MENGENAL INDAHNYA ISLAM...

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Friday, 22 April 2011

~ Indahnya… Hidup penuh ibadah & pahala..~



الأمور بمقاصدها


[1] Dalam redaksi lain (في كل أمره), ini menunjukkan bahwa diantara makna kata (الأمر) adalah (الشيء), sebagaimana dijelaskan oleh pengarang kitab Dusturul Ulama’ (1/128), wallohu a’lam.

Semua Amalan Tergantung Pada Niatnya

Mukadimah:

Kaidah ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masalah hati dan niat, mengapa demikian? Karena hati adalah kunci utama amalan kita, dan niat adalah ruh penggerak jasad kita. Kita hanya akan mendapat pahala ketika kita niatkan amalan itu karena Alloh, sebagaimana sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:

عن سعد بن أبي وقاص قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن يؤجر في كل شيء،[1] حتى في اللقمة يرفعها إلى في امرأته. (رواه أحمد وغيره وقال الأرناؤوط إسناده حسن)ـ

Seorang mukmin bisa mendapat pahala dari segala sesuatu (dengan niat yg baik), hingga suapan yang ia masukkan ke mulut istrinya. (HR. Ahmad dan yang lainnya, dihasankan oleh Al-Arna’uth)

Dengan niat yang baik, amalan yang sederhana bisa menghasilkan pahala yang agung. Tidak asing bagi kita, kenapa sahabat Abu Bakar mengungguli sahabat-sahabat yang lainnya? Seorang tabi’in, Bakr ibnu Abdillah al-Muzaniy mengatakan:

إن أبا بكر رضي الله عنه لم يفضل الناس بكثرة صلاة، إنما فضلكم بشيء كان في قلبه (صحيح موقوف على بكر بن عبد الله المزني)ـ

Sungguh! tidaklah Abu Bakar itu mengungguli orang-orang dengan banyaknya amalan sholatnya, tapi beliau mengungguli kalian itu dengan apa yang ada di hatinya.

Sebaliknya karena niat yang salah, amalan yang besar sekalipun, bisa jadi hanya seperti debu yang beterbangan. sebagaimana firman Alloh swt:

وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا

(Ingatlah pada hari kiamat nanti) akan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.

Terlalu banyak ayat maupun hadits yang menunjukkan betapa pentingnya kita memperhatikan hati dan niat kita, sebagai misal saja:

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين (وكل آية في قرن العبادة أو الدعاء بالإخلاص فإنها دليل على هذه القاعدة)ـ

Alloh berfirman: “Mereka tidak diperintah, melainkan untuk menyembah Alloh dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama-Nya” (Al-Bayyinah:5)… (Semua ayat yang menggabungkan ibadah atau doa dengan ikhlas, bisa menjadi dalil untuk kaidah ini).

وعن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله لا ينظر إلى أجسادكم، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم” (رواه مسلم)ـ

Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “sesungguhnya Alloh tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian” (HR. Muslim)

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ (رواه الترمذي وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وصححه الألباني)ـ

Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Dunia ini, hanya untuk empat orang: (1) Hamba yang Alloh beri harta dan ilmu, lalu dengannya ia bertakwa pada Tuhannya, menyambung tali silaturahim, dan menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling tinggi. (2) Hamba yang Alloh beri Ilmu tanpa harta, akan tetapi ia baik niatnya, ia berkata: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku beramal seperti amal baiknya si fulan (yang kaya)’, maka orang seperti ini dapat pahala sebagaimana niatnya, sehingga kedua orang ini pahalanya sama. (3) Hamba yang Alloh beri harta tanpa ilmu, lalu ia sembrono dalam menggunakan hartanya tanpa dasar ilmu, sehingga ia tidak bertakwa pada tuhannya dalam menggunakannya, tidak menyambung tali silaturrohim, dan tidak menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling buruk (bawah). (4) dan Hamba yang tidak diberi harta dan ilmu, (serta buruk niatnya), ia mengatakan: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku akan gunakan sebagaiman si fulan menggunakannya’, maka orang seperti ini menuai dosa karena niatnya, sehingga kedua orang ini dosanya sama”. (HR. Tirmidzi, ia mengatakan: Hasan Shohih, dishohihkan pula oleh Albani).

Ini merupakan kaidah yang sangat agung, ia masuk dalam separoh syariat Islam, mengapa demikian? Karena syariat Islam terbagi menjadi dua: Syariat yang mengatur amalan lahiriyah, dan syariat yang mengatur amalan batiniyah, dan kaidah ini sebagai pengatur amalan batiniyah, yaitu niat.

Para Ulama salaf mengetahui benar hal ini, oleh karenanya mereka sangat serius dalam memperbaiki niatnya. Renungkanlah atsar-atsar berikut ini:

Yahya ibnu Katsir: (تعلّموا النية، فإنه أبلغُ من العمل) pelajarilah masalah niat, karena itu lebih penting daripada amalan.

