MENGENAL INDAHNYA ISLAM...

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Thursday, 29 January 2009

~ Bantahan Terhadap Mereka Yang Membagi Bid’ah Kepada Bid’ah Hasanah (Yang Baik) Dan Bid’ah Sayyi-ah (Yang Buruk).~ Bahagian 2/2

Sesungguhnya yang dia maksudkan dengan bid’ah hanyalah bid’ah dalam arti bahasanya, yaitu hal baru yang belum dikenal sebelum diadakan. Dan tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih secara berjamaah di belakang satu imam itu tidak pernah dilakukan dan diamalkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan separuh dari masa kekhlifahan ‘Umar. Maka, dilihat dari ungkapan ini, dia adalah sesuatu yang baru, tetapi dengan melihat bahwa hal itu sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم, maka dia adalah Sunnah , dan bukan bid’ah. Dan tidaklah ‘Umar mensifatinya dengan kata-kata “baik”, melainkan karena ia adalah Sunnah.

Atas pengertian inilah kiranya para ulama ahli tahqiq menafsirkan ucapan ‘Umar tersebut. ‘Abdul Wahhab as-Subki berkata dalam kitab Isyraaqul Mashaahiih dan kitab Shalaatut Taraawiih (1/168) dari kitab al-Fataawa: Ibnu Abdil Barr berkata: “Umar tidaklah mensunnahkan sesuatu pada shalat tarawih tersebut melainkan apa yang telah disunnah oleh Rasulullah , disenangi dan diridhainya. Dan Rasulullah صلى الله عليه و سلم sendiri tidak berhenti melakukannya secara rutin melainkan karena khawatir apabila hal itu akan diwajibkan atas ummat beliau.,sedangkan beliau sangat belas kasih dan menyayangi kaum Mukminin. Tatkala ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah صلى الله عليه و سلم dan mengetahui bahwa hal-hal yang diwajibkan tidak akan ditambah dan tidak akan dikurangi setelah beliau wafat, maka dia memberlakukannya terhadap masyarakat, menghidupkannya dan memerintahkannya. Hal itu terjadi pada tahun 14H.

Itulah sesuatu yang Allah simpan dan anugerahkan kepadanya, yang tidak Dia ilhamkan kepada Abu Bakar, sekalipun dia itu lebih utama dan lebih cepat dalam menuju semua kebaikan. Bagi masing-masing dari keduanya memiliki beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.” As-Subki melanjutkan: “Seandainya hal itu tidak diperintahkan, niscaya itu adalah bid’ah yang tercela sebagaimana yang berlaku pada shalat raghaa-ib pada malam Nisfu Sya’ban dan Jum’at pertama pada bulan Rajab, sehingga wajib mengingkari.Sedangkan, membatalkan pengingkaran terhadap shalat tarawih dengan berjama’ah adalah sesuatu yang telah diketahui secara pasti dalam agama.”

Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam kitab Fatwa-nya, yang berbunyi: “Mengusir orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dari Jazirah Arab dan memerangi mereka yang enggan untuk membayar zakat,dilakukan atas perintah Nabi, sehingga ia bukanlah bid’ah, sekalipun hal tersebut belum pernah dilakukan pada masa beliau. Dan ucapan ‘Umar mengenai shalat tarawih “sebaik-baik bid’ah adalah hal ini,” dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa, yaitu sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh, sebagaimana Allah berfirman: .... ما كنت بد عا من الرسل .... “…Aku bukanlah yang pertama di antara Rasul-Rasul …. (QS. Al-Ahqaaf: 9)

Ia bukanlah bid’ah syar’iyyah, karena bid’ah syar’iyyah itu sesat sebagaimana dikatakan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم. Siapa saja dari kalangan ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan bid’ah yang tidak baik, maka sesungguhnya dia membagi bid’ah secara bahasa. Dan siapa saja yang mengatakan bahwa setiap perbuatan bid’ah adalah sesat, maka maksudnya adalah bid’ah syar’iyyah.

