MENGENAL INDAHNYA ISLAM...

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Wednesday, 11 July 2012

~ Bentuk-Bentuk Tabarruj ~

Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA

Bentuk-Bentuk Tabarruj [1]
1. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari kedua pundak dan bukan dari atas kepala [2]. Ini bertentangan dengan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ

“Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka” [al-Ahzaab: 59].

Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak bagian atas tubuh wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat Islam.

2. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk bagian bawah. Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.

3. Termasuk tabarruj: memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan bagi wanita yang mengenakannya.

Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya:

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ...

“Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak mereka…” [an-Nuur: 31].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Tujuan diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang anda lihat, sangat jelas dan tidak samar” [3]

Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai perhiasan baginya.

Insya Allah, pembahasan tentang ini akan penulis ulas lebih rinci pada pembahasan berikutnya dalam tulisan ini.

4. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Adapun pakaian tipis maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat) cantik dan menggoda. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.

Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian” [4]

Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka telanjang” [5]

Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam “al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul Kubra” (8/72), dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat Hafshah bintu ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merobek kerudung tersebut dan berkata: “Apakan kamu tidak mengetahui firman Allah yang diturunkan-Nya dalam surah an-Nuur?”. Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meminta kerudung lain dan memakaikannya”.

5. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang menggambarkan (bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab/pakaian yang ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman sekarang, sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Karena tujuan dari memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun jilbab/pakaian yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan pemicunya, oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan) jilbab/pakaian yang longgar” [6]

Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian yang dipakai para wanita di jaman ini [7]

Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang syarat-syarat pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di antaranya: hendaknya pakaian/jilbab tersebut (kainnnya) tebal (sehingga) tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian/jilbab tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh) [8]

Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal, pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pakaian itu aku berikan untuk istriku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Suruh istrimu untuk memakai pakaian dalam di bawah pakaian qibthiyah tersebut, karena sungguh aku khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)” [9].

Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain dalam lain, agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya.

Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau mengirimkan sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma, pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anhuma dalam keadaan buta matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anhuma meraba pakaian tersebut dengan tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan pakaian ini padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan berkata kepada ibunya: Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis! Maka Asma’ Radhiyallahu anhuma berkata: “Meskipun pakaian ini tidak tipis tapi membentuk (tubuh orang yang memakainya” [10].

6. Termasuk tabarruj: wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam betrsabda: “Seorang wanita, siapapun dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita itu adalah seorang pezina” [11].

Bahkan dalam hadits shahih lainnya [12], Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di mesjid, maka tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang keluar rumah untuk ke pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.

Oleh karena itu, imam al-Haitami menegaskan bahwa keluar rumahnya seorang wanita dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya [13]

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab) untuk menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi, perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika keluar rumah (untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan tidak bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki) ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua ini dalam rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan (fitnah)” [14].

7. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki” [15]

Dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [16]

Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian maupun hal lainnya [17]

Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang wanita yang memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki” [18]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau berkata: “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model) laki-laki, tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki” [19]

Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana panjang model laki-laki [20]

Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka berada,di dalam rumah maupun di luar, karena ini diharamkan pada zatnya dan bukan sekedar karena menampakkan aurat [21].

8. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya, dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer.[22]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya api Neraka” [23]

Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini, karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara berlebihan serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada perhiasan dan dandanan untuk menjadikan indah penampilan mereka.

Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan memperindah model pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian yang dipakai wanita-wanita lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal, bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan dia disebut sebagai wanita yang tau model pakaian jaman sekarang.

Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian ini ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan.

Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar rumah, karena ini diharamkan pada zatnya [24].
_______
Footnote
[1]. Ringkasan dari pembahasan dalam kitab “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 87-109), tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, dengan sedikit tambahan.
[2]. Lihat “fataawa lajnah daimah” (17/141).
[3]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 120).
[4]. Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani, dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no. 
[5]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126).
[6]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[7]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 132-133). Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.
[8]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[9]. HR Ahmad (5/205) dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[10]. Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul kubra” (8/252) dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 127).
[11]. HR an-Nasa'i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[12]. Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1031).
[13]. Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 139).
[14]. Kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/178).
[15]. HR Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad (2/325), al-Hakim (4/215) dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 141).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 5546).
[17]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 146-147).
[18]. HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[19]. Kitab “Masa-ilul imam Ahmad” karya imam Abu Dawud (hal. 261).
[20]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 150), “Syarhul kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101).
[21]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh al-‘Utsaimin dalam “Syarhul kaba-ir” (hal. 212).
[22]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 213).
[23]. HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan Ahmad (2/92), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[24]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38).

http://almanhaj.or.id/content/3297/slash/0

~ Tabarruj, Dandanan ala Jahiliyah Wanita Modern ~


Oleh:Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA

Tabarruj Dalam Berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.

Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan keindahan yang seharusnya disembunyikan.

Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya maka ini jelas termasuk tabarruj.

Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan, supaya keren, dan kalimat lain yang senada.

Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda, ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka kepada selain mahram atau suami mereka.

Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir juga disebut sebagai hiasan.

Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan keharamannya.

Imam adz-Dzahabi berkata [1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek, disertai dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita” [2]

Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [3], na’uudzu billahi min dzaalik.

Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan (dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini telah tersebar merata” [4]

Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi, yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan: syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam (dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu, ‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan (pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun simbol-simbol” [5]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi) bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh terhadap permasalahan in?”

Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal) dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan dengan) mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً 

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” [al-Baqarah: 29].

Dan Firman-Nya:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]
.
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal (menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.

Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum) asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya), maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah” [6]

Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60]

Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [7]
.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan menyilaukan mata” [8].

Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas, dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian, sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang (berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki), karena Allah Azza wa Jalla berfirman: 

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]

Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan tidak boleh bagi wanita” [9]

Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk perhiasan sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua alasan:

- Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [10]

- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah, bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…” [11].

Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani sendiri menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada syarat kedua: pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita yang memakainya) pada zatnya [12]

Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang dan menyolok.

Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi perhiasan dan kecantikan wanita.

Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian (berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita Anshar Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam) seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak [13].

Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:

1. Syubhat Pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam shahih imam al-Bukhari [14], bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju ini sanaah (bagus)”.

Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.

Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [15] maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil, bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid Radhiyallahu anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.

Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang telah dewasa.

2. Syubhat Kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [16] dari ‘Atha’ bin Abi Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah. ‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil (tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”. 

Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.

Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna hadits ini.

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [17] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.

Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’ masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja.

Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah, karena alasan-alasan berikut:

- ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.

- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar, kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.

- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu diperbolehkan.

- Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan imam Ibnu Hajar di atas.

3. Syubhat Ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf (kebiasaan) masyarakat.

Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan) masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [18]

Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.

Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat.

Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan kekeliruan yang nyata.

Nasehat Dan Penutup
Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia. 

Allah Azza wa Jalla berfirman: 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58]
.
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “al-Qur'an” [19].

Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8]

Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah” [20]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah Jalaa Jalaaluh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

http://almanhaj.or.id/content/3296/slash/0 
_______
Footnote
[1]. Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[2]. HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[3]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[4]. Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[5]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[6]. Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[7]. Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[8]. Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[9]. Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10). 
[10]. HR at-Tirmidzi (no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[11]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123). 
[12]. Ibid (hal. 119). 
[13]. Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).
[14]. No. 3661 dan no. 5485.
[15]. Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[16]. No. 1539.
[17]. Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[18]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[19]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/227).
[20]. Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130), dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.