Zabid al-Yami: (إني لأُحِبُّ أن تكون لي نيةٌ في كل شيءٍ حتى في الطعام والشراب) sungguh aku senang, untuk meniatkan segala sesuatunya (untuk ibadah), meskipun dalam hal makan dan minum.

Dawud at-Tho’i: (رأيت الخيرَ كلَّه، إنما يجمعُه حسنُ النية) aku melihat, segala kebaikan hanya terkumpul dalam niat yang baik.

Sufyan at-Tsauriy: (ما عالَجْتُ شيئاً أشدَّ عليّ من نيّتِي، لأنها تتقلَّبُ عليّ) tidak ada yang lebih berat bagiku melebihi beratnya mengobati niatku, karena ia selalu berubah-rubah dalam diriku.

Yusuf bin Asbath: (تخليصُ النية من فسادها أشدُّ على العالِمين من طول الاجتهاد) membersihkan niat dari kotoran, lebih berat daripada istiqomah dalam amal ibadah.

Muthorrif ibnu Abdillah: (صلاحُ القلبِ بصلاحِ العمل, وصلاحُ العمل بصلاح النية) hati yang baik adalah karena amal yang baik, dan amal yang baik adalah karena niat yang baik.

Abdulloh bin Mubarok: (رُبَّ عملٍ صغيرٍ تُعَظِّمه النية, ورُبَّ عملٍ كبيرٍ تُصَغِّرُه النية) betapa banyak amalan yang sepele menjadi besar karena niatnya, sebaliknya betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niatnya.

Ibnu ’Ajlan: (لا يصلح العملُ إلا بثلاث: التقوى لِلّه, والنيةُ الحسنة, والإصابةُ) Amal tidak akan menjadi baik kecuali dengan tiga syarat: takwa, niat yang baik dan benar dalam melakukannya.

Fudhoil bin ’Iyadh: (إنما يريد الله منك نيتك وإرادتك) Sesungguhnya yang Alloh inginkan darimu adalah niat dan tujuanmu.

Beliau juga mengatakan:

(إن العملَ إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يُقْبَل, وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا، لم يُقْبَل حتى يكون خالصا صوابا)

Sesungguhnya amal yang ikhlas tapi tidak benar, ia tidak akan diterima, begitu pula ketika amal itu benar tapi tidak ikhlas… Ia tidak akan diterima hingga menjadi amal yang ikhlas dan benar. (Ikhlas jika dilakukan karena Alloh, dan benar jika dilakukan sesuai tuntunan).

Begitulah para salafus sholeh, mereka tidak berkata dan bertindak kecuali setelah menghadirkan niat yang baik, sehingga menjadi berkah ucapan, perbuatan dan umur mereka. Mereka menjadi teladan dalam amalannya, karena mereka lebih dulu menjadi teladan dalam memperbaiki niatnya. Sungguh mereka tidak asal-asalan dalam beramal, tapi amal mereka muncul dari hati yang bersih, suci, dipenuhi iman, takwa dan rasa takut pada Alloh ta’ala, dan tentunya amal mereka itu muncul dari pemahaman yang mendalam tentang kitab dan sunnah.

Itulah yang membuat mereka beda dengan kita, padahal puasa mereka sepintas sama seperti puasa kita, begitu pula sholatnya, sama seperti sholat kita, hanya saja niat dan tujuan yang jelas jauh berbeda.

Oleh karena itu, hendaklah kita benar-benar memperhatikan masalah niat ini, Pahala niat sangat agung, begitu bahanyanya sangat besar. Amal kita ibarat jasad, sedangkan niat adalah nyawanya, dan tiada guna jasad tanpa ada nyawa. Amal kita juga ibarat pohon, sedangkan niat adalah akarnya, dan pohon tidak akan tumbuh dengan baik tanpa akar yang kokoh.

Itulah sebabnya kita merasa berat dalam melakukan ibadah, mengapa? Karena kita tidak menghadirkan niat yang tulus dalam beribadah. Wallohul musta’an.

Nash-nash diatas, secara tidak langsung, juga menunjukkan pentingnya kita mempelajari kaidah pertama ini: “segala sesuatu tergantung pada tujuannya”.

Dari manakah para ulama menyimpulkan kaidah ini?

Dari banyak nash-nash syar’i, baik dari Alqur’an maupun Sunnah… Dan nash yang paling mirip dengan bunyi kaidah ini adalah hadits yang sangat masyhur, yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khottob ـ: (قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما الأعمال بالنيات)ـ semua amalan itu tergantung niatnya.

Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa Lafal hadits ini lebih baik dan lebih mengena dibandingkan lafal kaidah tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnus Subkiy dalam kitabnya al-Asybah wan Nadho’ir (1/54).

Apa arti kaidah ini?