Tidaklah engkau melihat para Sahabat رضي الله عنهم dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik telah mengingkari adanya adzan untuk selain shalat lima waktu, seperti halnya pada kedua shalat hari raya, sekalipun tidak ada larangan di dalamnya? Dan mereka juga tidak menyukai menyentuh dua rukun Syam (ketika berhaji) dan shalat setelah melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebagai bentuk qiyas atas thawaf? Dan demikian pula dengan sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم padahal ada hal-hal yang menuntut untuk melakukannya ketika beliau masih hidup, maka meninggalkan adalah Sunnah sedangkan melakukannya adalah perbuatan bid’ah yang tercela.

Terdapat pengecualian dari pernyataan kami di atas: “Padahal ada beberapa hal yang menuntut untuk dilakukan ketika beliau masih hidup,” adalah mengusir orang-orang Yahudi, menghimpun mushaf, dan apa saja yang beliau tinggalkan karena adanya hal-hal yang menghalangi pelaksanaannya, seperti pada masalah melakukan shalat tarawih berjama’ah. Sehingga sesuatu yang menuntut untuk melakukannya dianggap sempurna keberadaannya apabila tidak terdapat hal-hal yang menghalangi pelaksanaannya.”

Guru kami رحمه الله berkata mengenai penjelasan ungkapan terakhir, yaitu bahwa kata al-muqtadha at-taamm (sesuatu yang menuntut untuk melakukannya dianggap sempurna) mengandung makna tidak adanya penghalang, seperti halnya pada masalah shalat tarawih secara berjama’ah. Tuntutan untuk melakukan hal itu dulunya telah ada, tetapi terdapat hal lain yang menghalangi pelaksanaannya, yaitu kekhawatiran apabila hal itu diwajibkan. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukannya dianggap tidaklah sempurna.

[Dikutip dari buku ‘Pesan-Pesan Terakhir Rasulullah صلى الله عليه و سلم ‘ Penulis Syaikh Husain bin’Audah al-Awayisyah , Terbitan Pustaka Imam Syafi’I, cetakan pertama 2007]

Sunday, 25 January 2009

~ Bantahan Terhadap Mereka Yang Membagi Bid’ah Kepada Bid’ah Hasanah (Yang Baik) Dan Bid’ah Sayyi-ah (Yang Buruk).~ Bahagian 1/2

Mereka berkata: “Bid’ah ada yang baik dan ada pula yang buruk.”
Kadang-kadang ada yang berkata : “Sungguh Umar رضي الله عنه telah berkata sebelumnya: نعمت البد عة هذه “Sebaik-baik bid’ah adalah amalan ini.” Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdil Qari, dia brkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama ‘Umar bin al-Khaththab menuju masjid. Orang-orang tampak berpencar, seorang laki-laki mengerjakan shalat sendirian dan laki-laki lainnya mengerjakan shalat, lalu ada sekelompok orang menjadi makmumnya (yaitu sejumlah laki-laki yang kurang dari dua puluh orang dan di dalamnya tidak terdapat seorang perempuan pun, Mukhtaarush Shihaah). Lalu ‘Umar berkata: ‘Aku berpikir seandainya aku kumpulkan mereka kepada seorang imam niscaya itu akan lebih baik.’ ‘Umar pun bertekad untuk mengumpulkan mereka dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Pada malam lainnya, aku keluar bersamanya, sedangkan orang-orang melakukan shalat dengan imam mereka. ‘Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini, dan shalat yang mereka tinggalkan karena tidur itu (maksudnya menggantinya dengan shalat di akhir malam) lebih utama daripada shalat yang mereka dirikan (shalat di awal malam), dan orang-orang melakukan shalat di awal malam. (HR Al-Bukhari, no. 2010)

Penulis (Syaikh Husain bin’Audah al-Awayisyah) berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud oleh ‘Umar dengan kata bid’ah di sini adalah bid’ah dari sisi makna kebahasaannya, yaitu perkara baru yang belum pernah dikenal sebelumnya.”

