan Adab Islami di dalamnya, seperti wudhu sebelum tidur, membaca doa tidur yang dituntunkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, tidur dengan posisi miring pada tubuh bagian kanan, dst… Jika kita melakukannya dengan niat yang baik, maka tidur kita, menjadi ibadah yang berpahala… Itulah sebabnya mengapa amal duniawi orang yang selalu ingat Alloh menjadi ibadah, sedang amal orang yang lalai menjadi kosong tanpa pahala…

Soal: Bisakah rutinitas kerja dan mengais rizki menjadi amal ibadah? Jawab: Kerja, mungkin kegiatan paling banyak menyita waktu kita dalam hidup ini, padahal ia termasuk amal duniawi yang mubah (tanpa pahala dan dosa)… Orang yang berakal, tentunya tidak ingin waktu panjang itu terbuang tanpa pahala… Kuncinya adalah niat yang baik… Misalnya: Kerja dengan niat ibadah pada Alloh ta’ala, mencari rizki yang halal sehingga menghindarkannya dari minta-minta, dan membantunya dalam menunaikan kewajiban menafkahi anak istri… dengan meniatkannya memudahkan urusan orang lain dan menasehatinya… jika ia guru, maka meniatkannya untuk menyebarkan kebaikan, mengajarkan sunnah (tuntunan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-), menjadikan banyak orang tahu agamanya, membantu para siswa memenuhi kebutuhan pribadinya, dan niat-niat baik lainnya… Dengan niat yang baik itu, maka langkah kakinya, naik kendaraannya, menetapnya di tempat kerja, pulangnya, dan setiap cobaan yang dialaminya menjadi tabungan pahala… Lihatlah bagaimana keuntungan besar yang disebabkan niat ini, padahal ia hanyalah amal hati yang ringan dan tanpa biaya… sayangnya kebanyakan orang lupa dengan hal ini, karena setan melupakannya… semoga Alloh melindungi kita semua dari gangguannya… amin…

Soal: Apakah membeli suatu kebutuhan, seperti: mobil, pakaian, rumah, makanan, minuman, alat rumah tangga, dll, bisa berpahala? Jawab: Sertailah dengan niat yang baik, insyaAlloh setiap amalan anda akan berpahala… Soal: Membeli dan Memakai jam tangan, bisa berpahala? Jawab: Tentu… dengan niat yang baik, ia menjadi berpahala, misalnya: Ketika membeli atau memakainya ia niatkan untuk: menertibkan waktu ibadahnya, mengingatkan janji yang dibuatnya, dan niat baik lainnya… Karena amal duniawi akan berpahala jika disertai dengan niat yang baik… karena semua amalan tergantung niatnya…

Soal: Refreshing, tamasya ke tempat rekreasi, dan sejenisnya, apa bisa berpahala? Jawab: Karena amal tersebut bukan ibadah (dalam ilmu fikih, semua amalan yang bukan ibadah disebut adat) dan mubah, maka ia tidak berpahala kecuali dengan niat yang baik… tentunya dengan catatan amalan itu tidak menjerumuskan kita pada hal yang harom… Niat yang baik dalam hal ini, misalnya: Menghibur diri dan menghilangkan kepenatan, hingga pikirannya segar dan giat kembali dalam ibadahnya… karena sebagaimana kita tahu, pikiran dan hati kadang lelah, penat dan bosan dengan rutinitas yang kita lakukan, meski bentuknya ibadah, hingga butuh waktu istirahat, refreshing, dan hiburan yang halal untuk menghilangkannya… Inilah metode yang benar… Alhamdulillah, Islam bukanlah agama yang memberatkan, membosankan dan mengekang… Islam agama yang seimbang dan proporsional… maka janganlah anda serius terus menerus, sebaliknya jangan pula mencari hiburan tanpa batasan, tapi keduanya harus ada, jadikanlah hiburan itu seperti garam dalam masakan… dan ketika sedang refreshing, niatkanlah untuk menghibur diri agar kuat menjalankan taat kepada Alloh ta’ala…