(الأمور) adalah bentuk jamak (plural) dari kata (الأمر) dan makna kata tersebut dalam bahasa arab banyak, diantaranya: perintah, keadaan, sesuatu, perbuatan. Dan yang dimaksud (الأمر) dalam lafal kaidah ini adalah: (الفعل والعمل)[2] yaitu perbuatan, dan ia mencakup perbuatan lisan dan anggota badan lainnya.

(مقاصد) adalah bentuk plural (jamak) dari kata (مقصد) yang berarti (النية),[3] dan definisi niat adalah: dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang dikehendakinya.

Dari keterangan ini, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa arti dari kaidah ini, dilihat dari susunan katanya adalah: Semua amalan itu tergantung niatnya, dan makna ini sama persis dengan makna lafal hadits (الأعمال بالنيات). Karena maknanya sama, maka penggunaan lafal nabawi (الأعمال بالنيات), lebih utama ketimbang menggunakan lafal non nabawi, seperti (الأمور بمقاصدها), wallohu a’lam.

Maksud kaidah ini adalah, bahwa semua amalan seseorang, (baik ucapan maupun perbuatan, baik amalan duniawi maupun ukhrowi), akan berbeda hasil dan hukumnya, sesuai dengan maksud dan tujuan orang yang melakukannya.

Pembahasan masalah niat:

Niat adalah amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya… oleh karenanya bila seorang memulai ihromnya dengan melafalkan “Labbaikallohumma hajja” tanpa terbetik niat masuk ihrom haji di hatinya, maka ihrom hajinya tidak sah… Sebaliknya jika ia telah niat dalam hatinya tanpa melafalkan talbiyah, maka niat ihromnya sudah sah… Apabila ada perselisihan antara hati dan lisan… Hatinya ingin niat haji, tapi yang terucap “Labbaikallohu umroh”, maka yang dianggap sah adalah niat yang di hati… karena niat adalah amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya…

Ada dua fungsi dalam niat: (a)Untuk membedakan antara amalan ukhrowi (ibadah) dengan amalan duniawi (adat)… misalnya: Antara mandi junub, dengan mandi untuk menyegarkan badan… Perakteknya sama persis, tapi karena niatnya beda, yang mandi junub jadi amalan ibadah (berpahala), sedang mandi untuk menyegarkan badan tidak jadi ibadah… (b)Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya… misalnya: Sholat Qobliyah Subuh dengan Sholat Subuh, prakteknya sama persis (bagi mereka yang tidak qunut)… yang membedakan hanyalah niatnya, hingga yang satu jadi ibadah sunat, sedang yang lain jadi ibadah wajib…. Begitu pula puasa nadzar hari senin dengan puasa sunat hari senin… prakteknya sama persis, tapi karena niatnya beda, puasa nadzar jadi ibadah wajib, dan yang lainnya jadi ibadah sunat… dst…

Syarat niat ada 6: (a)Islam, oleh karenanya niat ibadah tidak akan sah dari orang non muslim… (b)Ikhlas, oleh karenanya ibadah tidak akan berpahala jika niatnya riya’… (c)Tamyiz, sehingga niat anak kecil yang belum tamyiz (bisa membedakan mana yang baik dan buruk) tidak sah, oleh karenanya hajinya anak kecil harus dengan niat orang yang membawanya… (d)Tahu amalannya, karena bagaimana niat kita sempurna tanpa tahu amalan yang akan kita kerjakan… (e)Waktu niat. Hendaknya niat sebisa mungkin dilakukan berdekatan dengan awal amalan, lebih dekat awal amalan lebih baik. Oleh karenanya tidak sah niat puasa romadhon pada bulan sya’ban, tidak sah niat sholat dhuhur sebelum masuk waktunya, dst… (f)Tidak adanya sesuatu yang menafikanya, seperti: ragu-ragu, atau memotongnya, atau mencampurnya dengan hal lain yang bisa membatalkannya.

Penerapan kaidah ini:

Sebagaimana kita tahu, kaidah ini berlaku pada semua bab fikih, mulai dari bab ibadat, mu’amalat, jinayat, dst… Dan karena fungsi utama mempelajari kaidah fikih adalah untuk memudahkan kita menemukan hukum suatu kasus, maka kami akan paparkan banyak contoh di bawah ini dalam bentuk soal-jawab:

Soal: Jika ada dua orang yang hijrah dari negara kafir ke negara islam, apa keduanya mendapat pahala? Jawab: Dengan berdasar kaidah niat ini, kita katakan: Jika niatnya ikhlas karena Alloh maka baginya pahala yang agung di sisi-Nya, Tetapi jika hijrahnya karena dorongan harta atau cinta wanita, maka hijrahnya menjadi tanpa pahala. Sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Sesungguhnya semua amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan meraih apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya (sebagaimana niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena niat duniawi atau cinta wanita yang akan dinikahi, maka hijrahnya juga untuk tujuan itu (sebagaimana niatnya)” (HR. Bukhori Muslim)