Ibnu Rajab berkata dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam- dengan sedikit perubahan redaksi -: “Sedangkan yang terdapat pada ucapan ulama salaf berupa anggapan baik terhadap sebagian bid’ah, maka hal itu hanyalah dalam kaitannya secara bahasa, bukan secara syari’at. Di antara hal tersebut adalah ucapan ‘Umar رضي الله عنه tatkala dia mengumpulkan orang-orang dalam shalat Sunnah Ramadhan pada satu imam di dalam masjid. Kemudian dia keluar dan melihat mereka mengerjakan shalat seperti itu, lalu di berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”

Maksudnya adalah bahwa perbuatan semacam ini belum pernah dilakukan dengan cara tersebut sebelumnya, tetapi perbuatan ini memiliki beberapa dasar dalam syari’at yang menjadi acuannya. Di antaranya bahwa Nabi صلى الله عليه و سلم menganjurkan untuk mengerjakan shalat Sunnah Ramadhan dan orang-orang pada masa beliau melakukannya di masjid dalam beberapa kelompok terpisah maupun sendiri-sendiri, dan beliau صلى الله عليه و سلم sendiri melakukan shalat dengan para Sahabat beliau di bulan Ramadhan tidak hanya satu malam saja. Kemudian, beliau tidak melakukannya dengan alasan bahwa beliau khawatir jika hal tersebut akan diwajibkan atas mereka, sehingga mereka tidak mampu untuk melaksanakannya. Namun kekhawatiran tersebut hilang setelah beliau wafat.

Di antaranya pula adalah bahwa beliau صلى الله عليه و سلم memerintahkan untuk mengikuti Sunnah khulafa-ur Rasyidin, hla ini merupakan salah satu bagian dari Sunnah Khulafa-ur Rasyidin, kerana orang-orang telah berkumpul untuk melakukannya pada masa ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.” Guru kami, al-Albani رحمه الله berkata dalam kitab Shalaatut Taraawiih (hlm.43): “Dan ucapan ‘Umar ‘Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini’ itu tidak dimaksudkan bid’ah dalam arti syar’inya, yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama tanpa memiliki contoh sebelumnya, sebagaimana yang engkau ketahui bahwa ‘Umar رضي الله عنه tidak pernah mengada-adakan sesuatu yang baru (dalam agama), justru dia telah menghidupkan lebih banyak lagi Sunnah Nabi yang mulia.

(bersambung ke 2/2)

Tuesday, 20 January 2009

~ Mutiara Salafi ~


Sufyan As-Tsaury berkata:

" Bid'ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada kemaksiatan, sebab kemaksiatan itu (pelakunya) akan (mudah) bertaubat daripadanya sedangkan pelaku bid'ah itu sulit untuk bertaubat dari (bid'ahnya) ".


Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu berkata:

" Ikutilah dan janganlah kalian membuat bid'ah. Sungguh, kalian telah dicukupkan olehnya, dan wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sesuatu yang masih asli. "

Saturday, 17 January 2009

~ Seorang Wanita Mendapatkan Kesuciannya Beberapa Saat Sebelum Terbenamnya Matahari, Wajibkah Ia Melaksanakan Shalat Zuhur dan Asar? ~


بسم الله الرحمن الرحيم


Pertanyaan: Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ ditanya: Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya dari haidh atau nifas beberapa saat sebelum terbenamnya matahari,apakah wajib baginya untuk melaksanakan shalat Zuhur dan Asar? Dan jika ia mendapatkan kesuciannya sebelum terbitnya fajar, apakah wajib baginya untuk melaksanakan shalat Maghrib dan Isya atau tidak?

Jawaban: Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya dari haidh atau nifasnya sebelum habisnya waktu shalat yang harus ia kerjakan itu, maka diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat itu serta shalat yang bisa dijama’ bersama shalat itu. Dengan demikian jika seorang wanita mendapat kesuciannya sebelumnya terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Asar dan shalat Zuhur. Dan barangsiapa yang mendapatkan kesuciannya sebelum terbitnya fajar kedua maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya dan shalat Maghrib. Dan barangsiapa yang mendapat kesuciannya sebelum terbitnya matahari maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Subuh.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 2/172 –Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jil 1, hal. 135]