Soal: Apa hukuman orang yang membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan? Jawab: Hukumnya berbeda-beda tergantung niatnya: (a)Jika ia melakukannya dengan tanpa sengaja, maka dihukumi Qotlul Khoto’ (membunuh tanpa sengaja), Hukumannya: membayar diyatnya, dan tidak boleh diqishosh… (b)Jika ia melakukannya dengan sengaja tapi alatnya tidak mematikan, maka dihukumi Qotlu Syibhil ’Amd (membunuh semi sengaja), hukumannya: Membayar diyatnya yang lebih tinggi dari diyat qotlul khoto’, dan tidak boleh diqishosh… (c)Dan jika ia melakukannya dengan sengaja dan alatnya mematikan, maka dihukumi Qotlul ’Amd, maka ada tiga pilihan bagi wali korban: Qishosh, membayar diyat sesuai permintaan wali korban, dan memaafkannya sama sekali… Perbedaan hukum ini disebabkan oleh niat… karena semua amal tergantung niatnya…

Soal: Apa hukuman bagi orang mencuri harta orang yang berhutang kepadanya? Jawab: Itu tergantung niatnya: Jika niatnya untuk melunasi hutangnya, maka tidak boleh diterapkan hukum potong tangan terhadapnya, berbeda jika niatnya memang murni untuk mencuri, maka ia dihukumi sesuai dengan niatnya… karena perbuatannya tergantung pada niatnya…

Tapi perlu diingat, bahwa NIAT BAIK tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan… Tidak boleh mencuri, meski niatnya untuk menafkahi keluarga… Tidak boleh membuang bom sembarangan, meski niatnya untuk jihad fisabilillah… Tidak boleh korupsi, meski niatnya untuk disedekahkan atau bantu sanak famili… Tidak boleh memalsu hadits, meski niatnya untuk menggiatkan ibadah… Tidak boleh mengaku nabi, meski niatnya untuk menyebarkan kebaikan dan memajukan Umat Islam… Tidak boleh melakukan bid’ah, meski tujuannya untuk ibadah… Tidak boleh syirik, meski niatnya menarik hati umat… tidak boleh sombong, meski niatnya tahadduts binni’mah… tidak boleh ghibah, meski redaksinya “kasihan ya si fulan, ia telah begini dan begitu”… tidak boleh melihat wajah wanita yang bukan mahromnya, meski niatnya menikmati ciptaan Alloh… tidak boleh mauludan, meski niatnya mahabbah nabi… tidak boleh mengadakan acara tujuh hari setelah kematian, meski niatnya untuk berbuat baik pada si mayit… tidak boleh membangun kuburan, meski niatnya menghormati ahli kuburnya… dan seterusnya dan seterusnya…

Ada juga amalan yang otomatis menjadi berpahala tanpa harus niat… Yaitu, setiap amalan yang memberi manfaat baik kepada orang lain, seperti: Membantu orang lain dalam kebaikan, menyelamatkan orang lain, menjima’ istri, menafkahi keluarga, menanam tanaman atau pohon jika dimakan burung atau hewan lainnya, dll… Tapi, peran niat tetap ada dalam amal-amal ini, yakni memperbanyak dan memperbesar pahalanya… wallohu a’lam… Hal ini selaras dengan sabda Beliau -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada kemaluan kalian, ada sedekah”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rosululloh, apa dengan memuaskan syahwat, orang bisa menuai pahala?!“. Beliau menjawab: “Bukankah ia akan berdosa jika menaruhnya pada hal yang harom?! Begitu pula sebaliknya, ia akan mendapat pahala jika menaruhnya pada hal yang halal” (HR. Muslim)… Begitu pula sabdanya: “ Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu tanaman itu dimakan oleh burung / manusia / binatang ternak, kecuali yang demikian itu sebagai sedekah darinya” (HR. Bukhori Muslim)…

Sekian tulisan ini, Semoga bermanfaat… apa saja yang benar di dalamnya itu dari Alloh… dan jika ada kesalahan, itu dari diri saya dan setan… dan semoga Alloh mengampuninya… kurang lebihnya mohon maaf… subhaanakalloohumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illaa anta astaghfiruka wa’atuubu ilaiik…

Oleh: Abu Abdillah Addariny
http://addariny.wordpress.com/2009/08/11/indahnya-hidup-penuh-ibadah-pahala/

[2] Durorul hukkam fi syarhi majallatil ahkam (1/4)

[3] Al-qowa’idul Fiqhiyyatul Kubro wa ma tafarro’a minha (43)

Madinah, Selasa, 20 Sya’ban 1430 / 11 Agustus 2009