Soal: Pejuang perang, penuntut ilmu syar’i, dan seorang dermawan, apa mereka dijamin masuk surga? Jawab: Dengan kaidah ini, kita katakan: Jika mereka niatnya ikhlas, maka ketiganya dijanjikan pahala yang sangat agung oleh Alloh ta’ala. Tetapi, jika niatnya tidak ikhlas, misalnya, perangnya karena ingin dijuluki pahlawan pemberani… belajar ilmu syar’i-nya karena ingin dijuluki Kyai… Seringnya menyumbang karena ingin berjuluk Dermawan dan pemberi… maka mereka menjadi orang yang paling awal masuk neraka. Sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada hari kiamat nanti, orang yang pertama diadili adalah: (a) orang yang gugur di medang perang, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku gunakan untuk perang (dengan ikhlas) karena-Mu hingga aku syahid”. Alloh katakan: “Kamu bohong, sebenarnya kamu perang agar dijuluki pemberani, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (b) Orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Alqur’an, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku gunakan untuk belajar, mengajar dan membaca Alqur’an (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi sebenarnya kamu menuntut ilmu agar dijuluki Sang Alim, dan kamu membaca Alqur’an agar dijuluki Sang Qori’, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (c) Orang yang Alloh luaskan hartanya, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia menjawab: “Aku tidak tinggalkan satu pun jalan sedekah, kecuali aku sedekahkan harta itu (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi sebenarnya kamu lakukan itu agar dijuluki Sang Dermawan, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (HR. Muslim)… Lihatlah, betapa bahayanya niat, amalan yang sangat mulia pun bisa menjadi bumerang bagi pelakunya… Karena semua amal tergantung niatnya…

Soal: Bolehkah kita mengamankan barang temuan, yang didapat di tanah suci mekah dan madinah? Jawab: Kita tahu Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah melarang kita mengambil barang temuan dari tanah suci mekah dan madinah, kecuali bagi mereka yang berniat mengumumkan dan menyampaikannya kepada si empunya (HR. Bukhori Muslim), dan ia tidak akan memilikinya selamanya… Jadi jika niatnya untuk dimiliki, maka ia tidak boleh mengambilnya, tapi jika niatnya untuk disampaikan ke pemiliknya, maka ia boleh mengambilnya meski barang itu tidak akan menjadi miliknya selamanya… Lihatlah bagaimana pengaruh niat, amalan yang sekilas sama, hukumnya bisa beda… karena “Semua amalan tergantung niatnya”.

Soal: Hasil buruan hewan yang terlatih, apa semuanya halal dimakan? Jawab: Jika hewan itu berburu dengan sendirinya, tanpa perintah dari pemiliknya, maka hasil buruannya haram dimakan, Sedang jika hewan itu berburu karena perintah pemiliknya maka hasil buruannya menjadi halal… Jadi halal dan haram hasil buruan itu tergantung ada tidaknya niat dari pemiliknya… Karena semua amalan tergantung niatnya…

Soal: Dua orang yang junub (hadats besar), kemudian mandi, yang satu niatnya untuk mendinginkan badan, yang lain niatnya untuk menghilangkan hadats besar, bagaimana hukumnya? Jawab: Kita katakan “Semua amalan tergantung niatnya”, maka orang pertama masih tetap junub, sedang orang kedua sudah suci dari junub.

Soal: Dua orang tidak makan dan tidak minum dari Subuh sampai Maghrib, tapi yang satu niatnya hanya diet, sedang yang lain niatnya puasa karena Alloh, bagaimana hukumnya? Jawab: Karena niat yang berbeda, maka orang pertama tidak dapat pahala puasa, sedang orang kedua mendapatkannya.

Soal: Bagaimana hukum lelaki melihat wanita dengan niat dinikahi? Jawab: Memang Rosul -shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan kita untuk melihat wanita yang mau kita nikahi (HR. Muslim), akan tetapi itu tergantung niatnya… Jika niatnya hanya karena senang cuci mata, dan tidak sungguh-sungguh ingin menikah, maka amalannya menjadi haram. Sebaliknya apabila ia melakukannya karena niat yang kuat untuk menikah, maka amalannya sesuai sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Karena semua amalan itu tergantung niatnya…

Soal: Bagaimana hukum orang meng-haji-kan atau meng-umroh-kan orang lain, dan mengambil upah untuk itu? Jawab: Banyak dalil yang membolehkan mewakili orang lain dalam Ibadah Haji maupun Umroh… Adapun mengambil upah untuk itu, maka solusinya adalah kaidah ini: “Semua amal tergantung niatnya”, jika niatnya dalam mewakili hanya untuk mengambil untung harta, maka ia hanya menuai untung harta itu saja tanpa pahala akhirat, Alloh berfirman (yang artinya): “Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kami berikan balasan penuh atas pekerjaan mereka di dunia… mereka tidak akan dirugikan di dunianya. (Tapi) mereka tidak memiliki bagian di akhirat kecuali Neraka” (Hud:15-16). Sebaliknya jika dalam mengambil upah itu dengan niat untuk bekal hajinya, maka ia dapat dua-duanya, pahala akhirat dan manfaat dunia…

Soal: Orang yang mabuk hingga hilang akalnya, bagaimana hukum akadnya, talaknya dan pengakuannya? Jawab: InsyaAlloh Pendapat yang benar adalah yang mengatakan akadnya orang itu tidak sah, talaknya tidak jatuh, dan pengakuannya tidak dianggap. Mengapa? Karena perkataannya sia-sia, karena ia tidak memiliki niat yang benar, sebagaimana orang gila… Pendapat inilah yang sesuai dengan nash-nash syar’i, perkataan para sahabat, dan dasar-dasar Islam… Alloh berfirman (yang artinya) “Janganlah kalian mendekati sholat saat kalian mabuk, hingga kalian sadar dengan ucapan kalian” (An-Nisa:43), ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mabuk biasanya tidak tahu apa yang diucapkannya, itu berarti ucapan yang keluar bukan berasal dari hati, padahal syariat tidak menghukum seseorang kecuali karena amalan yang bersumber dari hati, sebagaimana firmannya: “Alloh menghukum kalian, karena niat yang terkandung dalam hati kalian” (Al-Baqoroh:225)… Intinya “Semua amalan tergantung niatnya” dan karena orang yang mabuk sampai hilang akalnya tidak memiliki niat yang benar, maka amalannya tidak dianggap… oleh karenanya akadnya menjadi tidak sah, talaknya tidak jatuh, dan pengakuannya tidak dianggap… wallohu a’lam.

Soal: Apa hukumnya: orang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu/lupa/dipaksa? (Tidak apa-apa, dan puasanya sah)… Apa hukumnya orang yang melakukan pantangan Ihrom ketika haji atau umroh karena tidak tahu/lupa/dipaksa? (Tidak apa-apa, haji atau umrohnya sah, tidak usah bayar dam)… Apa hukumnya orang yang bicara dalam sholat karena tidak tahu/lupa? (Tidak apa-apa, dan sholatnya sah)… Apa hukumnya orang yang mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan terpaksa? (tidak murtad, dan ia tidak berdosa)… Apa hukum orang yang shalat dengan najis karena tidak tahu? (sholatnya sah, meskipun lebih baik mengulanginya jika belum keluar waktunya)… Apa hukum orang yang menoleh dalam sholat karena kaget? (Tidak apa-apa, dan sholatnya sah)… Apa hukum orang yang mentalak istri karena diancam/dipaksa? (Talaknya tidak jatuh, dan wanita itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang salah ucap, maksud hati ingin mengatakan: Aku bermaksud “meleraikanmu” tapi yang terucap “menceraikanmu”? (Talaknya tidak jatuh, dan wanita itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang lupa sholat, hingga keluar waktunya? (Tidak berdosa, dan harus shalat ketika ingat)… Dan masih banyak sekali kasus-kasus lainnya… Intinya Syariat Islam menggugurkan hukuman bagi mereka melakukan sesuatu tanpa sengaja, karena “Semua amalan itu tergantung niatnya”…

Soal: Bagaimana hukum seorang mujtahid, jika salah dalam ijtihadnya? Jawab: Sebagaimana Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Jika seorang penentu hukum berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, sedang bila ia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala” (HR. Bukhori Muslim)… Mengapa demikian? Karena sang mujtahid tidak bermaksud memilih yang salah, ia berniat mencari yang benar sesuai dengan dalil yang sampai pada dia, tapi tak disengaja ia jatuh dalam kesalahan… Sebagaimana kaidah “Semua amalan tergantung pada niatnya”, maka kesalahan itu tidak berakibat dosa, karena ia tidak berniat melakukan kesalahan… Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah: Ketika seorang mujtahid tidak berdosa dalam melakukan kesalahan berdasarkan ijtihadnya, bukan berarti kita boleh menirunya dan melakukan kesalahan yang sama… Karena, ke-tidak-berdosa-an mereka adalah didasari oleh ijtihadnya mereka, dan penilaian mereka bahwa itu yang benar… Adapun orang yang tahu, bahwa ternyata pendapat mereka lemah dan salah, maka ia tidak boleh menirunya, dan berdosa jika ia melakukannya, karena dengan begitu, ia berarti melakukan kesalahan yang telah ia sadari… Intinya “Semua amalan tergantung pada niatnya”… Wallohu a’lam…

Soal: Bagaimana dengan orang yang bernadzar menziarahi masjid madinah. Jawab: Jika ia bermaksud menziarahi masjid nabawi untuk beribadah di dalamnya, maka itu termasuk nadzar taat yang wajib tunaikan, meski harus safar jauh, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Barangsiapa nadzar untuk melakukan ketaatan kepada Alloh, maka hendaklah ia tunaikan! sedang barangsiapa yang nadzar untuk maksiat, maka janganlah ia melakukannya!” (HR. Bukhori)… Adapun bila maksud utama dari nadzar itu untuk menziarahi makam Nabi -shollallohu alaihi wasallam- maka itu menjadi nadzar maksiat jika harus safar jauh, mengapa? Karena makam tidak boleh dijadikan tujuan untuk safar jauh, sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Janganlah mengadakan safar, kecuali ke tiga masjid: Masjidil Harom, Masjidku ini (yakni Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho” (HR. Bukhori Muslim)… Pendapat ini dipilih oleh Abu Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al-Qadli Husain, Al-Qadhi ‘Iyadh (Fathul Bari, syarah hadits no: 1189) dan Al-Muhaqqiq Ash-Shon’ani (Subulus Salam 2/283) dan sekelompok ulama lainnya… Lihatlah bagaimana hukum bisa berbalik 180 derajat hanya karena perbedaan niat… begitulah, karena “setiap amalan tergantung niatnya”…

Soal: Apa hukum melihat wanita, sekejap tanpa sengaja? Jawab: Karena “semua amal tergantung pada niatnya”, maka pandangan itu tidak menyebabkan dosa, karena ia tidak sengaja dan tak ada niat melakukannya, tapi wajib baginya segera memalingkan pandangannya… Jika tidak, dan meneruskan pandangannya dengan sengaja, maka ia berdosa karenanya… karena timbulnya niat dalam hatinya untuk melakukan dosa itu… karena itu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ketika ditanya tentang hal ini, beliau mengatakan: “Palingkanlah pandanganmu!” (HR. Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Tirmidzy, Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Albani).

Soal: Apa hukum talak yang dijatuhkan seseorang yang sedang sangat marah sekali, hingga pada taraf tidak sadar dengan apa yang diucapkannya? Jawab: Dalam keadaan seperti itu, ia sudah tidak sadar dengan ucapannya, dan orang seperti ini semua ucapannya tidak dianggap, karena tanpa dasar niat dalam hatinya, sehingga talaknya tidak jatuh, karena “Setiap amalan itu tergantung pada niatnya”… Berbeda jika ketika marah, ia masih sadar dan tahu apa yang diucapkannya, lalu mentalak istrinya, maka dalam kasus kedua ini, talaknya jatuh, karena “Setiap amalan itu tergantung pada niatnya”…

Soal: Apa hukum menggundul kepala? Jawab: Menggundul bisa berbeda-beda hukumnya, (a)Ia bisa jadi amal ibadah, seperti ketika haji, umroh, anak kecil di hari nasikahnya, dan orang kafir ketika masuk Islam (al-Mughni 1/274)… (b)Bisa jadi amalan syirik, seperti menggundul dengan niat merendah dan tunduk kepada selain Alloh, sebagaimana diperaktekkan para pengikut fanatik para guru tarekat sufi, mereka mengatakan: “Aku menggundul kepalaku untuk si fulan dan kamu menggundul kepalamu untuk si fulan” (Zadul Ma’ad 4/159)… (c)Bisa jadi bid’ah, seperti menggundul ketika taubat (Majmu’ Fatawa 21/117)… (d)Bisa jadi harom, seperti: Menggundul karena ditinggal mati kerabat atau orang tercinta, atau karena meniru mode orang kafir atau fasiq yang terkenal dengan model plontosnya… (e)Bisa jadi dibolehkan tanpa pahala, misalnya karena adanya kebutuhan duniawi… Intinya hukum menggundul ini tergantung niatnya, karena menggundul itu merupakan amalan, dan “Semua amal itu tergantung pada niatnya”.

Soal: Apa hukum mencela (men-jarh) seseorang? Jawab: itu tergantung niatnya: Jika niatnya ikhlas untuk menasehati, proporsional, tidak bermaksud menghina, merendahkan, dan hanya membatasi sisi yang perlu saja, maka itu menjadi amalan ibadah sebagaimana diterapkan oleh para imam ahli jarh watta’dil… Apabila tidak demikian maka amalan itu menjadi haram… karena setiap amalan tergantung niatnya…

Soal: Bisakah makan dan minum berpahala? Jawab: Memang, pada asalnya makan dan minum -yang waktu kita setiap hari tersita untuknya- itu bukan amal ibadah, tapi dengan menerapkan kaidah ini, amalan ini bisa menjagi ibadah yang berpahala… Misalnya dengan meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh ta’ala, karena badan tidak akan kuat ibadah kecuali dengan makan dan minum… Maka niatkanlah makan dan minum dengan niat baik ini, dan terapkanlah Adab Islami di dalamnya, seperti: Memulai dengan basmalah, makan dengan tangan kanan, memakan yang paling dekat dulu, membagi jatah volume perut menjadi tiga (yakni sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga udara), dst… Jika anda melakukannya dengan niat itu, tentunya waktu yang tersita untuk makan dan minum menjadi penuh dengan ibadah yang berpahala, bahkan dengan niat yang baik setiap gerakan anda (mulai dari menurunkan tangan untuk mengambil makanan, mengangkatnya kembali untuk memasukkannya ke mulut, memamahnya, menelannya, dst) menjadi ibadah… Mengapa? Karena niat yang baik dapat merubah amal duniawi menjadi ibadah yang berpahala… Sungguh, adakah orang yang tidak sanggup melakukannya?!… Hanya dengan niat yang sederhana dan ringan, amal dunia berubah menjadi ibadah dan berpahala… Itu semua kembali kepada kaidah “Setiap amalan itu tergantung niatnya”…

Soal: Bisakah kita tidur sambil ibadah? Jawab: Hukum asalnya, tidur adalah amalan mubah yang tanpa pahala dan dosa, padahal ia lumayan banyak menyita waktu kita… Alangkah baiknya jika kita bisa menjadikannya ibadah yang berpahala, sehingga kita bisa mengeruk banyak keuntungan akhirat dengannya… Ingatlah kaidah “Semua amalan tergantung niatnya”… Dengan niat yang baik, tidur kita menjadi ibadah, seperti meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh jalla wa’ala, karena badan akan kehilangan kekuatannya tanpa tidur… dan hendaklah ia menerapkan Adab Islami di dalamnya, seperti wudhu sebelum tidur, membaca doa tidur yang dituntunkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, tidur dengan posisi miring pada tubuh bagian kanan, dst… Jika kita melakukannya dengan niat yang baik, maka tidur kita, menjadi ibadah yang berpahala… Itulah sebabnya mengapa amal duniawi orang yang selalu ingat Alloh menjadi ibadah, sedang amal orang yang lalai menjadi kosong tanpa pahala…

Soal: Bisakah rutinitas kerja dan mengais rizki menjadi amal ibadah? Jawab: Kerja, mungkin kegiatan paling banyak menyita waktu kita dalam hidup ini, padahal ia termasuk amal duniawi yang mubah (tanpa pahala dan dosa)… Orang yang berakal, tentunya tidak ingin waktu panjang itu terbuang tanpa pahala… Kuncinya adalah niat yang baik… Misalnya: Kerja dengan niat ibadah pada Alloh ta’ala, mencari rizki yang halal sehingga menghindarkannya dari minta-minta, dan membantunya dalam menunaikan kewajiban menafkahi anak istri… dengan meniatkannya memudahkan urusan orang lain dan menasehatinya… jika ia guru, maka meniatkannya untuk menyebarkan kebaikan, mengajarkan sunnah (tuntunan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-), menjadikan banyak orang tahu agamanya, membantu para siswa memenuhi kebutuhan pribadinya, dan niat-niat baik lainnya… Dengan niat yang baik itu, maka langkah kakinya, naik kendaraannya, menetapnya di tempat kerja, pulangnya, dan setiap cobaan yang dialaminya menjadi tabungan pahala… Lihatlah bagaimana keuntungan besar yang disebabkan niat ini, padahal ia hanyalah amal hati yang ringan dan tanpa biaya… sayangnya kebanyakan orang lupa dengan hal ini, karena setan melupakannya… semoga Alloh melindungi kita semua dari gangguannya… amin…

Soal: Apakah membeli suatu kebutuhan, seperti: mobil, pakaian, rumah, makanan, minuman, alat rumah tangga, dll, bisa berpahala? Jawab: Sertailah dengan niat yang baik, insyaAlloh setiap amalan anda akan berpahala… Soal: Membeli dan Memakai jam tangan, bisa berpahala? Jawab: Tentu… dengan niat yang baik, ia menjadi berpahala, misalnya: Ketika membeli atau memakainya ia niatkan untuk: menertibkan waktu ibadahnya, mengingatkan janji yang dibuatnya, dan niat baik lainnya… Karena amal duniawi akan berpahala jika disertai dengan niat yang baik… karena semua amalan tergantung niatnya…

Soal: Refreshing, tamasya ke tempat rekreasi, dan sejenisnya, apa bisa berpahala? Jawab: Karena amal tersebut bukan ibadah (dalam ilmu fikih, semua amalan yang bukan ibadah disebut adat) dan mubah, maka ia tidak berpahala kecuali dengan niat yang baik… tentunya dengan catatan amalan itu tidak menjerumuskan kita pada hal yang harom… Niat yang baik dalam hal ini, misalnya: Menghibur diri dan menghilangkan kepenatan, hingga pikirannya segar dan giat kembali dalam ibadahnya… karena sebagaimana kita tahu, pikiran dan hati kadang lelah, penat dan bosan dengan rutinitas yang kita lakukan, meski bentuknya ibadah, hingga butuh waktu istirahat, refreshing, dan hiburan yang halal untuk menghilangkannya… Inilah metode yang benar… Alhamdulillah, Islam bukanlah agama yang memberatkan, membosankan dan mengekang… Islam agama yang seimbang dan proporsional… maka janganlah anda serius terus menerus, sebaliknya jangan pula mencari hiburan tanpa batasan, tapi keduanya harus ada, jadikanlah hiburan itu seperti garam dalam masakan… dan ketika sedang refreshing, niatkanlah untuk menghibur diri agar kuat menjalankan taat kepada Alloh ta’ala…

Soal: Apa hukuman orang yang membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan? Jawab: Hukumnya berbeda-beda tergantung niatnya: (a)Jika ia melakukannya dengan tanpa sengaja, maka dihukumi Qotlul Khoto’ (membunuh tanpa sengaja), Hukumannya: membayar diyatnya, dan tidak boleh diqishosh… (b)Jika ia melakukannya dengan sengaja tapi alatnya tidak mematikan, maka dihukumi Qotlu Syibhil ’Amd (membunuh semi sengaja), hukumannya: Membayar diyatnya yang lebih tinggi dari diyat qotlul khoto’, dan tidak boleh diqishosh… (c)Dan jika ia melakukannya dengan sengaja dan alatnya mematikan, maka dihukumi Qotlul ’Amd, maka ada tiga pilihan bagi wali korban: Qishosh, membayar diyat sesuai permintaan wali korban, dan memaafkannya sama sekali… Perbedaan hukum ini disebabkan oleh niat… karena semua amal tergantung niatnya…

Soal: Apa hukuman bagi orang mencuri harta orang yang berhutang kepadanya? Jawab: Itu tergantung niatnya: Jika niatnya untuk melunasi hutangnya, maka tidak boleh diterapkan hukum potong tangan terhadapnya, berbeda jika niatnya memang murni untuk mencuri, maka ia dihukumi sesuai dengan niatnya… karena perbuatannya tergantung pada niatnya…

Tapi perlu diingat, bahwa NIAT BAIK tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan… Tidak boleh mencuri, meski niatnya untuk menafkahi keluarga… Tidak boleh membuang bom sembarangan, meski niatnya untuk jihad fisabilillah… Tidak boleh korupsi, meski niatnya untuk disedekahkan atau bantu sanak famili… Tidak boleh memalsu hadits, meski niatnya untuk menggiatkan ibadah… Tidak boleh mengaku nabi, meski niatnya untuk menyebarkan kebaikan dan memajukan Umat Islam… Tidak boleh melakukan bid’ah, meski tujuannya untuk ibadah… Tidak boleh syirik, meski niatnya menarik hati umat… tidak boleh sombong, meski niatnya tahadduts binni’mah… tidak boleh ghibah, meski redaksinya “kasihan ya si fulan, ia telah begini dan begitu”… tidak boleh melihat wajah wanita yang bukan mahromnya, meski niatnya menikmati ciptaan Alloh… tidak boleh mauludan, meski niatnya mahabbah nabi… tidak boleh mengadakan acara tujuh hari setelah kematian, meski niatnya untuk berbuat baik pada si mayit… tidak boleh membangun kuburan, meski niatnya menghormati ahli kuburnya… dan seterusnya dan seterusnya…

Ada juga amalan yang otomatis menjadi berpahala tanpa harus niat… Yaitu, setiap amalan yang memberi manfaat baik kepada orang lain, seperti: Membantu orang lain dalam kebaikan, menyelamatkan orang lain, menjima’ istri, menafkahi keluarga, menanam tanaman atau pohon jika dimakan burung atau hewan lainnya, dll… Tapi, peran niat tetap ada dalam amal-amal ini, yakni memperbanyak dan memperbesar pahalanya… wallohu a’lam… Hal ini selaras dengan sabda Beliau -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada kemaluan kalian, ada sedekah”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rosululloh, apa dengan memuaskan syahwat, orang bisa menuai pahala?!“. Beliau menjawab: “Bukankah ia akan berdosa jika menaruhnya pada hal yang harom?! Begitu pula sebaliknya, ia akan mendapat pahala jika menaruhnya pada hal yang halal” (HR. Muslim)… Begitu pula sabdanya: “ Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu tanaman itu dimakan oleh burung / manusia / binatang ternak, kecuali yang demikian itu sebagai sedekah darinya” (HR. Bukhori Muslim)…

Sekian tulisan ini, Semoga bermanfaat… apa saja yang benar di dalamnya itu dari Alloh… dan jika ada kesalahan, itu dari diri saya dan setan… dan semoga Alloh mengampuninya… kurang lebihnya mohon maaf… subhaanakalloohumma wabihamdika asyhadu allaailaaha illaa anta astaghfiruka wa’atuubu ilaiik…

Oleh: Abu Abdillah Addariny
http://addariny.wordpress.com/2009/08/11/indahnya-hidup-penuh-ibadah-pahala/

[2] Durorul hukkam fi syarhi majallatil ahkam (1/4)

[3] Al-qowa’idul Fiqhiyyatul Kubro wa ma tafarro’a minha (43)

Madinah, Selasa, 20 Sya’ban 1430 / 11 Agustus 2009

0 comments: